MASUKAN KATA DI KOTAK BAWAH INI UNTUK MENCARI.. LALU KLIK TOMBOL "SEARCH"

February 28, 2025

Kronologi Pertamax Dioplos PERTAMINA

Baca Artikel Lainnya

Dua orang pejabat Pertamina menjadi tersangka baru kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (2018–2023). Mereka diduga memerintahkan proses blending atau 'oplosan' pada produk kilang pada jenis RON 88 dan RON 90 agar dapat menghasilkan RON 92, ungkap Kejaksaan Agung, Rabu (26/05) malam.

 


Kejaksaan Agung menyatakan temuan adanya 'pengoplosan' atau blending Pertamax ini ditemukan tim penyidik berdasarkan temuan alat bukti. Kedua tersangka itu berinisial MK, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga. Satu lagi EC, VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar menegaskan hal itu menanggapi pernyataan PT Pertamina yang menyebut tidak ada pengoplosan BBM Pertamax.

Perusahaan plat merah itu sebelumnya juga mengeklaim bahwa kualitas Pertamax dipastikan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92.

 

Temuan Kejagung juga mengungkap bahwa dua tersangka mengetahui dan menyetujui mark up atau penggelembungan harga kontrak pengiriman yang dilakukan oleh tersangka JF, kata Qohar.

Akibatnya, menurut Qohar, Pertamina harus mengeluarkan fee 13% hingga 15% yang disebutnya "melawan hukum".

Uang itu kemudian mengalir ke tersangka lainnya MKAR dan DW, ungkapnya.

Dalam keterangannya, Kejagung mengungkap bahwa 'pengoplosan' atau blending minyak mentah RON 92 dilakukan di terminal dan perusahaan milik MKAR.

Pengoplosan ini terjadi di terminal PT Orbit Terminal Merak yang dimiliki bersama-sama oleh Kerry dan tersangka GRJ.

Sejauh ini belum ada tanggapan dari kuasa hukum para tersangka atas temuan Kejagung ini.

Dengan menetapkan dua tersangka baru, maka sejauh ini sudah ada sembilan orang tersangka dalam kasus ini.

 

Siapa tujuh pejabat Pertamina lainnya yang menjadi tersangka?

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada 2018-2023.

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan para tersangka terdiri dari empat orang petinggi anak perusahaan PT Pertamina dan tiga lainnya dari pihak swasta.

"Perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun," di Gedung Kejaksaan Agung Jakarta, Senin (24/02) malam.

Kerugian negara itu, kata Qohar, bersumber dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.

Bagaimana modusnya?

Modus para tersangka yaitu 'mengondisikan' produksi minyak bumi dalam negeri menjadi berkurang dan tidak memenuhi nilai ekonomis sehingga perlu impor dan melakukan mark up kontrak pengiriman minyak impor.


Selain itu, modus lainnya adalah 'mengoplos' impor minyak mentah RON 90 (setara Pertalite) dan kualitas di bawahnya menjadi RON 92 (Pertamax).

"Jadi dia [tersangka] mengimpor RON 90, 88, dan di bawah RON 92. Hasil impor ini dimasukkan dulu ke storage di Merak [Banten]. Nah, lalu di-blended [campur] lah di situ supaya kualitasnya itu jadi trademark-nya [merek dagang] RON 92," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar saat dihubungi BBC News Indonesia, Selasa (25/02).


Bukan Hanya Pertalite, Kejagung Ungkap Premium Dioplos jadi Pertamax


Dia menjelaskan proses pengoplosan dilakukan di terminal PT Orbit Terminal Merak yang dimiliki Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa, dan Gading Ramadhan Joedo selaku Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak. Kerry dan Gading sudah ditetapkan sebagai tersangka sebelumnya.

Qohar menampik klarifikasi yang sebelumnya dipaparkan Plh Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, di hadapan Komisi XII terkait penambahan zat aditif dan proses penambahan warna untuk menghasilkan Pertamax. Menurut Ega, proses injeksi tersebut merupakan hal umum dalam industri minyak guna meningkatkan kualitas produk.

"Tetapi penyidik menemukan tidak seperti itu. Ada RON 90 atau di bawahnya, RON 88, di-blending dengan RON 92. Jadi RON dengan RON. Nah, apakah itu nanti fraud atau tidak, ini ahli akan meneliti, tapi fakta-fakta, alat bukti yang ada seperti itu, keterangan saksi menyakatakan seperti itu," ujar dia.

Saat mengumumkanan tujuh tersangka kasus tersebut untuk pertama kalinya pada Senin, 24 Februari 2025, malam, Qohar baru mengungkap modus pengadaan produk kilang oleh Pertamina Patra Niaga lewat mark up impor minyak mentah RON 92 dengan membeli RON 90 yang kemudian dioplos menjadi Pertamax.

Selain lima nama tersebut, tersangka lainnya dalam kasus ini adalah Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, dan Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping.

Berikutnya, Agus Purwono selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International, serta Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.

Mereka telah mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun dan bersumber dari lima komponen. Yakni, kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri (Rp35 triliun), kerugian impor minyak mentah melalui broker (Rp2,7 triliun), kerugian impor BBM melalui broker (Rp9 triliun), kerugian pemberian kompensasi (Rp126 triliun), dan kerugian pemberian subsidi (Rp21 triliun).



Atas perbuatan itu, para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Sementara itu, PT Pertamina (Persero) menyatakan akan menghormati proses hukum yang tengah berjalan.

 

 

Jika ditarik mundur ke belakang, menurut Harli jumlah kerugian negara pasti fantastis.

Menurut Harli, rentang waktu terjadinya tindak pidana korupsi itu antara 2018-2023 dan jumlah kerugian total negara belum dihitung.

Bahkan, sambung Harli, kerugian negara untuk tahun 2023 baru hitungan sementara.

Dia menjelaskan, hitungan kerugian negara tersebut meliputi beberapa komponen seperti rugi impor minyak, rugi impor BBM lewat broker, dan rugi akibat pemberian subsidi.

"Jadi kalau apa yang kita hitung dan kita sampaikan kemarin (Senin) itu sebesar Rp193,7 triliun, perhitungan sementara ya, tapi itu juga sudah komunikasi dengan ahli, terhadap lima komponen itu baru di tahun 2023," katanya dikutip dari program Sapa Indonesia Malam di YouTube Kompas TV, Rabu (26/2/2025).

Harli mengungkapkan, jika dihitung secara kasar dengan perkiraan bahwa kerugian negara setiap tahun sebesar Rp193,7 triliun, maka total kerugian selama 2018-2023 mencapai Rp968,5 triliun.

"Jadi, coba dibayangkan, ini kan tempus-nya 2018-2023. Kalau sekiranya dirata-rata di angka itu (Rp193,7 triliun) setiap tahun, bisa kita bayangkan kerugian negara sebesar itu," katanya.

Harli menyebut pihaknya saat ini juga tengah fokus menghitung kerugian negara dari tahun 2018-2023 terkait kasus mega korupsi ini.

Dia mengatakan penyidik Kejagung turut menggandeng ahli untuk melakukan perhitungan kerugian negara.

"Kita ikuti perkembangnya nanti," ujarnya singkat.

Harli menjelaskan temuan kasus dugaan mega korupsi ini berawal dari keluhan masyarakat di beberapa daerah terkait kandungan dari bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang dianggap jelek, mesin jadi cepat panas, mogok, busi cepat mati, bensin cepat habis/boros dan kendala lainnya

 

 Para rakyat pasti sudah tahu hukuman ringan yang akan didapat para pelaku, maja dari itu korupsi di Indonesia tak akan pernah berhebnti samapi diterapkan hukuman mati,,,

 
Like us on Facebook