Baca Artikel Lainnya
Sebuah citra satelit menunjukkan bahwa Cina telah mulai membangun
landas pacu pesawat di sebuah lahan reklamasi di sekitar perairan Laut
Cina Selatan yang bersengketa.
Menurut para pakar pertahanan, itu adalah lapangan udara pertama Cina di Spratly Islands. Fasilitas itu dinilai sanggup menampung jet tempur serta pesawat angkut dan mata-mata.
Citra yang diambil pada 23 Maret oleh divisi satelit komersial Airbus
Group itu memperlihatkan landas pacu sepanjang 503 meter di Fiery Cross
Reef, demikian IHS Jane’s.
Fiery Cross adalah satu dari tujuh terumbu karang di Spratly yang dikuasai Cina. Tahun lalu, Cina membangun landasan helikopter, dermaga, dan fasilitas lain yang menurut Beijing ditujukan untuk kepentingan militer dan sipil.
“Dalam gambar terbaru, Cina terlihat [aktif] mengembangkan kepulauan,” ujar James Hardy, Editor IHS Jane’s Defence Weekly untuk wilayah Asia Pasifik.
Gambar lain yang diambil pada Maret lalu mengungkap upaya Cina mereklamasi pantai yang ukurannya cukup luas untuk menjadi lapangan udara di Subi Reef, salah satu bagian Spratly.
Sepanjang 2014, Cina telah melakukan reklamasi ratusan hektar lahan di kawasan Spratly.
Cina “sepertinya tengah membangun fasilitas lebih besar yang dapat menopang kekuatan hukum laut dan operasi angkatan lautnya,” demikian laporan intelijen Angkatan Laut AS.
Negara lain yang terlibat klaim wilayah pun melakukan reklamasi lahan dan membangun infrastruktur di daerah yang mereka kuasai. Taiwan, contohnya, telah memiliki lapangan udara di sebuah pulau alami Spratly.
Para pejabat Cina berulang-kali menampik kecaman mengenai reklamasi pantai karena merasa memiliki hak berdaulat di kawasan tersebut.
Pada awal pekan ini, citra satelit menunjukkan bahwa Cina pun
memperluas dua kepulauan yang mereka kuasai di kepulauan Paracel–Vietnam
mengaku memiliki kedua pulau.
AS pada Selasa meminta Cina mencari solusi damai bagi ihwal sengketa wilayah di Laut Cina Selatan.
references by http://adf.ly/1FBAxf
http://adf.ly/1FBDlQ
Follow @A_BlogWeb
Menurut para pakar pertahanan, itu adalah lapangan udara pertama Cina di Spratly Islands. Fasilitas itu dinilai sanggup menampung jet tempur serta pesawat angkut dan mata-mata.
Fiery Cross adalah satu dari tujuh terumbu karang di Spratly yang dikuasai Cina. Tahun lalu, Cina membangun landasan helikopter, dermaga, dan fasilitas lain yang menurut Beijing ditujukan untuk kepentingan militer dan sipil.
“Dalam gambar terbaru, Cina terlihat [aktif] mengembangkan kepulauan,” ujar James Hardy, Editor IHS Jane’s Defence Weekly untuk wilayah Asia Pasifik.
Gambar lain yang diambil pada Maret lalu mengungkap upaya Cina mereklamasi pantai yang ukurannya cukup luas untuk menjadi lapangan udara di Subi Reef, salah satu bagian Spratly.
Sepanjang 2014, Cina telah melakukan reklamasi ratusan hektar lahan di kawasan Spratly.
Cina “sepertinya tengah membangun fasilitas lebih besar yang dapat menopang kekuatan hukum laut dan operasi angkatan lautnya,” demikian laporan intelijen Angkatan Laut AS.
Negara lain yang terlibat klaim wilayah pun melakukan reklamasi lahan dan membangun infrastruktur di daerah yang mereka kuasai. Taiwan, contohnya, telah memiliki lapangan udara di sebuah pulau alami Spratly.
Para pejabat Cina berulang-kali menampik kecaman mengenai reklamasi pantai karena merasa memiliki hak berdaulat di kawasan tersebut.
AS pada Selasa meminta Cina mencari solusi damai bagi ihwal sengketa wilayah di Laut Cina Selatan.
Kawasan Laut Cina Selatan sepanjang
decade 90-an menjadi primadona isu keamanan dalam hubungan internasional
di ASEAN paska perang dingin. Kawasan ini merupakan wilayah cekungan
laut yang dibatasi oleh negara-negara besar dan kecil seperti Cina,
Vietnam, philipina, Malaysia,Burma dan Taiwan. Dalam cekungan laut ini
terdapat kepulauan Spratly dan kepulauan paracel. Pada berbagai kajian
tentang konflik di laut cina selatan kepulauan spratly lebih mengemuka
karena melibatkan beberapa negara ASEAN sekaligus, sementara kapulauan
paracel hanya melibatkan Vietnam dan Cina.
Konflik dilaut Cina selatan
tidak bisa dilepaskan dari persoalan kebutuhan akan sumber daya yang
langka seperti minyak, ikan, dan sampai tingkat tertentu, transportasi.
Minyak menjadi incaran utama karena hingga saat ini perebutan untuk
mendapatkan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui ini tidak dapat
dilepaskan dari konflik militer bahkan invasi militer sebagaimana invasi
Amerika ke Iraq tahun 2003. Sejak awal decade 90-an hingga saat ini
Cina telah menjadi salah satu dari sepuluh importir minyak terbesar di
dunia. Predikat ini dengan sendirinya membuat Cina harus selalu berusaha
mendapatkan suplai minyak dari luar negeridalam jumlah cukup agar
perekonomiannya tetap berjalan dan berkembang pesat. Kandungan dan
minyak dan gas alam di kawasan ini membuat keterlibatan Cina dalam
konflik di kawasan ini menjadi tak terelakkan. Menurut perkiraan Cina
kawasan Laut Cina Selatan memiliki kandungan minyak tidak kurang dari
105 hingga 213 milyar barel. Sementara perkiraan US Geologikal Survey
kandungan minyaknya tidak lebih dari 28 milyar barel.
Di samping itu, kawasan Laut
Cina Selatan juga dikenal kaya dengan ikan yang merupakan sumber gizi
penduduk di sekitarnya. Ditinjau dari hasil lautnya yang melimpah
kawasan Laut Cina Selatan diperkirakan mampu menyediakan kebutuhan
protein bagi 1 milyar penduduk Asia, atau paling tidak 600 juta penduduk
pantai. Mengingat ikan merupakan sumber makanan dari alam yang selalu
diproduksi (renewable), maka konflik di kawasan ini pun tidak dapat
dilepaskan dari perburuan hasil laut tersebut.
Kawasan Laut Cina Selatan
juga merupakan jalur yang strategis karena lebih dari 40.000 kapal
melewati jalur tersebut setiap tahunnya. Akibatnya jalur Laut Cina
Selatan menjadi lebih padat disbanding terusan Suez dan terusan Panama.
Di samping itu, kawasan ini merupakan jalur utama kapal-kapal minyak
dari timur tengah yang men-supply kebutuhan minyak Jepang. Sebaliknya,
Jepang juga membutuhkan keamanan kawasan tersebut karena merupakan jalur
utama bagi kapal-kapalnya yang mengangkut barang produksi Jepang menuju
Asia, Timur Tengah dan Eropa. Ekonomi Jepang yang tergantung pada
barang elektronik, mesin, dan otomotif jelas membutuhkan stabilitas
kawasan Laut Cina Selatan. Demikian pula Amerika yang membutuhkan
stabilitas jalur laut bagi kelancaran kapal-kapal perangnya di kawasan
tersebut.
Konflik di Laut Cina Selatan
telah dimulai sejak akhir abad ke 19 ketika Inggris mengklaim kepulauan
Spartly, diikuti oleh Cina pada awal abad ke 20, dan Perancis sekitar
tahun 1930an. Disaat berkecambuknya perang dunia kedua, Jepang mengusir
Perancis dan menggunakan Kepulauan Spartly sebagai basis kapal selam.
Dengan berakhirnya PD II Cina, Perancis kembali mengklaim kawasan
tersebut dan diikuti oleh Filipina yang membutuhkan sebagian kawasan
tersebut sebagai bagian dari kepentingan keamanan dari kawasannya.
Sejak 1970 klaim terhadap
kawasan tersebut meningkat pesat sejalan dengan perkembangan penemuan
dan hukum internasional. Perkembangan pertama menyangkut ditemukannya
ladang minyak yang diperkirakan cukup banyak di kawasan tersebut
berdasarkan survey geologi yang dilakukan para peneliti dari perushaan
Amerika dan Inggris. Penemuan ini sudah tentu membuat harga kepulauan
dan pulau kecil serta batu karang di kawasan tersebut meroket.
Perkembangan kedua, berkaitan dengan ditetapkannya Zona Ekonomi
Eksklusif sepanjang 200 mil laut bagi setiap negara berdasarkan
ketentuan dari UNCLOS ( United Nation Conference on The Law of The Sea
).
Terbukanya peluang untuk
memanfaatkan dan mengeksploitasi kawasan Laut Cina Selatan dengan
sendirinya mendorong negara-negara yang pantainya berbatasan langsung
dengan kawasan tersebut segera melakukan klaim terhadap sebagian pulau,
kepulauan, atau karang yang masuk dalam kawasan negaranya sebagaimana
ditentukan oleh hukum laut internasional di atas. Cina, Vietnam,
Filipina, Malaysia berlomba-lomba mengklaim, mengirim pasukan untuk
mengamankan kepulauan yang mereka klaim, bahkan memberi konsensi pada
perusahaan-perusahaan minyak asing, khususnya Amerika dan Inggris, untuk
melakukan eksplorasi minyak di kawasan yang mereka klaim masing-masing.
Persaingan dalam proses pernyataan hak ini berkembang menjadi konflik
militer khususnya Cina dan Vietnam tahun 1974 dan 1988. Cina bahkan
secara terbuka mendirikan bangunan yang disertai dengan system
komunikasi, canggih plus tempat pendaratan helikopter. Perkembangan ini
menunjukkan dengan jelas besarnya kepentinagn Cina di Kepulauan Spartly.
Perseteruan antara Cina dan Vietnam lebih banyak disebabkan oleh isu
tambang minyak. Sementara konflik antara Cina dan Filipina lebih
disebabkan oleh persainagn dalam perebutan hasil ikan di kawasan
tersebut. Kekuatan militer Cina membuat kerajaan tengah ini selalu
berada di atas angin.
Besarnya potensi konflik di
Laut Cina Selatan khususnya berkaitan dengan Kepulauan Spratly secara
perlahan mendapat perhatian dari ASEAN. Indonesia merupakan negara yang
memprakarsai pembahasan tentang Kepulauan Spratly melalui rangkaian
workshop yang diselenggarakan di Jakarta atas dukungan Kanada antara
1990 hingga 1991. Pada mulanya pertemuan ini hanya melibatkan keenam
anggota ASEAN. Pendekatan ini kurang memberikan dampak efektif bagi
upaya menemukan solusi atas konflik di Kepulauan Spratly. Dalam
pertemuan selanjutnya Cina, Vietnam, dan Taiwan mulai dilibatkan dengan
harapan akan menghasilkan sesuatu yang lebih konkret.
references by http://adf.ly/1FBAxf
http://adf.ly/1FBDlQ