Religi atau spiritual hampir selalu dikaitkan dengan hati. Namun
baru-baru ini sebuah studi mengungkap, religi juga berhubungan dengan
ketebalan otak. Mereka yang religius ditemukan memiliki jaringan otak
yang lebih "tebal" dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Para peneliti mengatakan, otak yang tebal dapat membantu melawan depresi. "Kepercayaan dan mood direfleksikan di dalam otak dan teknik pencitraan baru dapat mengungkap ini," ujar peneliti studi Myrna Weissman, profesor psikiatri dan epidemiologi di Columbia University.
Menurut dia, otak merupakan organ yang luar biasa, tidak hanya mengontrol, tetapi juga dikontrol oleh mood. Studi yang dimuat dalam jurnal JAMA Psychiatry tersebut mengungkap adanya hubungan antara ketebalan otak dan spiritualitas, tetapi orang yang memiliki otak tebal belum tentu menyebabkan mereka menjadi religius.
Sebelumnya, para peneliti menemukan, orang yang religius memiliki risiko depresi yag lebih rendah dibandingkan orang yang tidak. Mereka juga mengungkapkan, orang yang menderita depresi mengalami penipisan korteks otak. Itulah yang mungkin menjadi alasan kenapa orang dengan otak tebal lebih terlindungi dari depresi.
Baca Artikel Lainnya
- Bagaimana Mata Air Terbentuk?
- Dampak Negatif Sumur Bor Bagi Lingkungan
- Apa Dampak Negatif Sering Stress ?
- Apa Bahaya Balita Sering Ngupil ?
- Apa Dampak Negatif Tidur Kurang dari 4 Jam Per Hari?
- Kenapa Banyak Orang Islam Di Tato?
- Awal Mula Kenapa Ramadhan & Idul Fitri Kini Jadi Beban Bagi Sebagian Umat Islam
- Ayat Suci Al Quran Yang Dibenci Syaitan & Jin
- Siapa Kakek Yang Ada di Iqro?
- Lailatul Qadar Didapatkan Bagi Yang Perilakunya Hijrah Saat Ramadhan Usai
Dalam studi baru tersebut, para peneliti bertanya kepada
103 orang dewasa dengan rentang usia 18-54 tahun mengenai seberapa
penting religiusitas dan spiritualitas bagi mereka, dan seberapa sering
mereka datang ke tempat ibadah selama lima tahun terakhir. Kemudian,
peneliti melakukan pemindaian pada otak peserta untuk mengetahui
ketebalan korteks otak mereka.
Peserta yang dilibatkan dalam studi terdiri dari anak-anak hingga orang lanjut usia yang sudah berada dalam fase depresi tingkat awal. Beberapa dari mereka juga memiliki riwayat depresi dalam keluarganya sehingga dinilai rawan mengalami gangguan tersebut.
Para peneliti menemukan, orang yang menganggap penting spiritualitas memiliki korteks otak yang lebih tebal. Hubungan tersebut paling kuat pada mereka yang memiliki risiko depresi yang tinggi.
"Setelahnya, kami perlu melihat stabilitasnya. Maka kami mengambil banyak gambar dari otak untuk melihat ukuran korteksnya yang mungkin berubah seiring spiritualitasnya," ujar Weissman yang juga kepala departemen epidemiologi genetik klinis di New York State Psychiatric Institute.
Peserta yang dilibatkan dalam studi terdiri dari anak-anak hingga orang lanjut usia yang sudah berada dalam fase depresi tingkat awal. Beberapa dari mereka juga memiliki riwayat depresi dalam keluarganya sehingga dinilai rawan mengalami gangguan tersebut.
Para peneliti menemukan, orang yang menganggap penting spiritualitas memiliki korteks otak yang lebih tebal. Hubungan tersebut paling kuat pada mereka yang memiliki risiko depresi yang tinggi.
"Setelahnya, kami perlu melihat stabilitasnya. Maka kami mengambil banyak gambar dari otak untuk melihat ukuran korteksnya yang mungkin berubah seiring spiritualitasnya," ujar Weissman yang juga kepala departemen epidemiologi genetik klinis di New York State Psychiatric Institute.
references by kompas
