MASUKAN KATA DI KOTAK BAWAH INI UNTUK MENCARI.. LALU KLIK TOMBOL "SEARCH"

October 4, 2017

Benarkah Daya Beli Rakyat Menengah Ke Bawah Menurun?

Baca Artikel Lainnya

Industri ritel modern danm sejumlah bisnis, jualan kaki lima, makanan, fashion baik offline atau online tengah mengalamai kelesuan. Lantas Apa sebenarnya penyebabnya?



Banyak yang beranggapan, lesunya sektor ritel disinyalir karena daya beli masyarakat bawah Indonesia yang menurun. Hal tersebut pun diamini oleh Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto.

Menurut Ferry, menurutnya daya beli tidak terlepas dari mulai bergesernya gaya hidup masyarakat menengah ke bawah. Di mana saat ini masyarakat menengah ke bawah sudah mulai mengurangi biaya spending yang tidak dibutuhkan.

"Kalau kita lihat sekarang ini market kan ada dua segmen menengah ke bawah dan ke atas. Nah yang ke bawah ini sudah mulai irit. Artinya mereka mulai mengurangi biaya spending-spending yang tidak dibutuhkan. Dan itu terjadi yang terjadi di pusat perbelanjaan selama ini," ujarnya saat ditemui di Gedung World Trade Center, Jakarta, Selasa (3/10/2017).


Mulai mengiritnya masyarakat menengah ke bawah ini juga tidak terlepas dari biaya kebutuhan pohidup yang semakin tinggi. Sedangkan penghasilan mereka tidak bertambah.

"Kebutuhan pokok meningkat, income tidak bertambah. Sehingga mereka mengirit," jelasnya.

Di sisi lain juga, masyarakat menengah ke atas juga masih banyak yang membahana konsumsinya. Sehingga sangat wajar jika daya beli masyarakat Indonesia melemah



Jokowi Sebut Isu Daya Beli Turun Dibikin Orang Politik untuk 2019



Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut isu daya beli yang anjlok diembuskan oleh orang yang punya kepentingan politik jangka pendek, menuju Pemilu 2019. Jokowi menantang orang itu untuk blak-blakan saja.

Hal ini disampaikan Jokowi dalam pidato penutupan Rapat Koordinasi Nasional Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) 2017 di Ballroom Hotel Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (3/10/2017). Ratusan pengusaha berkumpul menyimak pidato Jokowi.

Awalnya, Jokowi memaparkan bantahannya bahwa saat ini daya beli anjlok. "Isu-isu mengenai daya beli. 'Pak, daya beli turun, anjlok'," kata Jokowi.

Menurutnya, tilikan soal daya beli tidak bisa dilepaskan dari fenomena peralihan toko luring (offline) ke daring (online). Padahal, kata dia, daya beli tak benar-benar anjlok. Dia mengemukakan angka-angka sebagai bukti.

"Saya terima angka, jasa kurir naik 135 persen di akhir September ini. Kita ngecek DHL, JNE, Kantor Pos, saya cek. Saya kan juga orang lapangan," ujar Jokowi.

Bukti kedua, ada kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang berasal dari pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredaran dari produsen ke konsumen. Kenaikannya sebesar 12,14 persen. Ini membuktikan bahwa ada aktivitas ekonomi yang bertumbuh.

"Baru tadi pagi saya terima (data ini). Kenapa nggak confident (percaya diri)? Angka-angka ini riil," ujar Jokowi.

Dia menambahkan data industri terpantau naik 16,63 persen dibanding tahun lalu. Menurutnya, ini adalah angka pertumbuhan yang besar. Perdagangan juga terpantau naik 18,7 persen. Harga ekspor pertambangan sudah mulai merata, yakni naik 30,1 persen.

"Terserah percaya atau tidak. Kalau ada yang ngotot, silakan maju. Silakan bicara," ujar Jokowi disambut tawa para pengusaha di dalam ruangan ini.

Dia terus melanjutkan pemaparan data. Misalnya nilai pertanian naik 23 persen dibanding tahun lalu. Entah nilai hasil pertanian, hasil nilai ekspor, atau nilai spesifik lainnya, Jokowi tidak menjabarkan lebih rinci. Nilai konstruksi terbilang turun dibanding tahun lalu soalnya Jokowi memang menurunkan pajak final.

"Angka-angka seperti ini gimana? Masak angka-angka ini (Anda) nggak percaya?" ujar Jokowi.

Angka-angka tersebut menunjukkan isu daya beli turun sebenarnya kurang tepat. Di sinilah Jokowi menyatakan sebenarnya pembikin isu ini sebenarnya adalah 'orang politik'.

"Angka-angka seperti ini kalau nggak saya sampaikan nanti isunya hanya daya beli turun-daya beli turun. Saya lihat yang ngomong siapa tho? Oh, orang politik. Ya sudah nggak apa-apa," kata Jokowi disambut tawa seisi ruangan.

Bila saja yang mengembuskan isu itu adalah pebisnis, Jokowi tak akan keberatan untuk mengajak berdiskusi. Tapi karena yang mengembuskan isu itu adalah orang politik, Jokowi memaklumi dan membiarkan saja.

"Orang politik tugasnya seperti itu kok, membuat isu-isu untuk 2019. Sudah, kita blak-blakan saja. Orang 2019 tinggal setahun," kata Jokowi santai, semua tertawa.



Ekonom Bank Mandiri: Daya Beli Masyarakat Memang Melambat


Pernyataan Presiden Joko Widodo jika isu penurunan daya beli masyarakat saat ini sengaja dipolitisasi untuk kepentingan 2019 ditanggapi berbagai pihak. Jokowi mengklaim jika kondisi ekonomi Indonesia baik-baik saja dan daya beli masyarakat naik.

Chief Economist Bank Mandiri, Anton Hermanto Gunawan menilai, pernyataan Jokowi soal daya beli memang tidak salah, daya beli masyarakat memang tidak anjlok. Namun, dia menegaskan jika saat ini memang terjadi perlambatan daya beli masyarakat.

"Mungkin semester I ada delay dan kita menduganya seperti itu," kata Anton saat pemaparan 'Macroeconomic Outlook Mandiri Group Triwulan III tentang Ekonomi, Perbankan & Pasar Modal 2017' di Plaza Mandiri, Jakarta Selatan, Rabu (4/10).

Berdasarkan data BPS, konsumsi rumah tangga kuartal II tahun ini hanya mencapai 4,95%, naik tipis dibandingkan kuartal sebelumnya yang pertumbuhannya 4,94%. Namun melambat jika dibandingkan kuartal II tahun lalu yang mencapai 5,07%.

Menurut Anton, perlambatan daya beli terjadi pada kelompok masyarakat tertentu yang terdampak pada kebijakan subsidi. Peralihan skema bantuan subsidi tersebut membuat kelompok masyarakat tersebut menahan belanjanya.

"Spending yang melambat adalah kelompok yang tidak berhak dapat bansos, tapi mereka harus menghadapi siatuasi di lapangan bayar listrik, BBM dengan harga yang lebih tinggi dari sebelumnya," jelasnya.

Justru Anton menilai, untuk kelompok masyarakat miskin sendiri tidak terpengaruh dengan menurunnya daya beli ini. Lantaran, untuk kelompok tersebut masih mendapat bantuan sosial dari pemerintah yang dapat menopang kebutuhannya.

"Kelompok yang paling miskin mungkin pendapatannya praktis biasa saja tapi dia ditopang oleh berbagi macam kebijakan sosial," ujarnya.

Selain itu, Anton juga menilai adanya perpindahan pola belanja masyarakat dari offline ke online. Namun Anton masih terus mengkaji apakah menurunnya daya beli masyarakat ini benar-benar dipengaruhi adanya shiffting ke online. atau karena rakyat menengah bawah sedang berhemat


Ini Dua Faktor Penyebab Daya Beli Melemah



Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih melambat dan belum menunjukkan peningkatan signifikan. Hanya saja, daya beli masyarakat dinilai tidak turun seperti yang diperkirakan. Yang terjadi, ada pergeseran kebiasaan masyarakat dalam memanfaatkan uang yang mereka miliki.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan, daya beli secara keseluruhan tidak turun. Meski begitu, ia mengakui ada tekanan dalam konsumsi domestik yang membuat konsumsi rumah tangga datar.

"Dibandingkan negara tetangga, pertumbuhan konsumsi Indonesia cenderung stabil tapi rendah. Jadi intinya daya beli masyarakat tidak turun tapi pertumbuhannya melemah," ujarnya di Jakarta, Selasa, (3/10).

Ia merinci ada indikasi penurunan konsumsi pada kelompok masyarakat menengah dan atas karena mereka beralih ke tabungan. Hal itu menyebabkan uang masyarakat semakin banyak mengendap di bank.

Pada sisi lain, jelas Faisal, pertumbuhan kredit cenderung turun. Sudah hampir 11 bulan berjalan pada 2017 ini tapi pertumbuhannya belum mencapai dua digit.

Faisal mengungkapkan ada perilaku masyarakat yang harus ditelaah mengapa lebih banyak ke tabungan. Pada 2012, hanya 18,6 persen masyarakat yang menabung, namun dalam dua tahun terakhir naik sekitar 20,77 persen sehingga DPK (Dana Pihak Ketiga) perbankan naik terus.

Selain itu, ada pergeseran pola konsumsi bukan penurunan daya beli. Menurut Faisal, adanya perubahan gaya hidup di mana orang semakin banyak memilih bepergian dibandingkan makan di mal.

"Persentase orang yang bepergian ke luar negeri 13 persen, kalau ke dalam negeri 10 persen," kata ekonom yang pernah maju sebagai cagub DKI ini.


Jokowi Sebut Daya Beli RI Naik, Apa Kata Bos JNE?



Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak percaya bahwa daya beli masyarakat turun. Dia meyakini bahwa hanya ada peralihan pola belanja masyarakat dari offline ke online terbukti dari jasa pengiriman barang yang meningkat.


Hal itu pun dibenarkan oleh PT TIKI Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) selaku salah satu perusahaan jasa pengiriman barang. Perusahaan mengakui bahwa memang terjadi peningkatan pengiriman barang.

"Iya memang pengiriman kita meningkat. Mereka yang di toko memang mengaku iya nih sepi. Tapi itu karena ada cara lain masyarakat berbelanja yakni melalui online," kata Direktur Utama JNE Muhammad Feriadi kepada detikFinance, Rabu (4/10/2017).

Feri mengatakan, imbas berkembangnya industri e-commerce di Indonesia memang membawa berkah bagi perusahaan. Terbukti dari volume penjualan yang terus meningkat.

Namun tidak seperti yang dikatakan Jokowi bahwa bahwa jasa kurir naik 135% di akhir September. JNE hanya merasakan kenaikan volume pengiriman sekitar 25-30%.

"Angkanya saya tidak bisa disclose tapi sekitar 25-30% peningkatan volume penjualan," imbuhnya.

Kendati begitu untuk rata-rata setiap tahunnya, pihaknya merasakan adanya kenaikan volume pengiriman sekitar 30-40%. Meski kompetisi di bidang pengiriman atau jasa kurir juga semakin ketat.

"Memang pengiriman menjadi pilar ketiga bagi e-commerce. Jadi sangat dibutuhkan. Tapi pemain semakin banyak, kompetisi semakin ketat," tukasnya.

Sebelumnya Jokowi mengaku tidak percaya bahwa daya beli anjlok. Sebab dia menemukan beberapa bukti seperti jasa kurir naik 135% di akhir September.

"Kita ngecek DHL, JNE, Kantor Pos, saya cek. Saya kan juga orang lapangan," kata Jokowi.

Selain itu dia juga melihat adanya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPn) yang berasal dari barang atau jasa dalam peredaran dari produsen ke konsumen. Kenaikannya sebesar 12,14% yang diartikan bahwa masih terjadi aktivitas ekonomi.



Gudang Toko Online Laris, Jokowi Bantah Penurunan Daya Beli




ernyataan Jokowi diamini oleh Chief Executive Office Blibli, Kusumo Martanto. Ia mengaku perusahaannya tengah memperbesar jangkauan pengiriman. Rencananya, empat gudang baru akan dibuat di beberapa kota untuk menambah empat gudang yang telah beroperasi di Jakarta.

“Kami akan tambah terus gudang untuk mencakup seluruh Indonesia biar pengiriman makin cepat,” kata Kusumo kepada Katadata.

Menurut dia, logistik adalah salah satu tantangan perusahaan digital karena ongkosnya masih mahal. Pembangunan infrastruktur diprediksinya bakal menurunkan biaya produksi, dibarengi dengan munculnya produsen dari luar Pulau Jawa.

Sehingga, dia juga mendorong Usaha Mikro Kecil dan Menengah pengguna layanan digital untuk menjual produk supaya lebih tersebar luas. “Biayanya jadi murah kalau produsen di daerah semakin banyak,” tutur Kusumo.

Sementara Chief Marketing Officer Lazada Achmad Alkatiri Lazada mengungkapkan kalau perusahaannya punya ambisi untuk mempersempit kesenjangan antara kota besar dan kota kecil di Indonesia.

“Kami berusaha membangun infrastruktur logistik di daerah untuk mengakali kebutuhan dan ongkos kirim yang masih mahal secara operasional,” ujar Achmad.

Lazada berencana membangun gudang di Makassar, Balikpapan, dan Pekanbaru. Dengan pengurangan biaya operasional, Lazada bisa melakukan program gratis ongkos kirim kepada pembeli di daerah. “Program ini bisa menstimulasi orang untuk belanja secara digital,” katanya lagi.

Senior Director PT Savills Consultants Indonesia Lucy Rumantir menyatakan hubungan perkembangan e-commerce dengan permintaan properti sangat erat. "Implikasinya kebutuhan terhadap toko retail berkurang, tetapi ada pertambahan ke arah yang berbeda seperti gudang dan pusat distribusi. Selain itu, e-commerce juga butuh kantor untuk manajemen," kata Lucy, beberapa waktu lalu.

Kelompok Masyarakat Menengah Bawah Masih Tahan Konsumsi



Daya beli masih menjadi anomali di tengah pertumbuhan ekonomi yang bergerak ke arah positif. Banyak penyebab yang diduga melatarbelakangi masyarakat untuk menahan konsumsi sehingga daya beli dinilai cenderung melemah.

Chief Economist Bank Mandiri Anton Hermanto Gunawan mengatakan penurunan daya beli tidak dapat dipukul rata ke seluruh kelompok masyarakat. Menurutnya, penurunan daya beli hanya terjadi pada kelompok tertentu.

"Kalau kita lihat kembali kelompok paling miskin mungkin pendapatan praktis biasa, tapi mereka ditopang kebijakan sosial atau bansos," ujarnya di Plaza Mandiri, Jakarta, Rabu (4/10/2017).

Anton menilai, justru pelambatan daya beli terjadi pada kelompok menengah lantaran mereka harus menanggung imbas dari kebijakan pemerintah, terutama terkait dengan administered price.

"Spending yang melambat adalah kelompok yang tidak berhak dapat bansos tapi mereka harus menghadapi situasi di lapangan bayar listrik BBM dengan harga yang lebih tinggi sebelumnya," kata dia.



Kebijakan Pemerintah melalui pengalihan subsidi adalah kebijakan yang tepat di mana akan mengalihkan anggaran kepada hal yang lebih bermanfaat bagi masyarakat, namun, bagi kelompok menengah yang menanggung kenaikan harga pasca pengurangan subsidi serta tidak menerima bantuan sosial pemerintah, justru memberatkan mereka. Akibatnya, mereka cenderung menahan konsumsi.

" Reformasi subsidi sebenarnya baik, untuk mengalihkan indirect ke direct subsidi, membuat mereka yang near poor harus menanggung akibatnya, makanya bisa tercermin dari pertumbuhan konsumsi yang lebar," kata dia.

Selain itu, pelemahan daya beli, juga terkait dengan perubahan pola pembelian ke online.

Hal senada juga diungkapkan oleh, Head of Industry and  Regional research Dendi Ramdani. Menurutnya ada sebanyak,  19 juta orang yang terkena imbas dari pencabutan subsidi, banyaknya masyarakat yang terimbas, menyebabkan adanya penurunan daya beli.

"Pencabutan subsidi listrik sehingga orang harus bayar dengan harta pasar, dan itu dampaknya ke 19 juta rumah tangga. Mereka sekarang harus bayar dua kali lipat. jadi ya dia harus adaptasi pengeluarannya, jadi dampaknya akan mengurangi konsumsi," kata dia.



Namun bagaimana tanggapan rakyat kecil yang berjualan di pasar tradisional yang menjual kebutuhan pokok, toko bangunan, para pedagang kaki lima yg berjualan dipinggir-pinggir jalan, apakah  mengalami penurunan pendapatan? dan apakah pembeli yang berbelanja Online adalah dari golongan ekonomi Menengah ke Bawah atau Menengah ke Atas?

Salah satu faktor yang menyedot dan menguras saldo keuangan keluarga bagi ekonomi menengah ke bawah adalah dicabutnya Subsdi listrik dan penarikan pajak diberbagai sektor oleh pemerintah

Untuk mengetahui keluhan tingginya biaya listrik, bisa dibaca satu persatu dilink ini http://listrik.org/pln/tarif-dasar-listrik-pln/



references by

  • https://economy.okezone.com/read/2017/10/03/470/1787869/daya-beli-menurun-masyarakat-menengah-bawah-mulai-kurangi-belanja
  • https://kumparan.com/angga-sukmawijaya/ekonom-bank-mandiri-daya-beli-masyarakat-memang-melambat
  • http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/10/04/ox9pzb440-ini-dua-faktor-penyebab-daya-beli-melemah
  • https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3669692/jokowi-sebut-daya-beli-ri-naik-apa-kata-bos-jne
  • http://katadata.co.id/berita/2017/10/04/jokowi-bantah-penurunan-daya-beli-karena-sewa-gudang-toko-online-naik
  • https://economy.okezone.com/read/2017/10/04/20/1788827/butuh-adaptasi-kelompok-masyarakat-menengah-masih-tahan-konsumsi




 
Like us on Facebook