MASUKAN KATA DI KOTAK BAWAH INI UNTUK MENCARI.. LALU KLIK TOMBOL "SEARCH"

March 5, 2016

Wawancara Dengan Kepala LAPAN Mengenai Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016

Baca Artikel Lainnya

Gerhana matahari total kali ini sangat istimewa, karena tak melewati daratan lainnya selain Indonesia. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Thomas Djamaluddin saat bayangan Bulan mendekat. Ia begitu takjub memandang Bulan yang mulai nongol di sisi barat piringan Matahari.

"Perlahan langit berubah gelap," katanya bercerita soal pengamatannya terhadap gerhana Matahari total (GMT) pada 18 Maret 1988 di Pantai Penyak, Bangka Tengah, Bangka Belitung.


Ketika itu ia mendapat tugas mengambil gambar proses GMT. Dan, saat paling dramatis adalah momen ketika Matahari tertutup bulan secara total. Thomas lupa melepas filter pengurang intensitas cahaya yang ada di ujung teleskop, saking senangnya.

"He-he. Saya baru sadar filter menghalangi saat gerhana berakhir," ujar Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) ini. Ketika itu ia baru 1,5 tahun menjadi peneliti LAPAN dan bertugas memotret proses gerhana menggunakan teleskop.

Seminggu lagi, tepatnya 9 Maret 2016, Thomas kembali berkesempatan mengamati GMT. Ia memilih Tapak Sail Tomini di Kayubura, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, salah satu wilayah yang dilewati bayangan Bulan.

Berbeda dengan 1988, kali ini Thomas bukan datang sebagai peneliti. "Melainkan sebagai khatib salat gerhana," kata Thomas, lantas tertawa.

Lembaga yang dipimpinnya merupakan koordinator nasional pengamatan GMT 2016. LAPAN memusatkan pengamatan di Kayubura. Bersama LAPAN, ada National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan beberapa peneliti dari Korea dan Prancis yang ikut memantau GMT, namun di tempat berbeda.

Jalur GMT sendiri akan membentang dari Samudera Hindia hingga utara Kepulauan Hawaii, Amerika Serikat. Jalur gerhana itu selebar 155-160 kilometer dan terentang sejauh 1.200-1.300 kilometer, melintasi 12 provinsi di Indonesia.

Adalah Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung yang dilintasi. Selain itu, bulan juga akan membayangi semua provinsi di Kalimantan (kecuali Kalimantan Utara), Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara juga. Namun, tak semua daerah di provinsi itu dilintasi jalur GMT.


Thomas merasa sedikit dejavu dengan GMT kali ini. Karena mirip dengan yang terjadi pada 1988, ketika ia lupa mencopot filter cahaya di stetoskop. Kemiripannya itu terletak pada jalur-jalur gerhana yang dilewati.


"Saya senang saat ini GMT dinanti-nantikan. Tidak terasa menakutkan seperti 1983 dan 1988," katanya.

Ia masih ingat betapa mencekamnya gerhana di masa lalu. Di tempat ia tumbuh besar, di Cirebon, Thomas dijelaskan oleh neneknya bahwa GMT adalah peristiwa bulan yang sedang dimakan raksasa, sehingga langit gelap. "Karena itu nenek dan warga memukul-mukul pohon agar raksasa itu pergi," katanya.

Kisah mitos itu kerap ia bagi ke pendengar ketika menjadi sumber di berbagai acara, dengan tujuan agar pemahaman GMT jadi ilmiah. Termasuk saat ia bicara di diskusi Ngobrol Tempo dengan tema "Selamat Malam, Pagi" yang diadakan di Planetarium Jakarta, Kamis, (25/2/2016).

"Iya nih, tawaran menjadi pembicara dari mana-mana," ujarnya tersenyum.

Usai acara itu, Heru Triyono, Bonardo Maulana, Ivan Pek dan fotografer Bismo Agung dari Beritagar.id menemuinya untuk wawancara. Sambil duduk, tanpa bersandar di pembatas teras Planetarium, ia menjawab semua pertanyaan dengan lugas selama satu jam. Berikut petikannya:




Apa yang bisa dipelajari para ilmuwan dari gerhana Matahari total (GMT) kali ini?
Di awal sejarah astronomi, gerhana Matahari memang digunakan untuk memahami atmosfer Matahari. Dari Bumi, atmosfer Matahari itu tak bisa dilihat jika bukan saat GMT, karena sinarnya tak sekuat bagian Matahari yang lebih dalam. Sampai sekarang pun topik penelitian GMT masih berkisar itu saja, belum beranjak jauh.

Tapi adakah dampak GMT terhadap Bumi, misalnya pada lapisan atmosfernya?
Gerhana bisa memiliki efek pada atmosfer, tapi tidak signifikan. Tapi, jika Anda berada di jalur totalitas selama gerhana, maka akan merasakan suhu turun beberapa derajat, sekitar 1-2 derajat. Namun secara umum tetap tidak terlalu berpengaruh, termasuk untuk tekanan udara.

Jadi, ketika kita sedang di udara --dalam hal ini di atas pesawat-- dan berbarengan dengan terjadinya GMT, maka tidak akan ada masalah?
Di pesawat pun tidak akan terjadi apa-apa. Kemungkinan malah bisa melihat GMT dengan jelas apabila berada di jalur gerhana, karena di atas itu tidak terhalang awan. Soal sinyal telepon seluler pun tidak akan terganggu dengan adanya GMT.
Seperti saya bilang tadi, yang dirasakan penduduk Bumi paling hanya suhu yang turun, tapi itu juga tak terlalu signifikan.

Ketika suhu Bumi turun, artinya proses pemanasan pada Bumi akan bisa mengganggu medan magnet Bumi dong?
Saya rasa bukan mengganggu, tapi saat aliran sinar Matahari yang menuju Bumi terhalang Bulan, memang di situlah waktu para ilmuwan bisa menentukan nilai medan magnetik Bumi.
Pasalnya angin Matahari itu berinteraksi secara kuat dengan medan magnet Bumi--yang menyebabkan terjadinya badai magnetik. Ketika angin Matahari terhalang Bulan, maka nilai medan magnetik akan mengalami perubahan. Tapi ya ini hal biasa dalam astronomi.

Artinya GMT tidak memiliki efek apa-apa terhadap sistem tata surya?
Sebenarnya bagi LAPAN, GMT ini sekaligus juga sebagai ajang pembuktian teori Relativitas Umum dari Albert Einstein. Pada tahun 1919 ketika terjadi GMT di di teluk Guinea, Afrika, sekelompok ilmuwan Inggris sudah membuktikan teori Einstein itu benar.
Einstein menyebutkan adanya kelengkungan ruang dan waktu di sekitar benda bermassa besar. Hal demikian berarti berlaku di sekitar Matahari. Nah, tim LAPAN akan membuktikan teori itu dengan mengamati posisi cahaya bintang di dekat Matahari, yang akan dibelokkan atau dikenal dengan lensa gravitasi.
Nantinya bintang di dekat Matahari bakal tampak saat gerhana menjauh dari Matahari. Logikanya, kalau dihalangi Bulan, cahaya akan dibelokkan oleh Matahari, sehingga bintang di sekitar Matahari akan berubah posisinya (posisi bintang terlihat tidak dalam posisi yang sebenarnya).

Sebenarnya bagaimana proses gerhana Matahari terjadi?
Gerhana Matahari terjadi ketika posisi bulan terletak di antara Bumi dan Matahari sehingga menutup sebagian atau seluruh cahaya Matahari. Walaupun Bulan lebih kecil, bayangannya bisa menutup Matahari secara penuh karena Bulan lebih dekat ke Bumi.

Mengapa gerhana Matahari tidak terjadi pada setiap bulan baru?
Garis lurus antara Bumi, Bulan dan Matahari tidak selalu terjadi karena orbit Bumi dalam mengelilingi Matahari tidak satu bidang dengan orbit Bulan mengelilingi Bumi, melainkan miring sekitar 5 derajat. Jika orbit Bulan dan Bumi sebidang, maka bisa jadi setiap satu bulan sekali akan terjadi gerhana.

Memangnya berapa kali gerhana Matahari terjadi dalam setahun--misalnya?
Bisa 5-7 kali, tapi silih berganti antara gerhana Matahari dan Bulan. Saat ini orang memang memberi perhatian pada GMT saja, padahal ada gerhana Bulan penumbra nanti juga terjadi pada 23 Maret 2016. Tapi gerhana jenis ini sukar diamati.

GMT ini kan sebenarnya bukan hal baru. Banyak juga teknologi yang bisa membuat simulasinya. Apakah GMT ini masih terasa istimewa untuk ilmu pengetahuan?
Makanya. Setiap terjadi GMT, peneliti hanya melakukan penguatan-penguatan ilmu saja. Belum ada substansi baru yang muncul.

Lalu, apa bedanya GMT 9 Maret 2016 mendatang dengan GMT pada 11 Juni 1983, 18 Maret 1988, atau 24 Oktober 1995?
Bedanya dengan yang 1983 adalah ketika itu masyarakat takut ke luar rumah. Namun makin modern, masyarakat semakin tercerahkan bahwa mengamati GMT itu aman, asal dilihat hati hati dan tahu caranya.

Pada 1983 masyarakat percaya anjuran pemerintah agar tidak keluar rumah karena takut radiasi sinar matahari yang dianggap membuat buta. Apa benar radiasi matahari seberbahaya itu?
Itu terlalu berlebihan. Pemerintah sepertinya ingin sederhana saja, ketimbang ribet menjelaskan bagaimana cara pengamatan yang benar.
Maka yang terjadi adalah memberi saran ke masyarakat untuk di dalam rumah saja dengan alasan radiasi bisa menyebabkan buta. Tapi lucunya, ketika itu wisatawan asing yang ke Indonesia justru menikmati fenomena langka itu di beberapa lokasi yang dilewati jalur gerhana.

Di mana menurut Anda lokasi terbaik pengamatan gerhana Matahari total pada 9 Maret mendatang?
Semua daerah yang dilewati jalur (gerhana) pada dasarnya bisa dilakukan pengamatan. Makin ke Timur, maka makin lama durasinya. Secara rata-rata, GMT bisa terjadi antara 1,5 menit sampai 3 menit. Tentu faktor kejelasan GMT tergantung cuaca juga.

Prediksi cuaca di Indonesia ketika GMT nanti bagaimana? Kan masih memasuki penghujung musim hujan...
Gerhana kali ini terjadi pada pagi hari. Jadi, meski memasuki penghujung musim hujan, secara probabilitas, pembentukan awan umumnya aktif setelah tengah hari. Maka, peluang mendapatkan hari cerah pada 9 Maret masih terbuka.
Seperti tahun 1988, GMT juga terjadi saat musim hujan. Tetapi ketika masuk proses GMT, yang terjadi cuaca justru menjadi cerah, dan saya bisa mengamatinya dengan jelas.

Seperti apa cara yang aman untuk menikmati dan mengamati GMT?
Saat matahari perlahan tertutup bulan dan kondisi langit berangsur gelap (gerhana matahari sebagian) dianjurkan menggunakan filter atau kacamata khusus untuk melihat matahari.
Cara melihatnya jangan terlalu fokus karena saat itu matahari belum semuanya tertutup dan sebagian sinar masih memancar kuat sehingga bisa merusak retina. Jadi, lihat saja beberapa menit, dengan sesekali melihat tempat lain dan tidak fokus ke Matahari terus.

Bisa Anda jelaskan apa itu filter matahari?
Adalah alat yang digunakan untuk meredam sebagian besar sinar Matahari yang diterima mata sampai 100 ribu kali, sehingga sinar Matahari tampak seperti cahaya lampu saja.

Apakah bisa melihat dengan mata telanjang ketika corona (mahkota Matahari) muncul?
Justru saat matahari tertutup total, filter yang melindungi mata dilepas. Karena di situlah keindahan GMT bisa disaksikan langsung dengan mata. Namun harus diingat, jangan terlalu lama menatap karena durasi GMT hanya 2 sampai 3 menit saja. Setelah itu matahari akan tersibak, dan mengeluarkan sinar kuat lagi. Saat itu filter mata harus dipakai kembali.
Kalau soal tempat, saya menyarankan cari yang menarik. Bagi penggemar fotografi jangan hanya memotret Mataharinya. Tapi sandingkan dengan objek lain. Karena di pagi hari Matahari rendah, coba sandingkan dia dengan objek lain seperti misalnya Jembatan Ampera, di Palembang.
Anda bisa mengambil sisi baratnya jembatan, sebagai latar. Karena GMT ini adalah fenomena langka, jadi jangan bikin gambar yang biasa-biasa saja.

Kapan GMT akan muncul kembali di Indonesia?
Pada 2023 dan 2042, tentunya dengan jalur gerhana yang berbeda. Satu lokasi yang sama secara rata-rata bisa mengalami GMT satu kali dalam 300-an tahun.


Kapan pertama kali Anda mengetahui soal gerhana Matahari total (GMT)?
Saya mulai memberi perhatian kepada GMT sejak 1983, ketika kuliah Astronomi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Saya memang tidak ikut mengamati saat itu, tapi saya membuat artikel dengan judul Gerhana Matahari Adalah Peristiwa Biasa di koran Pikiran Rakyat.

Tujuan artikel saya itu untuk membantah mitos-mitos berkaitan dengan Matahari. Misalnya, gerhana terjadi akibat raksasa marah yang menelan matahari. Agar matahari tidak hilang ditelan Batara Kala, orang harus membuat suara gaduh.

Ketika itu masih banyak orang yang menganggap serius mitos GMT?
Termasuk saya sendiri merasakannya. Ketika tumbuh di Cirebon, saya menyaksikan kalau gerhana datang, maka orang akan memukul-mukul bambu dan pohon. Nenek saya bilang kalau yang sedang terjadi adalah Matahari dimakan raksasa. Untuk mengusir raksasanya, maka penduduk melakukan pemukulan tadi.

Saya mulai paham GMT saat mulai sekolah, dan menyadari GMT adalah fenomena alam langka, bukan mitos. Saya akhirnya berkesempatan menyaksikan langsung fenomena langka itu pada 18 Maret 1988 di Pantai Penyak, Bangka Tengah, Bangka Belitung.

Apakah sudah banyak orang yang melakukan aktivitas meneropong langit menjelang GMT saat itu?
Pada 1988 kebetulan saya sudah menjadi peneliti LAPAN selama 1,5 tahun. Masih yunior, dan dapat tugas memotret proses gerhana menggunakan teleskop. Tapi saking takjubnya dengan corona (mahkota Matahari), saya jadi lupa melepas filter pengurang intensitas cahaya Matahari yang ada di ujung teleskop ketika GMT terjadi. Saya baru sadar saat fase totalitas gerhana hampir berakhir.

Untung rekan saya yang lain memotretnya dengan benar he-he. Itu pengalaman berharga. Intinya jangan gampang takjub dulu. Itu berlaku untuk astronom amatir dan profesional.

Ngomong-ngomong kenapa Anda tertarik dengan ilmu astronomi?
Ketika kecil saya suka sekali memperhatikan dan meneliti biji buah mangga, rambutan atau kedondong yang tumbuh di kebun. Menurut saya menarik sekali.

Saya juga suka baca majalah Mekatronika, majalah sains yang sering mengulas UFO (Unidentified Flying Object) atau disebut Beta, Benda Terbang Aneh. Ketika SMA (sekolah menengah atas) saya sering membaca buku Erich von Daniken, yang terkait dengan peninggalan manusia dan Beta. Saya hafal setiap halaman majalah dan buku itu.

Memang sudah ada bayangan sejak kecil akan menjadi peneliti?
Ya kalau ditanya mau jadi apa oleh guru, maka akan saya jawab menjadi peneliti, meski sebenarnya belum tahu juga pekerjaannya seperti apa. Tapi dalam perkembangan saya, dari cerita-cerita Beta itu saya malah jadi tertarik mendalaminya, dan mengaitkannya dengan agama.

Saat SMA saya menulis artikel tentang bagaimana UFO menurut agama. Saya kait-kaitkan dengan ayat Alquran. Artikel itu masuk majalah sains di ITB. Dan, sepertinya redaksinya tidak tahu yang menulis adalah anak SMA. Saya kemudian menjadi lebih mendalami tentang astronomi dengan masuk ITB.

Sebab itu Anda terkenal sebagai Kiai Astronomi...
He-he. Sewaktu mahasiswa soalnya saya aktif di Masjid Salman ITB, sebagai pembina dan mentor. Di jurusan astronomi, saya sering memimpin pengajian-pengajian, dan kalau ada kegiatan saya selalu menjadi juru doanya.

Menurut saya astronomi bukan hanya untuk kepentingan ibadah umat Islam, melainkan sudah memasuki berbagai aspek kehidupan manusia. Saya senang di era modern ini banyak anak-anak tertarik dengan astronomi, apalagi dengan adanya internet.

Berbeda ketika saya masih kecil masih jarang ada kelompok yang aktif, baik itu astronom amatir maupun profesional.

Saya membaca di internet bahwa masa kecil Anda bukanlah dari orang yang berkecukupan...
Itu benar. Saya mencoba mencari uang jajan dengan berjualan es bungkus keliling. Saya kerap diledek karena kaus kaki saya yang kendur diikat karet dan baju saya yang putih kekuningan karena tidak bersih.

Ketika ayah saya pensiun, iuran sekolah kadang tidak bisa terbayarkan. Dampaknya, rapot kenaikan kelas 5 saya ditahan guru. Tapi saya membuktikan bahwa nilai saya yang terbaik di kelas.

Bahkan ada soal ujian yang hanya saya saja yang bisa jawab. Soalnya adalah darimana asal usul minyak bumi. Jawaban saya ketika itu, minyak bumi berasal dari binatang-binatang di laut yang tertimbun jutaan tahun yang kemudian jadi minyak bumi.

Saat kecil saya juga kerap sakit-sakitan dan harus mengganti nama. Jadi, nama Djamaluddin ditambahkan depannya dengan nama Thomas.

Kenapa nama Thomas?
Karena dokter yang selalu merawat saya itu bernama Thomas. Dia merupakan dokter tentara.

Bagaimana konsep Anda dalam mengembangkan LAPAN di masa depan?
Yang pasti terus meningkatkan kualitas Litbang (penelitian dan pengembangan) penerbangan dan antariksa menjadi bertaraf internasional. 

Biodata Singkat: Prof. Dr. Thomas Djamaluddin

Nama: Thomas Djamaluddin.
Tempat Tanggal Lahir: Purwokerto, 23 Januari 1962.
Pendidikan:
- S3 Astronomi, Kyoto University (1990-1994).
- S2 Astronomi, Kyoto University (1988-1990).
- S1 Astronomi, Institut Teknologi Bandung (1981-1986).
Karir:
- Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) (2014-Sekarang).
- Peneliti Utama Astronomi dan Astrofisika, LAPAN (2009-Sekarang).
- Kepala Unit Komputer Induk, LAPAN (2010-2014).
- Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN (2007-2010).
- Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan, LAPAN (2004-2007).
- Peneliti Antariksa, LAPAN (1986-1988).





referencces by beritagar.id

 
Like us on Facebook