Siapakah yg boleh meilhat ?
Keberadaan muhrim menjadi salah satu penentu bagi Muslimah dalam
menjalin hubungan dan menampakkan auratnya. Haya binti Mubarok al-Barik
dalam Ensiklopedi Wanita Muslimah, muhrim ini juga berebeda-beda satu
sama lainnya, didasarkan pada hubungan pribadi secara manusia perempuan
dengan muhrimnya itu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, muhrim mempunyai beberapa arti.
Muhrim dapat berarti orang yang masih ada hubungan dekat keluarga
sehingga terlarang menikah dengannya. Makna lainnya, orang yang sedang
mengerjakan ihram dan laki-laki yang dianggap dapat menjaga dan
melindungi perempuan yang berhaji dan atau berumrah.
Lalu, siapakah yang menjadi muhrim perempuan? Ibrahim Muhammad
al-Jamal melalui bukunya, Fikih Wanita menjelaskan siapa saja yang
merupakan muhrim itu. Ia menguraikannya melalui surah an-Nur ayat 31.
Ayat tersebut menyebutkan, janganlah perempuan menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami
mereka, putra-putra mereka dan putra suaminya, dan saudara mereka atau
putra saudara laki-laki mereka. Juga putra-putra saudara perempuan
mereka atau perempuan Islam.
Selain itu, budak-budak yang mereka miliki atau pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan terhadap perempuan atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat perempuan. Menurut al-Jamal, suami
merupakan muhrim. Suami boleh melihat apa saja dari istrinya. Muhrim
lainnya adalah ayah.
Menurut dia, maksudnya di sini adalah ayah, atau ayah dari ayah dan
seterusnya. Termasuk kakek atau ayah kakek. Selain itu adalah ayah dari
suami termasuk kakek-kakeknya. Dalam hal aurat, ia menganjurkan agar
perempuan tetap menjaga kesopanan agar tak menimbulkan hal yang tak
diinginkan.
Anak sendiri juga merupakan muhrim perempuan, juga di dalamnya adalah
cucu baik yang lahir dari anak laki-laki maupun perempuan. Anak suami,
yang artinya anak laki-laki suami yang lahir dari istri yang lain
merupakan muhrim pula. Yang lainnya adalah saudara laki-laki baik
saudara kandung seyah dan seibu, saudara seayah atau seibu.
Status muhrim disematkan pada anak dari saudara laki-laki maupun
perempuan. Pun anak-anak yang belum mengerti mengenai aurat perempuan.
“Tegasnya anak yang belum meningkat remaja,” jelas al-Jamal. Saudara
laki-laki sesusuan masuk dalam kelompok muhrim.
Sebab, saudara laki-laki ini tak boleh menikah dengan saudara
perempuannya yang sesusuan. Al-Jamal mengatakan, paman baik dari pihak
ayah maupun ibu adalah muhrim perempuan. Secara syariat, mereka tak
boleh menikahi kemenakannya. Maka, kata dia, tak ada salahnya
menampakkan perhiasan di hadapan mereka. (/republika)
Aurat adalah kemaluan dan semua hal yang dapat menimbulkan rasa malu
apabila terlihat. Aurat merupakan perhiasan yang wajib ditutupi dari
orang-orang yang tidak berhak untuk melihatnya dan atau menikmatinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan kepada kita bahwa,
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، وَبِأَنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِـهَا اسْتَشْـرَ فَهَا الشَّيْـطَانُ
“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.” (Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi no. 1173, Ibnu Khuzaimah III/95 dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir no. 10115, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)
Imam al-Mubarakfuri rahimahullah berkata ketika mengomentari
hadits di atas, “Dijadikan diri wanita sebagai aurat karena jika wanita
muncul maka ia akan merasa malu, sebagaimana ia merasa malu melihat
aurat manakala terbuka. Sehingga dikatakan bahwa maknanya wanita itu
memiliki aurat.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi III/237 dan Syarah al-Arba’un al-Uswah no. 32)
Karena itu, kita sebagai kaum wanita haruslah menaruh perhatian yang besar terhadap masalah ini. Hanya saja, Allah ta’ala
telah memberikan pengecualian mengenai larangan menampakkan aurat
kepada beberapa orang yang menjadi mahram kita. Sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya,
وَلاَ يُبْـدِيْنَ زِيْنَتَـهُـنَّ إِلاَّ لِبُعُو
لَتِهِنَّ أَو ءَابَآ ئِهِنَّ أَو ءَابَآءِ بُعُو لَتِهِنَّ أَو
أَبْنَآئِهِنَّ أَو أَبْنَآءِ بُعُو لَتِهِنَّ أَو إِخْوَنِهِنَّ أَو بَنِى
إِخْوِنِهِنَّ أَو بَنِى أَخَوَتِهِنَّ أَو نِسَآئِهِنَّ أَو مَا مَلَكَتْ
أَيْمَنُهُنَّ أَوِ التَّبِعِيْنَ غَيْرِ أُولِى الْإِرْبَةِ مِنَ
الرِّجَالِ أَو الطِّـفْـلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَتِ
النِّسَآءِ ۖ
“… dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara
mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak
yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat wanita…” (Qs. An-Nuur: 31)
Kita telah memahami maksud larangan menampakkan perhiasan wanita di
depan yang bukan mahramnya, lalu bagaimana maksud dan aplikasi
pengecualian ini terhadap orang-orang yang menjadi mahram kita? Adakah
batasan aurat yang boleh ditampakkan di depan mahram?
Batasan Aurat (Perhiasan) Wanita yang Boleh Tampak di Depan Mahram
Dari artikel sebelumnya, (
Lihatlah Siapa Mahrammu 1,
Lihatlah Siapa Mahrammu 2)
kita telah mengetahui siapa saja yang termasuk mahram, dan siapa yang
tidak termasuk mahram. Dalam surat an-Nuur ayat 31, Allah
ta’ala
membolehkan mahram melihat bagian-bagian dari perhiasan seorang wanita
yang tidak boleh ditampakkan pada laki-laki yang bukan mahram. Hal ini
dikarenakan keadaan darurat yang mendorong terjadinya percampur-bauran
di antara mereka mengingat adanya hubungan kekerabatan dan amannya
mereka (para mahram) dari fitnah. [Lihat
Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/157)]
Secara garis besar, ada dua pendapat ulama yang masyhur (populer) tentang batasan yang boleh dilihat oleh mahram, yaitu:
Pendapat pertama: Mahram boleh melihat seluruh tubuh
wanita, kecuali bagian di antara pusar dan lutut, dan inilah pendapat
kebanyakan ulama. [Lihat al-Mabsuuth (X/149), al-Majmuu’ Fataawaa Ibn
Taimiyah (XVI/140), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/158)]
Pendapat tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِذَا أَنْكَحَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَو أَجِيرَهُ فَلاَ
يَنْظُرَنَّ إِلَى شَيْءٍ مِنْ عَورَتِهِ، فَإِنَّ مَا أَسْفَلَ مِنْ
سُرَّتِهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ عَوْرَتِهِ .
“Jika salah seorang di antara kalian menikahkan hamba sahaya atau
pembantunya, maka jangan sekali-kali ia melihat sedikit pun dari
auratnya. Karena apa yang ada di bawah pusar hingga lutut adalah aurat.” [Hadits hasan. Riwayat Ahmad (II/187) dan Abu Dawud (no. 495)]
Meskipun jika dilihat dari
matan (redaksi) nya, hadits
tersebut ditujukan kepada kaum lelaki, namun hadits tersebut berlaku
juga bagi kaum wanita karena kaum wanita adalah saudara
sekandung/belahan bagi kaum lelaki. Wanita belahan laki-laki maksudnya
adalah masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam
syariat, termasuk diantaranya adalah batasan
aurat, menurut pendapat dia atas.
Diriwayatkan pula dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu,
ذَخَلْتُ أَنَا وَأَخُو عَائِشَةَ عَلَى عَائِشَةَ
فَسَأَلَهَا أَخُوهَا عَنْ غُسْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَدَعَتْ
بِإِنَاءٍ نَحْوًا مِنْ صَاعٍ فَاغْتَسَلَتْ وَأَفَاضَتْ عَلَى رَأْ سِهَا
وَبَيْنَنَا وَبَيْنَهَا حِجَابٌ .
“Aku dan saudara ‘Aisyah datang kepada ‘Aisyah, lalu saudaranya
itu bertanya kepadanya tentang mandi yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ‘Aisyah meminta wadah yang berisi
satu sha’ (air), kemudian ia mandi dan mengucurkan air di atas
kepalanya. Sementara antara kami dan beliau ada tabir.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 251) dan Muslim (no. 320)]
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Yang nampak dari
hadits tersebut adalah bahwa keduanya (yakni Abu Salamah dan saudara
‘Aisyah) melihat apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah pada kepala dan bagian
atas tubuhnya, dimana itu adalah bagian yang boleh dilihat oleh seorang
mahram, dan ‘Aisyah adalah bibinya Abu Salamah karena persusuan,
sementara ‘Aisyah meletakkan tabir untuk menutupi bagian bawah tubuhnya,
karena bagian tersebut adalah bagian yang tidak boleh dilihat oleh
mahram.” [Lihat Fat-hul Baari (I/465)]
Sehingga, kesimpulan dari pendapat pertama adalah mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian antara pusar hingga lutut.
Pendapat kedua: Seorang mahram hanya boleh melihat
anggota tubuh wanita yang biasa nampak, seperti anggota-anggota tubuh
yang terkena air wudhu’. [Lihat Sunan al-Baihaqi (no. 9417), al-Inshaaf (VIII/20), al-Mughni (VI/554), al-Majmuu’ Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan wudhu’ secara bersamaan.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari
(no. 193), Abu Dawud (no. 79), an-Nasa’i (I/57) dan Ibnu Majah (no.
381)]
Hadits di atas difahami sebagai suatu keadaan yang terjadi khusus
bagi para istri dan mahram, di mana mahram boleh melihat anggota wudhu’
para wanita. [Lihat Fat-hul Baari (I/465), ‘Aunul Ma’bud (I/147) dan Jaami’ Ahkaamin Nisaa’ (IV/195)]
Kesimpulan dari pendapat kedua adalah bahwa mahram hanya diperbolehkan untuk melihat
anggota wudhu’ seorang wanita.
- Batasan aurat wanita di depan suami. Allah ta’ala memulai firman-Nya dalam surat an-Nuur ayat 31 tentang bolehnya wanita menampakkan perhiasannya adalah kepada suami. Sebagaimana telah diketahui bahwa suami adalah mahram wanita yang terjadi akibat mushaharah (ikatan pernikahan). Dan suami boleh melihat dan menikmati seluruh anggota tubuh istrinya.Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata ketika menafsirkan surat an-Nuur ayat 31, “Adapun suami, maka
semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan dan perintah menundukkan
pandangan dari orang lain) memang diperuntukkan baginya (yakni suami).
Maka seorang istri boleh melakukan sesuatu untuk suaminya, yang tidak
boleh dilakukannya di hadapan orang lain.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]Allah ta’ala berfirman dalam kitab-Nya,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُو جِهِمْ حَفِظُونَ إِلاَّ عَلَى
أَزْوَجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُهُمْ فَإِنَّهُمْ
غَيْرُمَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” (Qs. Al-Ma’arij: 29-30)
Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang suami dihalalkan untuk
melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar memandangi perhiasan istrinya,
yaitu menyentuh dan mendatangi istrinya. Jika seorang suami dihalalkan
untuk menikmati perhiasan dan keindahan istrinya, maka apalagi hanya
sekedar melihat dan menyentuh tubuh istrinya. [Lihat al-Mabsuuth (X/148) dan al-Muhalla (X/33)]
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mandi bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari satu bejana yang berada di antara aku dan beliau sambil tangan
kami berebutan di dalamnya. Beliau mendahuluiku sehingga aku mengatakan,
‘Sisakan untukku, sisakan untukku!’ ‘Aisyah mengatakan bahwa keduanya
dalam keadaan junub.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 250) dan
Muslim (no. 46)]
Ibnu ‘Urwah al Hanbali rahimahullah berkata dalam
mengomentari hadits di atas, “Dibolehkan bagi setiap pasangan suami
istri untuk memandang seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya hingga farji’ (kemaluan), berdasarkan hadits ini. Karena farji’ istrinya
adalah halal baginya untuk dinikmati, maka dibolehkan pula baginya
untuk memandang dan menjamahnya seperti anggota tubuhnya yang lain.”
[Lihat Aadaabuz Zifaaf (hal. 111), al-Kawaakib (579/29/1), dan Panduan Lengkap Nikah (hal. 298)]
Jadi, tidak ada batasan bagi seorang suami untuk melihat keseluruhan aurat istrinya, termasuk kemaluannya.
- Batasan aurat wanita di depan wanita lainnya. Aurat
seorang wanita yang wajib ditutupi di depan kaum wanita lainnya, sama
dengan aurat lelaki di depan kaum lelaki lainnya, yaitu daerah antara
pusar hingga lutut. [Lihat al-Mughni (VI/562)]. Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya Ahkaamun Nisaa’ (hal. 76), “Wanita-wanita jahil
(yang tidak mengerti) pada umumnya tidak merasa sungkan untuk membuka
aurat atau sebagiannya, padahal di hadapannya ada ibunya atau saudara
perempuannya atau putrinya, dan ia (wanita itu) berkata, “Mereka adalah
kerabat (keluarga).’ Maka hendaklah wanita itu mengetahui bahwa jika ia
telah mencapai usia tujuh tahun (tamyiz), karena itu, ibunya, saudarinya, ataupun putri saudarinya tidak boleh melihat auratnya.”Nabi shallallahu “alaihi wa sallam pernah bersabda,
يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ
الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى
الرَّجُلِ فِي الثَّوْبِ الْوَا حِدِ، وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى
الْمَرْأَةَ فِي الثَّوْبِ الْوَحِدِ .
و في روية : وَلاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عُـرْيَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَى عُـرْيَةِ الْمَرْأَةِ .
“Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya), dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat wanita (lainnya).
Seorang pria tidak boleh bersama pria lain dalam satu kain, dan tidak
boleh pula seorang wanita bersama wanita lainnya dalam satu kain.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Tidak boleh seseorang pria melihat aurat pria lainnya, dan tidak boleh seorang wanita melihat aurat wanita lainnya”
[Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 338), Abu Dawud (no. 3392 dan
4018), Tirmidzi (no. 2793), Ahmad (no. 11207) dan Ibnu Majah (no. 661),
dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu “anhu]
Makna “uryah ( عـرية) (aurat) pada hadits di atas adalah tidak memakai pakaian (telanjang). [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 100)]
Adapun mengenai batasan aurat seorang wanita muslimah di depan wanita kafir,
maka sebagian ulama berpendapat bahwa seorang wanita muslimah tidak
boleh menampakkan perhiasannya kepada selain muslimah, karena lafazh أو نسآئهن
yang tercantum dalam surat an-Nuur ayat 31 adalah dimaksudkan kepada
wanita-wanita muslimah. Oleh karena itu, wanita-wanita dari kaum kuffar
tidak termasuk ke dalam ayat tersebut, sehingga wanita muslimah tetap
wajib untuk berhijab dari mereka. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284), Tafsir al-Qurthubi (no. 4625), Fat-hul Qaadir (IV/22) dan Jilbab Wanita Muslimah (hal. 118-119)]
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa lafazh “أو نسآئهن
bermakna wanita secara umum, baik dia seorang muslimah ataupun seorang
wanita kafir. Dan kewajiban berhijab hanyalah diperuntukkan bagi kaum
lelaki yang bukan mahram, sehingga tidak ada alasan untuk menetapkan
kewajiban hijab di antara wanita muslimah dan wanita kafir. [Lihat Jaami’ Ahkaamin Nisaa’ (IV/498), Durus wa Fataawaa al-Haram al-Makki (III/264) dan Fataawaa al-Mar’ah (I/73)]
Namun, pendapat yang paling mendekati kebenaran dan keselamatan
-insya Allah- adalah pendapat pertama, karena pada awal ayat tersebut
(Qs. An-Nuur: 31), Allah ta’ala memulai perintah hijab dengan lafazh وقل للمؤمنت yang artinya, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah…“. Maka lafazh selanjutnya, yaitu أو نسآئهن lebih dekat maknanya kepada wanita-wanita dari kalangan kaum muslimin. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]
- Batasan aurat wanita di depan para budak. Di dalam ayat di atas, disebutkan أو ما ملكت أيمنهن atau budak-budak yang mereka miliki…”, di mana maksud ayat ini mencakup budak laki-laki maupun wanita. [Lihat al-Mabsuuth (X/157]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan bahwa seorang budak boleh melihat majikan wanitanya (dalam
hal ini maksudnya adalah bertatap muka) karena kebutuhan. [Lihat Majmuu’ al-Fataawaa (XVI/141)]Jadi seorang budak diperbolehkan melihat aurat majikan wanitanya sebatas yang biasa nampak, dan tidak lebih dari itu.
- Batasan aurat wanita di depan orang yang tidak memiliki hasrat (syahwat) terhadap wanita. Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan lafazh أوِ التبعين غير أولى الإربة من الرجال, , “Maknanya adalah para pelayan dan pembantu yang tidak sepadan, sementara dalam akal mereka terdapat kelemahan.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir
(III/284)]. Maksudnya adalah orang-orang tersebut tidak memiliki hasrat
terhadap wanita disebabkan usianya yang sudah lanjut, kelainan seksual
(banci), atau menderita penyakit seksual (impoten/lemah syahwat). [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita
(II/165)]. Jika melihat realita pada zaman sekarang ini, orang-orang
tersebut memang tidak akan berhasrat kepada wanita, namun mereka
memiliki kecenderungan untuk menceritakan keadaan kaum wanita kepada
orang lain yang memiliki hasrat kepada wanita, sehingga dikhawatirkan
akan timbul fitnah secara tidak langsung. Oleh karena itu, hendaklah
para wanita tidak membuka aurat mereka, kecuali yang biasa nampak
darinya.
- Batasan aurat wanita di depan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanitaMaksud lafazh أو الطـفـل الذين لم يظهروا على عورت النسآء
adalah anak yang masih kecil dan tidak mengerti tentang keadaan kaum
wanita dan aurat mereka. Anak yang belum memahami aurat, tidak mengapa
bila dia masuk ke ruangan wanita. Adapun jika anak tersebut telah
memasuki masa pubertas atau mendekatinya, di mana dia mulai mengerti
tentang semua itu, dan dapat membedakan antara wanita yang cantik dan
yang tidak cantik, maka dia tidak boleh lagi masuk ke dalam ruangan
wanita. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]
Catatan Penting
Berikut ini adalah beberapa catatan penting yang harus diperhatikan
dalam hal batasan aurat seorang wanita yang boleh ditampakkan di depan
para mahram, yaitu:
- Seorang mahram, kecuali suami wanita tersebut, boleh melihat
perhiasan seorang wanita -berdasarkan pada penjelasan terdahulu- dengan
syarat bukan dalam keadaan menikmatinya dan disertai dengan syahwat. Jika hal itu terjadi, maka tidak syak (ragu) dan tidak ada khilaf (perselisihan) dalam masalah ini bahwa hal itu terlarang hukumnya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]
- Seorang wanita boleh menanggalkan pakaiannya jika dia merasa aman
dari kemungkinan adanya orang-orang asing yang dapat melihatnya dan
ditempat orang-orang yang terpercaya (khusus yang menjadi mahramnya), di
mana orang-orang tersebut mengetahui ketentuan-ketentuan Allah sehingga
mereka menjaga kehormatan dan kesucian seorang muslimah. [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 103) dan tambahan penjelasan secara khusus dalam Syarah al-Arba’un al-Uswah (no. 26)]
- Dan hendaknya seorang wanita tetap memelihara hijabnya dan menjaga auratnya kecuali yang biasa nampak darinya, di depan seluruh mahramnya -kecuali suami-, agar muru’ah (kehormatan) dan “iffah (kesucian diri) dapat senantiasa terjaga.
Seorang wanita muslimah harus senantiasa memperhatikan hal-hal yang
dapat menjerumuskannya ke dalam lembah kemaksiatan. Dia diharuskan untuk
menjaga dirinya dari fitnah yang dilancarkan setan dari berbagai
penjuru. Untuk itu, rasa malu lebih wajib untuk dimiliki oleh kaum
wanita, sehingga dengannya seorang wanita muslimah dapat menjadi
uswah (teladan) bagi saudarinya yang lain dalam berakhlaqul karimah.(/muslimah.or.id)