Penurunan daya beli masyarakat dirasakan kelompok pengusaha usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Para pelaku UMKM mengeluhkan turunnya pendapatan, terutama yang mengandalkan penjualan langsung atau dari berjualan online.
Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny menyoroti masyarakat cenderung enggan mengeluarkan ongkos lebih untuk belanja ke toko-toko secara langsung.
"Karena dengan daya beli masyarakat yang turun, dengan pendapatan yang tetap atau mungkin malah berkurang di masa krisis seperti ini, itu membuat mereka untuk belanja secara offline pun agak berat karena akan mengeluarkan ongkos," ungkap Hermawati saat dihubungi Liputan6.com, Senin (16/6/2025).
Dia turut meminta pemerintah mencari solusi yang tepat agar bisa menjaga pendapatan pengusaha UMKM. Apalagi, data yang dikantonginya mencatat seluruh sektor UMKM mengalami penurunan pendapatan.
"Nah itu sebenarnya yang saya enggak tahu solusinya dari pemerintah seperti apa, karena memang sekarang lagi banyak pelaku usaha itu yang dagangannya pendapatannya menurun semua, hampir di semua lini, kalau menurut teman-teman begitu," terangnya.
Persaingan harga disebut-sebut jadi salah satu penyebab lainnya, terutama harga barang impor yang jauh lebih murah ketimbang produk lokal. "Sebenarnya satu adalah banyak barang yang masuk ke Indonesia dari luar yang harganya lebih murah dari yang ada di Indonesia," kata Hermawati.
Analis Kebijakan Ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani membeberkan penyebab anjloknya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2025 yang hanya 4,87 persen. Padahal pada kuartal pertama tahun lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 5,11 persen, diikuti oleh pertumbuhan ekonomi secara agregat sebesar 5,03 persen.
Menurut Ajib, kondisi ini salah satunya dipicu oleh menurunnya kemampuan konsumsi masyarakat akibat masifnya pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak awal tahun. Dia menyebut korban dari PHK itu mencapai 70 ribu pekerja pada kuartal I/2025. “Kemiskinan juga mengalami peningkatan mencapai 60,3 persen. Kondisi ini sejalan dengan penurunan daya beli masyarakat,” kata Ajib melalui keterangan tertulisnya, Selasa, 10 Juni 2025.
Kemudian, Ajib menyoroti pola government spending pada awal tahun yang kurang ideal dari penerimaan pajak, hanya 14,7 persen dari target 20 persen pada kuartal I/2025. Selain itu, program efisiensi belanja yang dilakukan pemerintah juga memberikan sentimen negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada awal tahun ini.
Sejalan dengan itu, kebijakan eksternal turut memengaruhi mandeknya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2025 ini. Ajib mengaitkannya dengan kontraksi ekonomi akibat kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump. “Kondisi ini membuat permintaan barang dari Amerika menurun. Kebijakan efek tarif Trump ini memberikan sentimen negatif selama kuartal kedua,” ucap Ajib.
Ajib merekomendasikan pemerintah membuat orientasi jangka pendek pada Juni hingga semester kedua 2025. Caranya bisa melalui program stimulus ekonomi yang fokus dengan pola bantuan langsung tunai untuk meningkatkan konsumsi masyarakat dan mendongkrak daya beli. “Harapannya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2025 bisa lebih tinggi,” ujar Ajib.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini, dari 4,9 persen menjadi 4,7 persen. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemangkasan pertumbuhan ekonomi ini terjadi secara global karena terdampak perang tarif atau tarif resiprokal Amerika Serikat.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu mengatakan saat ini pemerintah berfokus pada upaya menjaga daya beli masyarakat demi menjaga pertumbuhan. Salah satunya adalah dengan meluncurkan lima paket stimulus ekonomi. “Kami juga monitor dari berbagai negara di OECD, sebagian besar juga membuat paket-paket agar bisa menjaga daya beli masyarakatnya dalam situasi seperti sekarang,” kata Airlangga dalam konferensi pers daring dari Paris pada Rabu malam, 4 Juni 2025.
Sebagai informasi, OECD merupakan organisasi internasional beranggotakan 38 negara yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas. Indonesia telah menyerahkan dokumen Initial Memorandum kepada OECD sebagai syarat aksesi menjadi anggota. Dokumen itu diberikan oleh Airlangga di sela-sela pertemuan tingkat menteri Dewan OECD 2025 yang berlangsung di Paris, Prancis, pada 3 Juni 2024.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat kinerja manufaktur Indonesia sedikit melemah pada bulan Juni 2025. Pelemahan ini ditunjukkan oleh menurunnya PMI bulan Juni dan Mei sebesar 0,5 dari 47,4 Mei menjadi 46,9 pada Juni 2025.
Pelemahan PMI Indonesia juga diikuti oleh PMI sebagian negara ASEAN seperti Malaysia dari 48,8 ke 48,6, Thailand, 49,9 ke 49,5 dan Vietnam 50,5 ke 45,6 serta Singapore 50,6 ke 49,6.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief menilai, penurunan PMI Indonesia pada bulan Juni 2025 disebabkan dua faktor utama. Pertama, perusahaan industri masih menunggu paket kebijakan deregulasi yang pro bisnis. Kedua, pelemahan permintaan pasar ekspor dan domestik serta penurunan daya beli masyarakat.
"Dua faktor yang menyebabkan PMI Indonesia pada Juni 2025 masih kontraksi dan menurun dibanding bulan Mei 2025 yakni, pertama perusahaan industri masih menunggu kebijakan pro bisnis, dan kedua pelemahan permintaan pasar ekspor dan pasar domestik serta penurunan daya beli di Indonesia,” kata Febri di Jakarta, Selasa (1/7)
Adapun pada bulan Juni lalu pengusaha industri masih menunggu kebijakan pro industri seperti kebijakan yang melindungi pasar domestik dari gempuran produk jadi impor murah.
Kebijakan yang memperketat masuknya barang impor murah ke pasar domestik sangat ditunggu oleh para pengusaha. Kebijakan ini diharapkan mampu mengurangi, membatasi barang impor murah yang telah mempersempit permintaan produk dalam negeri dipasar domestik. Ruang permintaan sempit ini akan semakin terbuka lebar bagi produk dalam negeri ditengah tekanan penurunan daya beli masyarakat.
Kelas menengah terlihat sudah lebih banyak berhutang dibandingkan dengan menabung. Hal ini terlihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) secara industri kian melambat dan lebih kecil dari pertumbuhan di kredit segmen konsumer.
Berdasarkan data Bank Indonesia, pertumbuhan DPK perbankan kian menyusut hanya tumbuh 3,9% secara tahunan atau year on year (yoy) di Mei 2025 dari April 2025 yang berada di level 4,4% dan Maret di level 4,7%.
Jika dilihat dari data LPS, juga memang terjadi perlambatan pada pertumbuhan segmen tabungan perbankan khususnya untuk kelas menengah bawah dengan nilai simpanan sampai atau di bawah Rp 100 juta. Pada Mei 2025 misalnya hanya tumbuh 3,7% yoy, padahal di April 2025 masih tumbuh 4,3% dan di Januari 2025 tumbuh 4,8%.
Adapun penyaluran kredit konsumsi per Mei 2025 tumbuh 8,7% mencapai Rp 2.252,4 triliun. Kendati pertumbuhannya susut dari bulan sebelumnya atau April 2025 yang tumbuh 8,9% mencapai Rp 2.238,3 triliun.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mencatat utang masyarakat Indonesia di BNPL di perbankan mencapai Rp 22,78 triliun per Maret 2025. Angka tersebut meningkat 32,18% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Porsi kredit paylater bank tercatat sebesar 0,29% dari kredit perbankan secara keseluruhan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, tren menabung turun karena memang masyarakat sekarang ini dihadapkan pada sulitnya lapangan kerja di sektor formal. Sementara semakin banyak yang kerja di sektor informal, dan pendapatannya tidak menentu.
BSU 'Nggak Ngefek' Kerek Daya Beli, Lebih Baik Tepati Jani 19 Juta Lapangan Kerja !
Pemerintah didorong untuk bisa menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung penciptaan lapangan kerja. Hal itu dinilai lebih baik dan krusial ketimbang menjalankan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang cenderung tak produktif.
Hal itu disampaikan Ekonom Makroekonomi dan Keuangan Lembaga Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky. Menurutnya, BSU sedianya memiliki dampak positif, namun itu hanya bersifat sementara.
"Isu strukturalnya adalah pemerintah ini perlu membuat iklim investasi dan bisnis yang lebih bersahabat, mengurangi praktik perburuan rente, mempermudah birokrasi, perizinan yang jelas dan lain semacamnya," kata Riefky saat dihubungi, dikutip Jumat, 27 Juni 2025.
"Ini yang sebetulnya paling penting atau yang pemerintah bisa lakukan untuk membuat iklim investasi bersahabat sehingga kemudian investasi masuk dan tercipta lapangan kerja sehingga masyarakat mendapatkan income yang layak dan ini baru menciptakan daya beli," tambah Riefky.
Kalangan ekonomi kelas menengah ke bawah kini sedang berhemat dari jajan, maupun belanja online/offline, agar mereka tak terlilit hutang dan berharap ekonomi kembali pulih beberapa bulan kedepan
Pemberian BSU yang ditujukan pada kelompok masyarakat menengah bawah juga dianggap tak akan berkontribusi banyak terhadap peningkatan daya beli. Sebab, kelompok tersebut sejatinya juga mendapatkan bantuan lain dari pemerintah.
Hal yang justru tampak diabaikan ialah kelas menengah. Kelompok masyarakat ini, kata Riefky, tak tersentuh oleh bantuan pemerintah dan mayoritas masyarakatnya memiliki pendapatan yang tidak stabil. Padahal kelompok itu pula yang mengalami tekanan dalam beberapa tahun terakhir.
"Masyarakat itu tidak memiliki income yang cukup stabil, lalu juga penciptaan lapangan kerja relatif minim, bahkan di beberapa kesempatan kita lihat kerja di PHK masal. Inilah yang kemudian membuat daya beli masyarakat itu secara agregat menurun," terang Riefky.
"Apalagi kalau kita melihatnya dari perspektif menurunnya kelas menengah. Menurunnya kelas menengah ini yang mencerminkan daya beli memang sangat menurun, karena daya beli yang utama ini memang dari kelas menengah lalu di kelas atas," lanjutnya.
Karenanya Riefky mendorong agar pemerintah menghadirkan solusi yang konkret dan nyata, alih-alih memberikan stimulus yang bersifat sementara dan tidak produktif.
references by
https://www.liputan6.com/bisnis/read/6053752/pendapatan-umkm-dikeluhkan-anjlok-imbas-daya-beli-masyarakat-turun
https://www.tempo.co/ekonomi/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-anjlok-apindo-soroti-phk-dan-daya-beli-1674057
https://www.metrotvnews.com/read/bVDCjX95-bsu-nggak-ngefek-kerek-daya-beli-lebih-baik-ciptakan-lapangan-kerja-yang-banyak