Baca Artikel Lainnya
Pengusiran terhadap reporter Metro TV dan Kompas TV saat melakukan liputan aksi damai Bela Islam III, pada Jumat (02/12/2016) kemarin, atau yang lebih dikenal dengan “aksi 212”, memang disesalkan oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). Namun apa penyebab para reporter di lapangan tersebut diusir oleh massa Islam?
Sebagaimana dilansir oleh Islamic News Agency (INA), peristiwa itu bermula ketika salah seorang reporter Metro TV yang sedang meliput aksi di depan Patung Kuda Jalan Merdeka Barat, Jakarta menyebutkan, bahwa peserta Aksi Bela Islam III hanya dihadiri 50 ribu orang. Sontak pernyataan tersebut menimbulkan kemarahan dari peserta aksi karena dianggap memberitakan sebuah kebohongan.
“Pergi, pergi, Metro tipu, penipuuu,” teriak salah seorang peserta aksi.
Salah seorang peserta aksi massa, Asep menyuarakan kemarahannya atas kebohongan yang dilakukan oleh salah seorang reporter Metro TV.
“Saya tidak terima, Mas. Mereka banyak melakukan kebohongan. Ini bahaya, makanya kami usir,” terang Asep dengan nada tegas.
Asep juga mengingatkan kepada Metro TV untuk tidak main-main dalam pemberitaan mengenai Aksi Bela Islam III ini.
“Kami ingatkan kepada mereka agar tidak main-main dalam memberitakan aksi ini. Jangan kalian beritakan yang tidak baik. Kalian catat itu ya,” tegas Asep.
Salah seorang reporter akhirnya dilarikan oleh pihak aparat kepolisian. Meski sempat dimintai tanggapannya, namun reporter Metro TV tersebut tidak memberikan jawaban.
Kejadian tersebut berlangsung sekira pukul 07.09 WIB. Massa yang melihat wartawan media tersebut langsung meneriaki agar mereka meninggalkan lokasi kegiatan mereka.
“Dengan segala hormat, media seperti Kompas, Metro, dan BeritaSatu harap pergi dari sini,” kata salah satu orator dari atas mobil komando, Jumat (2/12/2016).
Permohonan tersebut pun langsung disambut teriakan massa agar wartawan KompasTV bisa meninggalkan lokasi peliputannya itu.
“Usir Kompas dari sini,” teriak massa.
Menghindari respon yang bisa saja berujung anarkis dari massa, mobil liputan Kompas TV tersebut langsung bergeser meninggalkan lokasi liputannya itu.
Diketahui, sampai saat ini jutaan massa masih terus bergerak, bahkan umat yang berasal dari berbagai daerah masih tampak berdatangan. Mereka akan mengikuti aksi bela Islam jilid III dengan cara istighosah, gelar sajadah dan doa bersama di lapangan Monas.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyesalkan pengusiran yang dilakukan sekelompok massa terhadap jurnalis dari dua media televisi swasta dalam peliputan kegiatan doa bersama, Jumat (2/12). Diketahui dua stasiun TV tersebut adalah MetroTV dan KompasTV.
Dalam video yang beredar, massa aksi menyoraki wartawan MetroTV yang sedang melakukan peliputan. Mereka mengacungkan jempol ke bawah dan berteriak-teriak.
"AJI menyesalkan perbuatan kelompok masyarakat tersebut karena telah melakukan intimidasi dan menyerang hingga tidak terlaksananya liputan jurnalis," ujar Ketua AJI Suwarjono dihubungi melalui pesan singkat di Jakarta, Sabtu.
Sebelumnya jurnalis dari dua media televisi swasta dihalang-halangi dan diusir kelompok massa, saat melakukan peliputan doa bersama di Jakarta.
Suwarjono mengatakan pihaknya mengecam keras intimidasi atau penghalang-halangan kerja jurnalistik yang diterima reporter dan kameramen dari dua media televisi swasta.
"Pengusiran adalah pelanggaran serius terhadap UU Pers dengan ancaman hukuman pidana dan atau denda, bahkan juga berusaha merusak alat kerja, ini pelanggaran serius terhadap kerja jurnalistik dan perbuatan pelanggaran hukum, layak untuk dipidanakan dan proses hukum," tegas dia.
Suwarjono menegaskan penghalangan terhadap kerja jurnalis mengancam hak masyarakat untuk mendapatkan berbagai informasi yang terkait dengan kepentingan publik.
Dia menyampaikan semestinya masyarakat yang keberatan atau tidak setuju atas pemberitaan yang dilakukan sebuah media, atau sering disebut sengketa media, bisa menempuh jalur sesuai prosedur penyelesaian sengketa pers.
"Mereka bisa langsung protes ke media yang bersangkutan dengan menggunakan hak jawab, hak koreksi dan menyampaikan pendapatnya. Apabila tidak puas dan ada dugaan pelanggaran etik, bisa melaporkan ke Dewan Pers," jelasnya.
Menurut Suwarjono, saat ini diperlukan literasi media yakni mendidik masyarakat agar melek media. Sehingga masyarakat pun tahu bagaimana memilih dan memilah pemberitaan untuk dikonsumsi, termasuk tahu bagaimana cara untuk melayangkan keberatannya ke media apabila ada perselisihan.
Sebaliknya, kata dia, media juga dituntut untuk profesional, menjaga kode etik, tidak berat sebelah, menjaga keberimbangan dan tidak partisan.
"Termasuk di dalamnya media harus profesional, tidak boleh menjadi corong bagi partai, pemilik maupun penguasa/pemerintah. Jurnalis dan medianya harus menjaga profesionalisme," jelas dia.
Lebih jauh terkait peristiwa penghalang-halangan dan pengusiran Jurnalis televisi swasta dalam aksi doa bersama Jumat, AJI menuntut kepolisian mengusut tuntas kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis itu.
"Penegakan hukum secara tegas harus dilakukanuntuk menghindari kasus serupa terulang, menghindari masyarakat main hakim sendiri dan menghindari pembiaran masyarakat yang melanggar hukum," tegas dia.
Wartawan MetroTV dan Kompas minta dilindungi polisi, ini jawaban Kapolri -
vKepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Muhammad Tito Karnavian, menganjurkan kepada para wartawan dan media massa untuk berlaku objektif dalam pemberitaan Aksi Bela Islam III yang akan digelar Jum’at (2/12/2016) nanti.
Ia menambahkan, hal itu perlu dilakukan jika tidak ingin mendapatkan penolakan peliputan dari masyarakat, khususnya ummat Islam.
“Membaur dengan masyarakat, baik-baik. Tidak over acting. Syukur-syukur kalau ikut zikir juga. Insya Allah tidak akan ganggu,” ujar Tito saat konferensi pers terkait Aksi Bela Islam III, di gedung MUI, Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin (28/11/2016), seperti dilansir Islamic News Agency (INA).
Hal itu disampaikan Tito setelah salah satu wartawan yang mengaku mewakili rekan-rekannya yang bekerja di Kompas Tv, Metro Tv, dan Berita Satu, meminta perlindungan polisi saat aksi bela Islam nanti.
Karena menurut dia, para rekan wartawan yang bekerja di tiga media televisi itu kerap merasa terancam saat meliput.
“Karena kami penyampai berita juga seperti Rasul, pak!” Ujar salah satu wartawan kepada Tito.
Tito sendiri mengaku, polisi siap mengamankan siapa saja. Termasuk para pewarta dan media massa. “Kita akan amankan, tapi yang paling utama adalah dari Allah,” kata dia.
Seperti diketahui sebelumnya, ketiga media massa tersebut, pernah mengalami pengusiran oleh masyarakat saat meliput beberapa kegiatan terkait ummat Islam.
Sebelumnya, pada aksi Bela Islam II pada 4 November 2016 di Medan, Sumatera Utara, reporter Metro TV juga mendapat perlakukan yang sama dari para peserta.
Selain wartawan Metro TV, saat itu sejumlah wartawan dari Kompas TV dan Berita Satu juga meminta perlindungan dari aparat kepolisian karena merasa terancam oleh massa aksi
Hal ini bermula saat insiden rumput/tanaman yg diinjak-injak olah wartawan dan menuduh dilakukan peserta aksi, berita sampah, isu bahwa peserta aksi dibayar dan lain-lainnya. Bukan hanya itu media-media tersebut dianggap sering memelintir berita yang behubungan dengan umat Islam / Islam di berbagai media internet maupun Televisi
referencces by riaunews, merdeka, redksikota, arrahmah
Follow @A_BlogWeb
Salah seorang peserta aksi massa, Asep menyuarakan kemarahannya atas kebohongan yang dilakukan oleh salah seorang reporter Metro TV.
“Saya tidak terima, Mas. Mereka banyak melakukan kebohongan. Ini bahaya, makanya kami usir,” terang Asep dengan nada tegas.
Asep juga mengingatkan kepada Metro TV untuk tidak main-main dalam pemberitaan mengenai Aksi Bela Islam III ini.
“Kami ingatkan kepada mereka agar tidak main-main dalam memberitakan aksi ini. Jangan kalian beritakan yang tidak baik. Kalian catat itu ya,” tegas Asep.
Salah seorang reporter akhirnya dilarikan oleh pihak aparat kepolisian. Meski sempat dimintai tanggapannya, namun reporter Metro TV tersebut tidak memberikan jawaban.
Massa Aksi Bela Islam Jilid III Usir Kompas TV Saat Akan Meliput
Lagi-lagi, aksi penolakan peliputan oleh wartawan dalam aksi Bela Islam kembali terjadi. Pasalnya, di kawasan Jalan Medan merdeka Selatan, massa aksi meminta agar mobil liputan wartawan KompasTV untuk meninggalkan lokasi.“Dengan segala hormat, media seperti Kompas, Metro, dan BeritaSatu harap pergi dari sini,” kata salah satu orator dari atas mobil komando, Jumat (2/12/2016).
Permohonan tersebut pun langsung disambut teriakan massa agar wartawan KompasTV bisa meninggalkan lokasi peliputannya itu.
“Usir Kompas dari sini,” teriak massa.
Menghindari respon yang bisa saja berujung anarkis dari massa, mobil liputan Kompas TV tersebut langsung bergeser meninggalkan lokasi liputannya itu.
Diketahui, sampai saat ini jutaan massa masih terus bergerak, bahkan umat yang berasal dari berbagai daerah masih tampak berdatangan. Mereka akan mengikuti aksi bela Islam jilid III dengan cara istighosah, gelar sajadah dan doa bersama di lapangan Monas.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyesalkan pengusiran yang dilakukan sekelompok massa terhadap jurnalis dari dua media televisi swasta dalam peliputan kegiatan doa bersama, Jumat (2/12). Diketahui dua stasiun TV tersebut adalah MetroTV dan KompasTV.
Dalam video yang beredar, massa aksi menyoraki wartawan MetroTV yang sedang melakukan peliputan. Mereka mengacungkan jempol ke bawah dan berteriak-teriak.
"AJI menyesalkan perbuatan kelompok masyarakat tersebut karena telah melakukan intimidasi dan menyerang hingga tidak terlaksananya liputan jurnalis," ujar Ketua AJI Suwarjono dihubungi melalui pesan singkat di Jakarta, Sabtu.
Sebelumnya jurnalis dari dua media televisi swasta dihalang-halangi dan diusir kelompok massa, saat melakukan peliputan doa bersama di Jakarta.
Suwarjono mengatakan pihaknya mengecam keras intimidasi atau penghalang-halangan kerja jurnalistik yang diterima reporter dan kameramen dari dua media televisi swasta.
"Pengusiran adalah pelanggaran serius terhadap UU Pers dengan ancaman hukuman pidana dan atau denda, bahkan juga berusaha merusak alat kerja, ini pelanggaran serius terhadap kerja jurnalistik dan perbuatan pelanggaran hukum, layak untuk dipidanakan dan proses hukum," tegas dia.
Suwarjono menegaskan penghalangan terhadap kerja jurnalis mengancam hak masyarakat untuk mendapatkan berbagai informasi yang terkait dengan kepentingan publik.
Dia menyampaikan semestinya masyarakat yang keberatan atau tidak setuju atas pemberitaan yang dilakukan sebuah media, atau sering disebut sengketa media, bisa menempuh jalur sesuai prosedur penyelesaian sengketa pers.
"Mereka bisa langsung protes ke media yang bersangkutan dengan menggunakan hak jawab, hak koreksi dan menyampaikan pendapatnya. Apabila tidak puas dan ada dugaan pelanggaran etik, bisa melaporkan ke Dewan Pers," jelasnya.
Menurut Suwarjono, saat ini diperlukan literasi media yakni mendidik masyarakat agar melek media. Sehingga masyarakat pun tahu bagaimana memilih dan memilah pemberitaan untuk dikonsumsi, termasuk tahu bagaimana cara untuk melayangkan keberatannya ke media apabila ada perselisihan.
Sebaliknya, kata dia, media juga dituntut untuk profesional, menjaga kode etik, tidak berat sebelah, menjaga keberimbangan dan tidak partisan.
"Termasuk di dalamnya media harus profesional, tidak boleh menjadi corong bagi partai, pemilik maupun penguasa/pemerintah. Jurnalis dan medianya harus menjaga profesionalisme," jelas dia.
Lebih jauh terkait peristiwa penghalang-halangan dan pengusiran Jurnalis televisi swasta dalam aksi doa bersama Jumat, AJI menuntut kepolisian mengusut tuntas kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis itu.
"Penegakan hukum secara tegas harus dilakukanuntuk menghindari kasus serupa terulang, menghindari masyarakat main hakim sendiri dan menghindari pembiaran masyarakat yang melanggar hukum," tegas dia.
Wartawan MetroTV dan Kompas minta dilindungi polisi, ini jawaban Kapolri -
vKepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Muhammad Tito Karnavian, menganjurkan kepada para wartawan dan media massa untuk berlaku objektif dalam pemberitaan Aksi Bela Islam III yang akan digelar Jum’at (2/12/2016) nanti.
Ia menambahkan, hal itu perlu dilakukan jika tidak ingin mendapatkan penolakan peliputan dari masyarakat, khususnya ummat Islam.
“Membaur dengan masyarakat, baik-baik. Tidak over acting. Syukur-syukur kalau ikut zikir juga. Insya Allah tidak akan ganggu,” ujar Tito saat konferensi pers terkait Aksi Bela Islam III, di gedung MUI, Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin (28/11/2016), seperti dilansir Islamic News Agency (INA).
Hal itu disampaikan Tito setelah salah satu wartawan yang mengaku mewakili rekan-rekannya yang bekerja di Kompas Tv, Metro Tv, dan Berita Satu, meminta perlindungan polisi saat aksi bela Islam nanti.
Karena menurut dia, para rekan wartawan yang bekerja di tiga media televisi itu kerap merasa terancam saat meliput.
“Karena kami penyampai berita juga seperti Rasul, pak!” Ujar salah satu wartawan kepada Tito.
Tito sendiri mengaku, polisi siap mengamankan siapa saja. Termasuk para pewarta dan media massa. “Kita akan amankan, tapi yang paling utama adalah dari Allah,” kata dia.
Seperti diketahui sebelumnya, ketiga media massa tersebut, pernah mengalami pengusiran oleh masyarakat saat meliput beberapa kegiatan terkait ummat Islam.
Sebelumnya, pada aksi Bela Islam II pada 4 November 2016 di Medan, Sumatera Utara, reporter Metro TV juga mendapat perlakukan yang sama dari para peserta.
Selain wartawan Metro TV, saat itu sejumlah wartawan dari Kompas TV dan Berita Satu juga meminta perlindungan dari aparat kepolisian karena merasa terancam oleh massa aksi
Mereka mengusir wartawan dan mobil liputan stasiun berita tersebut karena menganggap stasiun TV dan media-media tersebut sering memelintir berita dan memojokkan berita soal Islam /umat Islam dan penggiringan opini publik untuk kepentingan golongan tertentu.
referencces by riaunews, merdeka, redksikota, arrahmah