Sehingga, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU ITE di atas setiap informasi dan/atau dokumen elektronik yang diterima melalui smartphone/sms/telpon maupun alat komunikasi lainnya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.
Dalam ranah hukum pidana, alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yaitu terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Di samping itu, menurut Jaksa pada Kejaksaan Agung RI Arief Indra Kusuma Adhi yang kami kutip dari artikel Faksimili Sebagai Alat Bukti, ada dua pilihan yang sering dipakai untuk menyikapi alat bukti elektronik yaitu, sebagai alat bukti surat, atau alat bukti petunjuk, dengan ketentuan:
1. Informasi elektronik menjadi alat bukti surat jika informasi elektronik itu diubah dalam bentuk cetak;
2. Informasi elektronik menjadi alat bukti petunjuk apabila informasi elektronik itu punya keterkaitan dengan alat bukti lain dan semua kekuatan alat bukti tersebut bebas. Artinya, informasi elektronik tersebut tetap dikaitkan dengan alat bukti lain dan menurut keyakinan hakim, selain kemampuan jaksa meyakinkan hakim.
Informasi elektronik berupa kata-kata tidak senonoh tersebut setidak-tidaknya dapat dijadikan alat bukti surat (bila diubah menjadi bentuk cetak), atau dapat juga dijadikan sebagai alat bukti petunjuk. Lebih jauh mengenai alat bukti dalam UU ITE dapat juga disimak artikel UU ITE Jadi Payung Hukum Print Out Sebagai Alat Bukti.
mengenai ancaman pidana terkait dengan kata-kata tidak senonoh yang dikirim/terima melalui blackberry, kita bisa merujuk pada ketentuan Pasal 45 jo. Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur sebagai berikut:
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
berdasarkan pengaturan Pasal 45 jo. Pasal 27 ayat (1) UU ITE, orang yang mengirimkan informasi elektronik berupa kata-kata tidak senonoh yang dinilai telah melanggar kesusilaan melalui blackberry dapat dilaporkan ke kepolisian dengan memberikan bukti pesan tidak senonoh yang diterima sebagai bukti permulaan selain nantinya didukung oleh laporan kepolisian.
Terkait dengan bukti permulaan yang cukup, simak artikel Proses Penyelidikan dan Penyidikan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Wilayah RI.
Bagaimana Menjerat Pelaku Pelecehan Seksual Secara Verbal /terucap Dengan Kata-Kata ?
Dalam kasus pelecehan seks secara verbal yang terjadi di tempat umum (contoh: di jalanan umum) seperti dengan kata-kata porno, ekspresi-ekspresi porno terhadap seorang wanita pengguna jalan umum tersebut, apakah mungkin dilakukan proses hukum terhadap pelaku? Undang-undang mana dan pasal mana sajakah yang bisa dimungkinkan untuk menjerat pelaku seperti itu?
Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.
Menurut Ratna, dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David Gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments".
Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.
Pendapat yang mendukung hal di atas juga diutarakan oleh Nina Tursinah, S.Sos, M.M., Ketua Bidang UKM, Wanita Pekerja, Pengusaha, Gender & Sosial DPN Apindo (sebagaimana pernah dikutip dalam artikel yang berjudul Apakah Memandang Termasuk Pelecehan Seksual?), ada empat bentuk pelecehan seksual yaitu:
a. Fisik, kontak langsung tubuh, mencubit, mencium, menatap dengan nafsu
b. Lisan, komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi
c. Isyarat, bahasa tubuh yang bernada seksual
d. Tulisan, Gambar, pornografi, postek seksual atau pelecehan lewat email dan model komunikasi elektronik
e. Psikologis, Emosional, ajakan terus menerus dan tidak diinginkan kencan yang tidak diharapkan penghinaan, celaan.
Akan tetapi, pendapat berbeda dapat dilihat melalui penjelasan R. Soesilo (Ibid) dalam Pasal 281 KUHP. Sebagaimana kami sarikan, R. Soesilo mengatakan bahwa kesopanan dalam pasal tersebut adalah dalam arti kata kesusilaan, perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan perempuan, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium, dan sebagainya.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa pengrusakan kesopanan ini semuanya dilakukan dengan perbuatan. Dapatkah hal itu dilakukan dengan perkataan? Prof. Dr. D. Simons menentang kemungkinan perkosaan terhadap kesopanan dengan perkataan. Dalam hal dengan perkataan, orang dapat dikenakan Pasal 315 KUHP.
Sebagaimana dikutip oleh R. Soesilo, Mr. W.F.L. Buschkens berpendapat lain, ialah bahwa merusak kehormatan (penghinaan) itu suatu pengertian umum, yang juga meliputi merusak kesopanan apabila meliputi pernyataan (baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan-perbuatan) yang mengenai nafsu kelamin, maka kesopanan itu merupakan suatu pengertian yang khusus yang lebih sempit dan bahwa berdasar atas ketentuan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, maka Pasal 281 KUHP lebih baik digunakan daripada Pasal 315 KUHP.
Pasal 63 KUHP
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dan satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Pasal 281 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
2. barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.
Pasal 315 KUHP
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Jadi sebagaimana diuraikan di atas, tindakan pelecehan seks secara verbal yg terjadi di tempat umum dapat dipidana. Akan tetapi, masih terdapat pro dan kontra mengenai pasal mana dalam KUHP yang dapat digunakan. Ada yang berpendapat untuk menggunakan Pasal 281 KUHP dan ada juga yang berpendapat untuk menggunakan Pasal 315 KUHP (penghinaan ringan).
Bentuk-bentuk pelecehan seksual
Verbal: gurauan porno ('pulang jam segini, perempuan macem apa?', 'berapa mba satu jam?'), siulan nakal, julukan yang merendahkan (si bohay, tante montok), dan lainnya.
Non verbal: memandangi lekat- lekat dengan penuh nafsu, bergaya seolah menjilat dan memberikan ciuman dari jarak jauh, tindakan yang menyentuh korban seperti meraba, mencium, menggesekkan.
CARA MELAPOR PELCEHAN SEKSUAL
Cari Konselor
Ini langkah pertama yang paling penting, paling mutlak, dan enggak bisa dinegosiasikan. Korban kekerasan pasti mengalami trauma. Percuma kasusmu dibawa ke ranah hukum dan pelakunya ditangkap kalau kamu sendiri tidak mendapat bantuan, kan?
Tentu, curhat sama sahabat dan keluarga itu sangat penting dilakukan, dan mereka bisa memberi dukungan moral yang luar biasa. Tapi, korban kekerasan biasanya perlu ngobrol banyak sama konselor untuk memastikan mereka betul-betul membaik.
Cari Pendamping Hukum / Pengacara
Kalau kamu mau membawa kasusmu ke ranah hukum, jangan lakukan sendirian. Kamu pasti butuh dukungan dari orang-orang terdekat seperti keluarga dan teman. Tapi, lebih penting lagi, kamu butuh pendamping hukum.
Mereka enggak cuma bisa menemani kamu melalui proses hukum yang enggak gampang. Mereka juga bisa menjelaskan apa saja langkah-langkah yang perlu kamu tempuh, hukum apa saja yang melindungi kamu, dan berhubungan dengan pihak berwajib.
Kamu bisa meminta pendamping hukum di Lembaga Bantuan Hukum terdekat (seperti LBH Apik) atau yang konselormu rekomendasikan. Biasanya, mereka juga mengenal pendamping hukum yang simpatik dan mau membantu.
Kumpulkan Bukti
Kebanyakan kasus kekerasan seksual (seperti kasus pemerkosaan) harus dibuktikan dengan yang namanya visum et repertum alias VeR. Singkatnya, VeR itu pemeriksaan medis terhadap tubuh kamu untuk mencari bukti-bukti terjadinya kekerasan – misalnya ada memar, luka, dan sebagainya.
VeR harus dilakukan di rumah sakit dan dilakukan oleh dokter. Tapi, ini kuncinya: VeR harus dilakukan segera atau tak lama setelah kejadian, dan tidak bisa ditunda terlalu lama. Kalau terlalu lama, bukti fisik tersebut bisa saja hilang.
Masalahnya, banyak korban kekerasan seksual enggak mau segera melaporkan kejadian, entah karena mereka trauma, takut dibalas pelaku, atau merasa malu. Tapi, kalau kamu ingin segera melaporkan, jangan ragu-ragu lagi: langsung ke RS dan minta visum.
Sementara, jika kekerasan tak berupa fisik, seperti teror lewat internet atau pun penyebaran foto pribadi, kamu bisa juga mengumpulkan bukti-bukti digital.
Tuntut dengan Pasal yang Pas
Sejauh ini, Indonesia punya dua hukum besar yang melindungi korban pemerkosaan. Pasal 285 KUHP, dan Pasal 286 KUHP. Semisal kamu penasaran apa isi pasalnya, ini isi Pasal 285:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman memaksa seseorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan.”
Dan ini isi Pasal 286:
“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Dua pasal itu bisa digunakan untuk menuntut pelaku pemerkosaan secara hukum. Kalau kamu berusia di bawah 18 tahun alias masih anak, kamu bisa menuntut pelaku dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, yang membahas Perlindungan Anak. Atau, alternatifnya, kamu bisa melapor ke Komnas Perlindungan Anak dan meminta bantuan hukum dari mereka.
Kalau kamu di bawah usia 18 tahun dan kamu jadi korban kekerasan seksual, kamu masih bisa menuntut dengan Undang-Undang Perlindungan anak yang kami bahas di atas. Tapi, kalau kamu di atas 18 tahun, kamu gay, dan kamu jadi korban kekerasan seksual oleh laki-laki lain, misalnya, belum ada hukum yang khusus melindungi kamu.
Namun, bukan berarti tidak ada pilihan. Pelaku bisa dituntut dengan pasal lain, meski mungkin tidak spesifik ke pasal-pasal terkait kekerasan seksual. Seperti yang kami sebut di poin kedua, hal ini sebaiknya kamu obrolin dengan pendamping hukum atau konselor kamu. Belum lagi proses hukum di Indonesia masih cenderung lamban dan menyalahkan perempuan. Proses juga berlarut-larut sehingga penting sekali bagi korban untuk punya support group.
Ingat, kamu tidak sendirian. Dan semua ini bukan salahmu. Kamu pantas diperlakukan lebih baik, dan pantas mendapatkan keadilan. Good luck!
references by hukumonline, sobatask