Seringkali Rasulullah SAW mengingatkan agar kita berbakti kepada orang tua kita. Memuliakan dan mengabdi kepada mereka. Sehingga jika ada anak yang durhaka kepada orang tuanya maka ia adalah orang yang bakal sengsara didunia dan di akhirat. Dan termasuk dosa yang akan didahulukan hukumannya di dunia sebelum di akhirat adalah dosa durhaka kepada orang tua.
Untuk memupuk benih bakti seorang anak kepada orang tuanya adalah dengan sering-sering kita menghadirkan besarnya makna perjuangan orang tua terhadap anak-anaknya di saat sang anak masih kecil.
Sungguh suatu pengabdian yang tiada tandingnya. Orang tua rela sakit demi anak, tidak nyenyak tidur demi anak dan begitu seterusnya. Perjuangan demi perjuangan beliau jalani, pengabdian demi pengabdian beliau lalui semuanya adalah demi anak.
Akan tetapi kadang seorang anak terbawa dalam kelalaian akan semua yang telah diperjuangkan oleh orang tua. Sehingga ada seorang anak membentak orang tuanya atau bahkan dengan mudah memukul orang tuanya atau menyakiti hati orang tuanya dengan lidah dan tingkah lakunya. Yang ingin melihat manusia celaka di dunia dan di akhirat cukuplah melihat seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya.
Durhaka kepada orang tua kadang teramat halus sehingga tidak dirasakan oleh seorang anak akan tetapi ternyata seorang anak sudah berada pada hakekat kedurhakaan.
Seorang anak yang menghindar dari beban biaya rumah sakit untuk orang tuanya yang ditanggung oleh saudara-saudaranya. Disaat pembayaran biaya rumah sakit pura-pura tidak tahu atau menjauh untuk sementara dari keluarganya dengan berbagai alasan. Namun sebenarnya hanya ingin menghindar dari beban biaya pengobatan orang tuanya. Sungguh Allah Maha Tahu apa yang ada di hati sang anak durhaka ini. Sadarilah bahwa jika kita sakit seorang tua akan mengorbankan semua yang dimilikinya demi kesehatan kita.
Adalagi seorang yang durhaka dengan memanfaatkan kebaikan orang tua. Orang tuanya memang mencintainya dan berjuang untuknya. Menyekolahkannya hingga sang anak bisa berhasil dan mendapatkan pekerjaan yang nyaman, bersih dengan gaji tinggi. Sementara orang tuanya tetap tidak berubah sebagai seorang petani yang kulitnya disamping semakin hitam terbakar matahari juga semakin berkeriput dimakan usia. Akan tetapi keberhasilan sang anak tidak merubah keadaan orang tuanya. Bahkan mungkin seorang anak dengan tanpa hati nurani telah menjadikan sang ibu babu di rumahnya yang mencuci bajunya dan menyiapkan makan sang anak. Sungguh ini adalah anak durhaka yang susah bertaubat sebab ia tidak sadar jika yang demikian itu adalah durhaka.
Adalagi durhaka yang tidak dirasakan oleh seorang anak. Yaitu dikala orang tua yang sudah keriput itu tidak lagi dianggap nyaman keberadaannya di meja makan bersama. Maka seorang tua pun dibuatkan meja kecil di ruang yang agak terpisah agar tidak menggangu. Dan hanya orang durhaka-lah yang menganggap orang tuanya mengganggu.
Cukuplah orang tua kita capek di saat kita masih kecil giliran kita sudah dewasa dan orang tua kita semakin lemah mari kita muliakan dan kita layani orang tua kita. Mengabdi berangkat dari hati yang tulus karena Allah SWT bukan hanya takut dihujat oleh masyarakatnya. Sebab ada orang mengabdi dan berlemah lembut kepada orang tuanya di depan teman dan tetangganya akan tetapi di saat tidak ada yang melihatnya maka pengabdian dan lemah lembut itupun hilang.
Pernahkah engkau memperhatikan seorang anak kecil yang tengah bersama orang tuanya? Atau, ingatlah masa kecilmu dulu sampai masa sekarang.
Ingatlah betapa besar kasih sayang kedua orang tuamu kepadamu. Ingatlah betapa besar perhatian mereka akan tempat tinggalmu, makan dan minummu, pendidikanmu, serta penjagaan mereka pada waktu malam dan siang. Ingatlah betapa besar kekhawatiran mereka ketika engkau sakit hingga pekerjaan yang lain pun mereka tinggalkan demi merawatmu. Uang yang mereka cari dengan susah payah rela mereka keluarkan tanpa pikir panjang demi kesembuhanmu. Ingatlah kerja keras siang malam yang mereka lakukan demi menafkahimu. Niscaya engkau akan mengetahui kadar penderitaan kedua orang tuamu pada waktu mereka membimbing dirimu hingga beranjak dewasa.
Sering kali, ketika rasa kecewa telah memenuhi hati kita, kekecewaan yang muncul akibat orang tua yang tidak tahu dan tidak paham akan kebenaran Islam yang sudah kita ketahui, bahkan ketika mereka justru menjadi penghalang bagi kita dalam tafaquh fiddin, kita jadi seakan-akan mempunyai alasan untuk tidak mempergauli mereka dengan baik.
ingatlah bahwa sejelek apapun orang tua kita, kita tetap tidak akan bisa membalas semua jasa-jasanya. Ingatlah, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala pun tetap memerintahkan kita untuk mempergauli mereka dengan baik, meskipun mereka telah menyuruh kita berbuat kesyirikan. Ya, yang perlu kita lakukan hanyalah tidak mentaati mereka ketika mereka menyuruh kita untuk bermaksiat kepada Allah dan tetap berlaku baik pada mereka. Lebih dari itu, tidakkah kita ingin agar bisa mereguk kebenaran dan keindahan Islam bersama mereka, ? Tidakkah kita menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi mereka sebagaimana mereka yang selalu menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi kita? Tidakkah kita ingin agar Allah mempertemukan kita di Jannah-Nya? Karena itu, bersabarlah . Bersabarlah dalam membimbing dan berdakwah pada mereka sebagaimana mereka selalu sabar dalam membimbing dan mengajari kita dahulu. Jangan pernah putus asa, batu yang keras sekalipun bisa berlubang karena ditetesi air terus menerus.
Tahukah engkau , salah satu doa yang mustajab? Yaitu doa dari seorang anak yang shalih untuk orang tuanya. Sambutlah kembali hadiah nabawiyah ini,
Dalam hadist Abu Hurairoh radhiyallahu anhu disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila manusia mati, putuslah amalnya kecuali tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairoh radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah pasti mengangkat derajat bagi hamba-Nya yang shalih ke surga, maka ia bertanya, ‘Ya Allah, bagaimana itu bisa terjadi?’ Allah menjawab, ‘Berkat istigfar anakmu untukmu.'” (HR. Ahmad)
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kelak akan datang kepada kamu sekalian seseorang bernama Uwais bin ‘Amir, anak muda yang belum tumbuh janggutnya, keturunan Yaman dari kabilah Qarn. Pada tubuhnya terkena penyakit kusta, namun penyakit itu sembuh daripadanya, kecuali tersisa seukuran uang dirham. Dia mempunyai ibu yang ia sangat berbakti kepadanya. Apabila ia berdoa kepada Allah niscaya dikabulkan, maka jika engkau bertemu dengannya dan memungkinkan minta padanya memohonkan ampun untukmu maka lakukanlah.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Dahsyatnya Azab Allah Akibat Durhaka Kepada Kedua Orang Tua
Dahsyatnya azab Allah SWT akibat durhaka kepada orang tua. Allah akan menunjukkan azabnya di dunia tidak menundanya sampai hari akhirat. Azab di duni bagi seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya berupa hidup dalam kesengsaraan, tidak bahagia, sulit saat sakaratul maut. Dan di akhirat sungguh azab yang sangat perih.
Sabda Rasulullah SAW : ''Sesungguhnya ada orang yang berbakti kepada orang tua nya ketika mereka masih hidup,tetap ia di catat sebagai anak yang durhaka kepada mereka karena ia tidak pernah memohonkan ampunan untuk mereka setelah wafat,dan sesungguhnya ada orang yang durhaka kepada orang tua ketika mereka masih hidup tetapi ia di catat sebagai anak yang berbakti kepada mereka setelah mereka wafat karena memperbanyak istighfar (memohonkan ampunan) untuk mereka".
Abu Bakrah (pewari hadits) menceritakan, Rasulullah saw bersabda : “Maukah kalian Aku beritahukan tentang dosa besar yang paling besar?” (Beliau mengulanginya sampai tiga kali). maka kami berkata : “Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda : “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Ketika itu beliau bersandar kemudian duduk sambil berkata : “Ketahuilah begitu juga dengan ucapan dusta dan saksi dusta.” Beliau terus mengulang-ulangnya hingga kami berkata : “semoga Beliau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seperti apa ukuran perbuatan durhaka kepada orang tua, simak hadits ini :
Salah seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah ''Apa ukuran durhaka kepada orang tua?'' Rasulullah menjawab ''Ketika mereka menyuruh ia tidak mematuhi,ketika mereka meminta ia tidak memberi,jika memandang mereka ia tidak hormat kepada mereka sebagaimana hak yang telah di wajibkan bagi mereka''
Rasulullah juga pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib ''Wahai Ali, barang siapa yang telah membuat sedih kedua orang tuanya maka ia telah durhaka kepada mereka''.
Beberapa hal yang terjadi akibat durhaka kepada kedua orang tua :
1. Haram masuk ke surga Allah.
“Ada tiga jenis orang yang diharamkan Allah masuk surga, yaitu pemabuk berat, pendurhaka terhadap kedua orang tua, dan juga seorang dayyuts atau banci (merelakan kejahatan berlaku di dalam keluargannya, merelakan istri dan anak perempuannya serong)”. (H.R. Nasa’i dan Ahmad)
2. Dimurkai oleh Allah SWT.
“Keridhaan Allah tergantung keridhaan orang tua, dan murka Allah pun tergantung pada murka kedua orang tua”. (H.R. al-Hakim).
3. Tidak diterima amal ibadah dan Shalatnya.
“Allah tidak akan menerima Ibadahnya, shalatnya orang orang yang dibenci kedua orang tuanya yang tidak menganiaya kepadannya”. (H.R. Abu al-Hasan bin Makruf)
4. Tidak dianggap masuk golongan umat Nabi Muhammad SAW
“Bukan termasuk dari golongan kami orang orang yang diperluas rezekinnya oleh Allah lalu ia kikir dalam menafkahi keluargannya”. (H.R. ad-Dailamy)
5. Mendapat gelar ‘kafir’. Naudzubillah
“Jangan membenci kedua orang tuamu. Barang siapa Orang yang mengabaikan kedua orang tua, maka dia kafir”. (H.R. Muslim).
6. Allah akan memberikan azab di dunia.
Al-hakim dan al-Ashbahani, dari abu bakrah r.a. dari Nabi Saw, Beliau bersabda, “setiap dosa akan diakhirkan oleh Allah SWT sekehendak-Nya sampai hari kiamat, kecuali dosa besar yang mendurhakai kedua orang tua. Sesungguhnya Allah SWT akan menyegerakan (balasan) kepada pelakunnya didalam hidupnya sebelum mati”.
7. Dosanya tidak akan diampuni Allah SWT.
Dari Aisyah r.a. ia berkata, Rasulullah Saw. Bersabda, “dikatakan kepada orang yang durhaka kepada kedua orang tua, “berbuatlah sekehendakmu, sesungguhnya Aku tidak akan mengampuni. “Dan dikatakan kepada orang yang berbakti kepada orang tua, bahwa berbuatlah sekehendakmu, sesungguhnya Aku mengampunimu.” (H.R. Abu Nu’aim).
8. Membatalkan semua amal ibadahnya.
“Ada tiga hal yang menyebabkan terhapusnya seluruh amal, yaitu syirik kepada Allah, durhaka kepada orang tua dan seorang alim yg dipermainkan oleh orang dungu & jahil”. (H.R. Thabrani).
9. Diharamkan mencium bau surga Allah SWT.
“sesungguhnya Aroma surga itu tercium dari jarak perjalanan seribu tahun, dan demi Allah tidak akan mendapatinya barang siapa yang durhaka kepada orang tuanya”. (H.R.Thabrani).
10. Terputus rezekinya.
“Apabila seseorang tidak meninggalkan doa bagi kedua orang tuanya, maka akan terputus rezekinya”. (H.R. ad-Dailamy).
11. Termasuk kedalam orang mendapat kerugian besar.
Sabda Rasulullah SAW “sungguh kecewa dan hina, sungguh kecewa dan hina, sungguh kecewa dan hina orang yang mendapati orang tuanya atau salah satunya sampai tua, lantas ia tidak dapat masuk surga”. (H.R. Muslim).
Kewajiban anak kepada orang tua pada masa hidupnya dan setelah matinya
sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa berbakti kepada orang tua adalah amalan yang paling utama dan paling dicintai oleh Allah Ta'ala setelah kita beribadah kepada-Nya. Berbakti kepada orang tua merupakan sebab kita mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala, mendapatkan surga-Nya dan merupakan sifat dan amalan mulia para Nabi. Dari sini jelas bahwa orang tua memiliki hak agung yang wajib dipenuhi oleh sang anak sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah dan balas budi kepada keduanya. Berbakti kepada orang tua tidak hanya sebatas pada saat keduanya masih hidup, melainkan harus terus dilakukan setelah keduanya meninggal.
Berbakti kepada orang tua Pada masa hidupnya
Pertama: Mempergauli Keduanya dengan Baik di Dunia
Orang tua adalah manusia yang paling berhak mendapatkan pergaulan dengan baik. Hal itu tidak hanya terbatas kepada orang tua yang baik dan taat saja, orang tua yang kafirpun –wal ‘iyadzu billah– juga berhak mendapatkan pergaulan yang baik, karena kekufurannya tersebut kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan ketaatan seorang anak kepada orang tuanya merupakan kewajiban tersendiri. Allah berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya selama dua tahun, bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah tempat kembalimu dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” QS. Luqman [31]: 14-15
Dan dalam hadits yang shahih diriwayatkan:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ j فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِيْ الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ. قَالَ « فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ ». قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلاَهُمَا. قَالَ « فَتَبْتَغِيْ الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا »
Dan Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyalllahu'anhu berkata: ”Telah datang seseorang kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan mengatakan, “Aku akan membaiatmu untuk hijrah dan jihad dalam rangka mengharapkan pahala dari Allah”, maka Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Apakah salah satu dari orang tuamu ada yang masih hidup?” Orang tersebut menjawab, ”Ya masih hidup, bahkan keduanya masih hidup”. Rasulullah kemudian bertanya, “Apakah kamu menginginkan pahala dari Allah?”, maka laki-laki tadi menjawab, ”Ya, aku mengharapkan pahala”. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “kalau demikian maka pulanglah kepada kedua orang tuamu dan pergaulilah mereka dengan sebaik-baiknya.” (HR. Muslim: 2549)
Perhatikanlah ayat di atas, begitu tinggi kemuliaan orang tua, sampai-sampai orang tua yang kafirpun tetap diperintahkan agar mempergaulinya dengan baik dan mentaatinya selama tidak memerintahkan kemaksiatan, apabila kita diperintah untuk berbuat maksiat, maka pada saat itu kita tidak boleh mentaatinya. Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki agar berbakti kepada orang tua, padahal ketika itu ia hendak pergi dalam rangka berjihad di jalan Allah.
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa jihad meskipun memiliki kedudukan yang tinggi dan merupakan dzirwatu sanamil Islam (puncaknya Islam), akan tetapi berbakti kepada orang tua harus kita dahulukan apabila jihad tersebut hukumnya bukan fardhu ‘ain.
Kedua: Mendakwahi Keduanya
Dengan selalu mendoakan keduanya serta antusias dalam menasehati, mengerahkan segala daya dan upaya agar Allah memberikan hidayah Islam kepada keduanya apabila keduanya masih kafir, dan memberikan hidayah kepada manhaj yang benar.
Inilah jalan yang telah ditempuh oleh para Nabi dan generasi awal umat ini, mereka bersemangat dan sangat berharap agar orang tua mereka mendapatkan hidayah dan merasakan manisnya iman sebagaimana yang telah mereka rasakan. Mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk mencapai harapan dan tujuan yang mulia tersebut.
Begitu banyak kisah yang dapat kita jadikan teladan di dalam masalah ini. Oleh karenanya, untuk melengkapi pembahasan kita kali ini, kami suguhkan kepada para pembaca yang budiman dua contoh kisah yang mudah-mudahan kita bisa menuai pelajaran darinya.
Kisah pertama, adalah Khalilu ar-Rahman Nabi Ibrahim 'alaihis salaam, beliau sangat antusias menunjukkan ayahnya, Azar yang kafir dan berusaha mendakwahinya dengan baik, dengan beraneka ragam cara, disertai hujjah-hujjah naqli (dalil syar’i) maupun aqli (logika), dengan tarhib (peringatan) dan targhib (janji dan kabar gembira).
Allah Ta'ala telah memberitakan kepada kita tentang hal tersebut, di antaranya adalah dalam firman-Nya:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا (41) إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا (42) يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا (43) يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا (44) يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا (45) قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا (46) قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا (47)
“Ceritakanlah (wahai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (al-Qur`an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (perkara ghaib yang datang dari Allah) lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan juga tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Tuhan yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan. Ayahnya berkata, “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam. Ibrahim berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama.” QS. Maryam [19]: 41-47
Dan jika sang anak sudah berusaha secara maksimal untuk mengajak orang tuanya ke jalan yang benar, akan tetapi orang tuanya tidak mengindahkan dakwahnya justru malah menentangnya, maka sang anak tidak tergolong durhaka kepada orang tua, selama cara dan jalan yang ditempuh tersebut benar, bahkan ia tergolong anak yang cinta kepada orang tuanya, karena mengharapkan orang tuanya mendapatkan nikmat paling agung yaitu hidayah. Oleh karena itu, hendaknya sang anak tidak putus asa dan berhenti dalam mendakwahi orang tuanya.
Kisah kedua, adalah sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dimana ibunya yang dahulu masih dalam kekafiran senantiasa menyakiti serta mengganggu Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dengan lisannya, walaupun demikian Abu Hurairah radhiyallahu'anhu tetap mempergaulinya dengan baik dan beliau sangat semangat mendakwahinya agar mendapatkan hidayah.
Marilah sejenak kita menyimak apa yang telah dilakukan oleh Abu Hurairah rahiyallahu'anhu, dan bagaimanakah perjuangan beliau. Beliau menceritakan, ”Aku dahulu mendakwahi ibuku kepada Islam karena waktu itu dia masih dalam keadaan musyrik. Pada suatu hari aku mendakwahinya, ternyata kudengar darinya pembicaraan yang kurang baik tentang Rasulullah, maka aku mendatangi Rasulullah dalam keadaan menangis dan aku katakan kepada Beliau, wahai Rasulullah, aku telah mendakwahi ibuku agar masuk Islam tapi ia enggan, bahkan berbicara tentangmu apa yang tidak aku suka, oleh karena itu doakanlah agar Allah memberi petunjuk kepada ibuku”. Kemudian Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah berikanlah petunjuk kepada ibu Abu Hurairah”. Setelah mendengar doa tersebut aku pun keluar menuju rumahku dengan penuh kegembiraan, tatkala sampai rumah ternyata pintu tertutup. Tatkala aku sampai rumah dan ibuku mendengar suara sandalku, beliau mengatakan, “berhentilah di tempatmu, wahai Abu Hurairah”. Pada saat itu aku mendengar suara air, beliau mandi, mengenakan pakaiannya lalu membukakan pintu untukku seraya mengucapkan “Wahai Abu Hurairah, Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh”.
Setelah mendengar perkataan ibunya tersebut, Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata, “Maka aku segera kembali menemui Rasulullah dalam keadaan menangis karena kebahagiaan yang aku rasakan lalu kukatakan kepada Rasulullah, “Kabar gembira wahai Rasulullah, Allah telah mengabulkan doamu dan Allah telah memberi petunjuk kepada ibuku”, maka Rasulullah pun memuji Allah dan menyanjungNya seraya mengucapkan kebaikan.” (HR. Muslim: 2491)
Lihatlah Sahabat yang mulia ini, bagaimana usaha beliau yang begitu gigih dan tak kenal lelah dalam mendakwahi ibunya. Beliau menempuh berbagai cara untuk mencapai tujuan mulianya, dari mulai bersikap, berakhlak, dan berbicara dengan baik, melalui pendekatan yang baik, sampai pada akhirnya ketika pintu dakwah seakan tertutup setelah mendengar ucapan yang tidak baik dari ibunya tentang Nabi termulia, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, beliaupun tidak lantas berputus asa, justru beliau mencari cara lain dengan mendatangi Rasulullah agar diketukkan pintu langit, berdoa kepada Allah Ta'ala karena Dialah tempat kembali, tempat memohon dan penentu keputusan, ditambah lagi dengan keyakinan Abu Hurairah yang mantap bahwa doa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam apabila beliau mendoakan kebaikan kepada suatu kaum atau mendoakan kejelekan, akan dikabulkan. Sehingga cara inipun ditempuh oleh Abu Hurairah radhiyallahu'alaihi wa sallam, yang pada akhirnya pengharapan beliau terwujud yaitu ibunya tercinta masuk ke dalam agama Islam.
Inilah di antara contoh praktik orang-orang mulia dalam mewujudkan birrul walidain, maka hendaknya kita bisa meneladani mereka. Allah Ta'ala berfirman:
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” QS. al-An’am [6]: 90
Seorang penyair pun telah bersenandung dalam syairnya,
فتَشَبَّهُوْا بِاْلكِرَامِ وَ إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ
إِنَّ التَّشَبُّهَ بِاْلكِرَامِ فَلَاحُ
Menirulah orang-orang mulia walaupun engkau tidak bisa seperti mereka,
Sesungguhnya meniru orang-orang mulia adalah sebuah keberuntungan.
Ketiga: Rendah hati di hadapan kedua orang tua, tidak mengangkat suara di hadapan keduanya walaupun sekedar ucapan uf atau ah
Allah berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu aku masih kecil.” QS. al-Isra` [17]: 23-24
Dan inilah Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, beliau apabila masuk ke suatu tempat yang orang tuanya tinggal di dalamnya, maka beliau mengucapkan kepada ibunya, “‘Alaikissalamu warahmatullahi wabarakatuh, wahai ibuku”. Ibunya pun menjawab: “Wa’alaikassalam warahmatullahi wabarakatuh.” Abu Hurairah mengatakan: “mudah-mudahan Allah merahmatimu, sebagaimana engkau telah mendidikku sewaktu aku masih kecil,” dan ibunya pun menjawab, “wahai anakku mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu serta meridhaimu karena engkau telah berbakti kepadaku di masa tuaku.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad: 14 dengan sanad yang hasan)
Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana bakti sahabat Abu Hurairah ini dan bagaimana beliau mengungkapkan rasa syukurnya serta menunjukkan penghormatannya kepada ibunya? Di sisi lain, engkau juga akan mendapati betapa sang ibu merasakan bakti anaknya sehingga dia sangat menyayangi sang anak. Allahu akbar! Inilah hakikat kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu tatkala sang anak dan orang tua merasakan kebaikan, maka orang tua akan mendapatkan haknya, begitu pula anaknya juga akan mendapatkan haknya.
Berbakti kepada orang tua setelah meninggalnya
Ketika orang tua telah meninggal dunia, maka tidak ada yang diharapkan dari yang hidup kecuali apa-apa yang bisa memberikan manfaat kepada akhiratnya, berupa pahala dan yang dapat menyelamatkannya dari siksa.
Di antara yang dapat memberikan manfaat kepada orang tua setelah meninggalnya yang dapat dilakukan oleh sang anak dalam mewujudkan baktinya, adalah:
1. Amalan shalih yang dilakukan anaknya
Seorang anak hendaknya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatannya kepada Allah, karena setiap amal shalih yang dikerjakan sang anak pahalanya akan sampai kepada kedua orang tua yang beriman walaupun ia tidak mengatakan, “amal ini aku hadiahkan untuk ibu atau ayahku”, ataupun ucapan yang semisal, karena anak merupakan bagian dari usaha orang tuanya, dan hal itu sama sekali tidak mengurangi pahala sang anak. Sebagaimana yang Allah firmankan:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” QS. an-Najm [53]: 39
Dan anak merupakan bagian dari usaha orang tuanya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:
إنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ
“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan adalah dari usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah termasuk bagian dari usaha kalian.” )HR. at-Tirmidzi: 1358, Ibnu Majah: 2290 dan Ahmad: 6/162 (lihat Shahih Ibnu Majah: 1854))
Dan apabila seorang anak menjalankan ketaatan, seperti shalat, puasa, dan amalan ketaatan lainnya, maka tidak perlu sembari mengatakan, “aku berikan pahala ibadah ini untuk kedua orang tuaku”, karena pahala ibadah tersebut akan sampai kepada orang tua, justru pengucapan tersebut tidak ada dasarnya dari Hadits Nabi shallallahu'alaihi wa sallam maupun praktik para Sahabat.
2. Doa anak yang shalih kepada kedua orang tua dan memintakan ampunan atas dosa-dosanya
Allah berfirman:
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil.” QS. al-Isra` [17]: 24
Dan Rasulullah shallallahu'alaihi was sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
”Apabila manusia meninggal dunia, maka terputus amalannya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim: 1631)
3. Termasuk berbuat baik kepada orang tua setelah meninggalnya adalah dengan cara memuliakan teman-temannya, sanak kerabat dan saudara-saudaranya
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ
”Kebaikan yang terbaik adalah jika seseorang menyambung orang yang disenangi bapaknya.” (HR. Muslim: 2552) Dalam hadits yang lain dari Abu Burdah radhiyallahu'anhu, beliau mengatakan: “Aku datang ke kota Madinah lalu datanglah kepadaku Abdullah Ibnu ‘Umar seraya berkata: ”Taukah kamu kenapa aku datang kepadamu?”, maka aku menjawab: “Aku tidak tahu.” Maka beliau Ibnu ‘Umar mengatakan: “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu'alahi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصِلَ أَبَاهُ فِيْ قَبْرِهِ فَلْيَصِلْ إِخْوَانَ أَبِيْهِ بَعْدَهُ
”Barangsiapa ingin menyambung orang tuanya setelah meninggalnya, hendaklah ia menyambung teman-teman (saudara) orang tuanya setelahnya dan sesungguhnya antara ayahku (Umar) dan ayahmu memiliki tali persahabatan dan saling mencintai, maka aku ingin menyambung hal itu (setelah matinya, pent).” (HR. Ibnu Hibban: 2/175, termaktub dalam Shahih al-Jami’: 5960)
Sungguh para Sahabat sangat memahami hal tersebut dan mereka sangat memperhatikannya. Sebagai penguat hadits dan contoh di atas adalah apa yang dilakukan oleh Sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu'anhuma juga, bahwasanya beliau memiliki seekor keledai yang biasa beliau tunggangi dan imamah yang biasa untuk mengikat kepalanya. Tatkala beliau berada di atas keledainya, tiba-tiba lewatlah seorang Arab badui, beliaupun berkata kepadanya, “bukankah anda fulan anaknya fulan?” Maka si badui pun berkata: “benar”, kemudian beliau memberikan keledainya kepada badui tersebut sambil mengatakan: “naikilah keledai ini dan pakailah imamah ini untuk mengikat kepalamu”. Mendengar hal tersebut, berkatalah sebagian sahabatnya, “Mudah-mudahan Allah mengampuni dosamu, kamu memberikan keledai yang senantiasa kamu tunggangi dan imamah yang senantiasa kamu pakai untuk mengikat kepalamu”, maka Abdullah Ibnu ‘Umar radhiyallahu'anhuma mengatakan, “aku mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ
”Termasuk kebaikan yang paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan keluarga orang yang dicintai orang tuanya setelah meninggalnya”. (HR. Muslim: 2552)
Dan dahulu bapak orang badui tersebut adalah teman baik ‘Umar.
4. Termasuk berbakti kepada orang tua setelah meninggalnya adalah dengan bersedekah berupa ilmu, membangun masjid, menggali sumur, memberi mushaf, dll dari amal jariyah yang akan sampai pahalanya kepada orang tuanya
‘Aisyah radhiyallahu'anha meriwayatkan, bahwasanya seseorang pernah berkata kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya ibuku meninggal secara tiba-tiba dan tidak sempat berwasiat, dan aku mengira jika dia bisa berbicara maka dia akan bersedekah, apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya dan apakah aku juga akan mendapatkan pahala?”, maka Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Ya”. Kemudian orang tadi mengatakan, “Aku bersaksi bahwa kebun yang berbuah ini aku sedekahkan atas namanya.” (HR. al-Bukhari: 2605 dan Muslim: 1004)
Dan dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, bahwa ada seseorang yang mengatakan kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang tuaku meninggal dan telah meninggalkan harta dan tidak mewasiatkan apa-apa, apabila aku bersedekah dengan meniatkan untuk orang tuaku, apakah hal itu akan menghapus dosanya?,” Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menjawab, “Ya”. (HR. al-Bukhari: 2605)
Tentang hadits shahih ini, kita tetapkan apa adanya, akan tetapi walaupun sang anak tidak meniatkan pahala untuk orang tuanya pun secara langsung pahala tersebut akan sampai, karena anak merupakan bagian dari usaha orang tua, sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.
5. Menunaikan wasiatnya jika tidak melanggar syar’i, membayarkan hutangnya baik harta maupun puasa nadzar
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ، صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang meninggal dan masih menanggung hutang puasa, maka walinya yang menunaikannya.” (HR. Bukhari, Muslim, dll)
Nasehat dan kabar gembira BAGI orang-orang yang berbakti kepada orang tua
Wahai para anak berbaktilah engkau kepada orang tua kalian, sesungguhnya doa mereka sangat mustajab (terkabulkan), sebagaimana Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لَا تُرَدُّ: دَعْوَةُ اْلَوَالِدِ لِوَلَدِهِ وَ دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
“Ada tiga doa yang tidak diragukan lagi akan pengabulannya, yaitu doanya orang terdhalimi, doanya orang musafir, dan doanya orang tua kepada anaknya.” (HR. Ibnu Majah: 3862, dan tercantum dalam Shahih al-Jami’: 3033)
Maka kabar gembira untukmu wahai anak yang berbakti lagi berbuat baik kepada orang tuanya, apabila setiap hari engkau keluar rumah, sedangkan ayah dan ibumu mendoakan kebaikan kepadamu. Dan sebaliknya, kabar kehinaan bagimu manakala engkau keluar rumah, sedangkan kedua orang tua mendoakanmu dengan kejelekan dan laknat.
Kabar gembira bagi orang tua yang memiliki anak YANG shAlih
1. Amalannya akan terus bertambah dan mengalir sampai hari kiamat,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam :
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
2. Akan dinaikkan derajatnya di surga, disebabkan sang anak memintakan ampunan kepada Allah Ta'ala untuknya,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:
إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ أَنَّى هَذَا ؟ فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sungguh seseorang akan diangkat der ajatnya di surga, dia mengatakan: dari mana ini? Kemudin dikatakan kepadanya, ini adalah disebabkan istighfar anakmu yang shalih.” (HR. Ibnu Majah: 3638 dll, lihat Shahih al-Jami’:1618)
3. Akan berkumpul di akhirat bersama anak cucu yang beriman, sebagaimana firman Allah :
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (ditinggikan derajatnya sebagaai derajat bapak-bapak mereka dan dikumpulkan dengan bapak-bapak mereka dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” QS. ath-Thuur [52]:21
SIKAP SEORANG MUALAF PADA ORANGTUA YANG BELUM DIBERIKAN HIDAYAH
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim (Juz. IV hal. 1877 no. 1748 (43)), Diceritakan bahwa Ummu Sa’ad (ibunya Sa’ad) bersumpah tidak akan berbicara kepada anaknya dan tidak mau makan dan minum karena menginginkan Sa’ad murtad dari ajaran Islam.
Ummu Sa’ad mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya berkata, “Aku tahu Allah menyuruhmu berbuat baik kepada ibumu dan aku menyuruhmu untuk keluar dari ajaran Islam ini”. Kemudian selama tiga hari Ummu Sa’ad tidak makan dan minum. Bahkan memerintahkan Sa’ad untuk kufur. Sebagai seorang anak Sa’ad tidak tega dan merasa iba kepada ibunya. berkaitan dengan kisah Sa’ad ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu seperti yang terdapat pada surat Al-Ankabut ayat 8 .
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۚ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Kami berwasiat kepada manusia agar berbakti kepada orang tuanya dengan baik, dan apabila keduanya memaksa untuk menyekutukan Aku yang kamu tidak ada ilmu, maka janganlah taat kepada keduanya”
Sedangkan wahyu yang kedua dalam surat Luqman ayat 15.
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan apabila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan apa-apa yang tidak ada ilmu padanya, jangan taati keduanya dan bergaul lah dalam kehidupan dunia dengan perbuatan yang ma’ruf (baik) dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa-apa yang telah kamu kerjakan”.
Turunnya ayat ini membuat Sa’ad semakin bertambah mantap keyakinannya dan akhirnya Sa’ad membuka mulut ibunya dan memaksa ibunya untuk makan. Dengan demikian Sa’ad tidak berbuat kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan juga bisa berbuat baik kepada ibunya.
Para Ulama mengambil dalil dari ayat ini tentang wajibnya berbakti dan bersilaturahmi kepada kedua orang tua meskipun keduanya masih kafir. Kafir yang dimaksud pada permasalahan ini bukan kafir harbi (kafir yang menentang dan memerangi Islam).
Jika orang tuanya tidak kafir harbi, tidak menyerang kaum muslimin, maka hendaklah bergaul dengan mereka dengan baik dan bersilaturahmi kepada keduanya. Hal tersebut didasarkan kepada surat Luqman ayat 15.
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan bergaul-lah kepada keduanya dalam kehidupan dunia dengan cara yang ma’ruf”
Kemudian dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak menyerang kita.
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama. Dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”[Al-Mumtahanah : 8]
Kisah ini terjadi pada Asma binti Abu Bakar Ash-Shidiq. Ketika ibunya yang masih dalam keadaan musyrik akan datang untuk berkunjung kepadanya, Asma meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kamu menyambung silaturahmi kepada ibumu” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Secara fitrah, seorang anak akan mencintai orang tuanya karena merekalah yang melahirkan serta mengurusnya, tapi jika mencintainya karena iman maka tidak dibenarkan. Dengan dasar surat Al-Mujadalah ayat 22.
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung”
Jika keduanya kafir harbi, maka tidak boleh berbakti dan bersilaturahmi kepada keduanya dengan dasar surat Al-Mumtahanah ayat 9.
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama. Dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka adalah orang-orang yang zhalim.
Dengan demikian kita tidak boleh berbuat baik kepada orang-orang kafir harbi atas dasar ayat tersebut. Bahkan seandainya bertemu di medan perang, diperbolehkan untuk dibunuh. Hal ini sudah pernah terjadi terhadap Abu Ubaidah Ibnul Jarrah dengan bapaknya pada waktu perang Badar. Bapaknya ikut di medan pertempuran dan berada di pihak kaum musyrikin kemudian Abu Ubaidah membunuhnya.
Timbul pertanyaan, “Bolehkah mendo’akan orang tua yang masih kafir?” Jawabnya adalah, baik kafir harbi atau bukan kafir harbi tidak diperbolehkan mendoakannya untuk memintakan ampun dan kasih sayang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika keduanya masih hidup maupun sudah meninggal. Dasarnya adalah surat At-Taubah ayat 113, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
” Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam”
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya mengampuni dosa ibunya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengabulkannya karena ibunya mati dalam keadaan kafir [1] Kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mati dalam keadaan kafir [2] Kalau ada yang bertanya, “Bukankah pada saat itu belum diutus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Saat itu sudah ada millah Ibrahim. Sedangkan kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak masuk dalam millah Ibrahim sehingga keduanya masih dalam keadaan kafir [3]
Nabi Ibrahim juga pernah memintakan ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kedua orang tuanya yang masih kafir, karena pada waktu itu Ibrahim belum tahu dan belum turun wahyu tentang adanya larangan tersebut. Setelah turun wahyu, Ibrahim kemudian menahan diri. Kisah ini bisa dilihat dalam surat At-Taubah ayat 114.
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۚ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim kepada Allah untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah maka Ibrahim berlepas diri daripadanya, sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya dan lagi menyantun”
Jika orang tua masih kafir tetapi bukan kafir harbi, maka diperbolehkan mendo’akan agar mereka diberikan hidayah. Dikatakan oleh Imam Al-Qurtubi, ayat yang ke-8 tadi merupakan dalil tentang tetapnya menyambung tali silaturrahmi kepada orang tua yang masih kafir serta mendo’akan keduanya agar mendapatkan hidayah dan kembali ke jalan yang haq.
Walaupun tidak boleh memintakan ampunan dan rahmat kepada orang tua yang masih kafir tetapi masih diperbolehkan memintakan hidayah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendakwahkannya jika bukan kafir harbi. Jadi dakwah kepada orang tua yang masih kafir harus tetap dilakukan dan dengan cara yang baik. Dapat kita lihat bagaimana dakwahnya Ibarahim ‘Alaihi Shalatu wa sallam kepada orang tuanya. Beliau mendakwahkan dengan kata-kata yang lemah lembut. Dakwah kepada orang tua yang masih kafir saja harus dilakukan dengan kata-kata yang lemah lembut, terlebih lagi jika orang tuanya tidak kafir tetapi masih suka melakukan bid’ah, harus didakwahkan dengan kata-kata lebih lemah lembut lagi.
Sikap Nabi Ibrahim terhadap bapaknya yang kafir dapat dilihat dalam surat Maryam ayat 41-48.
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ ۚ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Ceritakanlah wahai Muhammad kisah Ibrahim di dalam kitab Al-Qur’an, sesungguhnya dia seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi”
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا
Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, “Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak dapat mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolongmu sedikitpun juga”
يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا
“Wahai bapakku sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku niscaya aku akan menunjukkan kamu ke jalan yang lurus”
يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَٰنِ عَصِيًّا
“Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaithan sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Allah Yang Maha Pemurah”
يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa adzab dari Allah Yang Maha Pemurah maka kamu menjadi kawan bagi syaitan”
قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ ۖ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ ۖ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا
Berkata bapaknya, “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku hai Ibrahim jika kamu tidak berhenti niscaya akan aku rajam dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”
قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ ۖ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي ۖ إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
Ibrahim berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu aku akan meminta ampun bagimu kepada Allah sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَىٰ أَلَّا أَكُونَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا
“Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang engkau seru selain Allah dan aku akan berdo’a kepada Rabb-ku mudah-mudahan aku tidak kecewa dengan berdo’a kepada Rabb-ku
Sumber: https://almanhaj.or.id/1327-sikap-anak-kepada-orang-tua-yang-masih-kafir.html
Mudah-mudahan Allah Ta'ala menjaga kita dan kedua orang tua kita dari segala malapetaka dunia dan akhirat serta menjadikan kita termasuk orang yang berbakti kepada kedua orang tua dan yang memberikan haknya di masa hidupnya dan juga setelah meninggalnya. Amiin ya Rabbal ‘alamiin.
Janganlah engkau enggan untuk berdoa demi kebaikan orang tuamu. Sekeras apapun usaha yang engkau lakukan, bila Allah tidak berkehendak, niscaya tidak akan pernah terwujud. Hanya Allahlah yang mampu Memberi petunjuk dan membukakan pintu hati kedua orang tuamu. Mintalah pada-Nya, karena tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Memohonlah terus pada-Nya dan jangan pernah bosan meski kita tidak tahu kapankah doa kita akan dikabulkan. Pun seandainya Allah tidak berkehendak untuk memberi mereka petunjuk hingga ajal menjemput mereka, ingatlah bahwa Allah tidak pernah mendzalimi hamba-Nya. Janganlah berhenti berdoa, karena tentu engkau sudah tahu bahwa doa seorang anak shalih untuk orang tuanya tidaklah terputus amalannya meski kedua orang tuanya sudah meninggal.
Jika dirimu kumandangkan takbir saat Idul Fitri ...
lalu hatimu tiba-tiba bergetar & bersedih ingat akan Ayah atau Ibumu lalu dirimu meneteskan airmata..
Berbahagialah bahwa hatimu masih "hidup"..
references by
buyayahya, muslimahid, RENUNGANISLAM
Ust. Abdurrahman Hadi,Lc حفظه الله di Masjid Darul Hijrah STAI ALI BIN ABI THALIB SURABAYA dalam Daurah Hak-Hak dalam Islam pada hari Selasa tanggal1 Muharram 1435 H/5 November 2013.
Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Darul Qolam
almanhaj.or.id/
Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Darul Qolam
almanhaj.or.id/