Baca Artikel Lainnya
Kendati pemerintahan
Joko Widodo optimistis dapat mencatatkan pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen
dalam lima tahun masa pemerintahan, hal tersebut tidak bisa menjamin bisa
menekan menurunkan angka pengangguran secara nasional.
Direktur Eksekutif Center Of Reform Economics (CORE), Hendri Saparini menuturkan, sejauh ini pertumbuhan sektor industri yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi paling dominan adalah jasa.
"Sektor jasa banyak menyumbang pertumbuhan ekonomi, paling dominan. Padahal, industri itu tidak paling banyak memberikan lapangan kerja dibanding manufaktur," kata Hendri di Jakarta, Senin (13/4).
Menurutnya, meski tumbuh, sektor jasa banyak diisi tenaga yang bekerja secara informal. Hal ini membuat masyarakat tak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari pendapatan yang rendah. Program pemerintah pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang menggencarkan pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK), terbukti gagal. Hal tersebut terlihat dari tidak tumbuhnya lapangan pekerjaan di sektor manufaktur.
"Akibatnya, tingkat pengangguran tertinggi saat ini diraih jutsru oleh lulusan SMK. Memang pengangguran terbuka menurun, tetapi pekerja informal masih banyak, pekerja yang tidak bisa memenuhi kebutuhan. Ini harus diperhatikan," tuturnya.
Melambat
Anggota Komisi X DPR, Dadang Rusdiana menuturkan, kebijakan pendidikan nasional Indonesia selama ini tidak sejalan dengan penciptaan tenaga kerja. "Pasar tak butuh produk tenaga kerja yang kita desain," serunya.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebukan, angkatan kerja Indonesia pada Agustus 2014 mencapai 121,9 juta orang. Namun, yang bekerja tercatat 114,6 juta orang. Dari jumlah tersebut, tenaga kerja sektor formal pada 2014 tercatat 40,6 persen, sisanya dari sektor informal. Klasifikasi dari para angkatan kerja informal 26,09 persen merupakan pekerja paruh waktu, status setengah penganggur 9,68 persen, dan yang berstatus penganggur terbuka 7,24 persen.
Dalam penyerapan
tenaga kerja berdasarkan sektor pertanian, manufaktur, dan jasa, bidang jasa
menggelembung jumlahnya dari 35,1 juta orang pada 2005, meningkat menjadi 51,4
juta pada 2014. Dikarenakan ketidakseragaman antara program pembangunan dan penyelesaian
masalah tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja Indonesia menjadi lambat di
tingkat negara-negara Asia.
Terlepas dari itu semua, pertumbuhan ekonomi dinilai masih dalam tren melambat. Hendri menyatakan, pelemahan nilai tukar rupiah menjadi salah satu penyebab ekonomi Indonesia melambat.
"Kami memprediksi terjadi perlambatan ekonomi kali ini. Lembaga-lembaga lain juga sudah melakukan koreksi. Awalnya, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,3-5,8 persen tahun ini. Tapi itu sulit. Pertumbuhan berada di batas bawah," tutur Hendri.
Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini sangat bergantung terhadap konsumsi masyarakat. Berkurangnya daya beli masyarakat sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia sebelumnya juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I/2015 hanya berada pada kisaran 5 persen. Ini karena dipengaruhi kondisi perekonomian global yang masih mengalami kelesuan.
"Di Indonesia, kami perkirakan pada kuartal I dan II pertumbuhan ekonomi masih ada di kisaran 5 persen, atau sedikit di atas 5 persen," kata Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardo.
Kenaikan harga bahan bakar minyak dan beras menyumbang inflasi selama Maret 2015. Data Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta dan Tim Pengendali Inflasi Daerah ini menunjukkan hal tersebut.
Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS DIY, Haryono, menyatakan Kota Yogyakarta pada Maret 2015 mengalami inflasi sebesar 0,15 persen. Penyebab inflasi adalah kenaikan harga sejumlah komoditas.
Kenaikan harga komoditas yang paling mempengaruhi inflasi adalah beras, bensin, bawang merah, dan udang basah. "Beras dan bensin naik 4,01 persen dan 4,21 persen dengan masing-masing memberikan andil 0,15 persen," katanya, Rabu, 8 April 2015.
Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah menjadi penyebab inflasi. Penguatan dolar secara tajam terhadap semua mata uang dunia membuat nilai tukar rupiah kembali jatuh ke titik terendah.
Ketua tim pelaksana Tim Pengendalian Inflasi Daerah Sri Fitriani
mengatakan, sepanjang Maret 2015, tim berfokus pada upaya mengatasi
dampak kenaikan harga komoditas beras. Misalnya, menggelar operasi pasar
di DIY pada 17-27 Maret 2015. Total beras yang disalurkan sebanyak 16
ton. "Beras miskin juga telah disalurkan," ucapnya.
Menurut Sri, terdapat sejumlah faktor risiko yang dapat meningkatkan tekanan inflasi pada April 2015. Di antaranya harga minyak dunia yang berpengaruh besar terhadap penetapan harga BBM di dalam negeri, tarif listrik, kenaikan sewa rumah /kost, dan perbedaan harga eceran tertinggi elpiji 3 kilogram.
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun
2016 hanya tumbuh 5,5 persen. Proyeksi itu jauh lebih pesimistis
dibandingkan proyeksi pemerintah Indonesia sebesar 6,6 persen.
Untuk tahun 2015, Bank Dunia juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,2 persen.
Perkiraan itu juga jauh di bawah target pemerintah dalam APBNP 2015 yang sebesar 5,7 persen.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan meningkat tetapi hanya secukupnya, dengan perlambatan pengurangan kemiskinan akan terus berlanjut," demikian Bank Dunia dalam East Asia Pacifik Economic Update yang dirilis Kamis (13/4/2015).
Dengan pertumbuhan ekonomi masih di bawah 6 persen, inflasi makanan melebihi inflasi utama, dan penduduk miskin masih terus hidup di bawah garis kemiskinan, maka melambatnya tingkat kemiskinan akan terus berlanjut.
references by sinarharapan, rimanews, tempo
Follow @A_BlogWeb
Direktur Eksekutif Center Of Reform Economics (CORE), Hendri Saparini menuturkan, sejauh ini pertumbuhan sektor industri yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi paling dominan adalah jasa.
"Sektor jasa banyak menyumbang pertumbuhan ekonomi, paling dominan. Padahal, industri itu tidak paling banyak memberikan lapangan kerja dibanding manufaktur," kata Hendri di Jakarta, Senin (13/4).
Menurutnya, meski tumbuh, sektor jasa banyak diisi tenaga yang bekerja secara informal. Hal ini membuat masyarakat tak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari pendapatan yang rendah. Program pemerintah pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang menggencarkan pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK), terbukti gagal. Hal tersebut terlihat dari tidak tumbuhnya lapangan pekerjaan di sektor manufaktur.
"Akibatnya, tingkat pengangguran tertinggi saat ini diraih jutsru oleh lulusan SMK. Memang pengangguran terbuka menurun, tetapi pekerja informal masih banyak, pekerja yang tidak bisa memenuhi kebutuhan. Ini harus diperhatikan," tuturnya.
Melambat
Anggota Komisi X DPR, Dadang Rusdiana menuturkan, kebijakan pendidikan nasional Indonesia selama ini tidak sejalan dengan penciptaan tenaga kerja. "Pasar tak butuh produk tenaga kerja yang kita desain," serunya.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebukan, angkatan kerja Indonesia pada Agustus 2014 mencapai 121,9 juta orang. Namun, yang bekerja tercatat 114,6 juta orang. Dari jumlah tersebut, tenaga kerja sektor formal pada 2014 tercatat 40,6 persen, sisanya dari sektor informal. Klasifikasi dari para angkatan kerja informal 26,09 persen merupakan pekerja paruh waktu, status setengah penganggur 9,68 persen, dan yang berstatus penganggur terbuka 7,24 persen.
Terlepas dari itu semua, pertumbuhan ekonomi dinilai masih dalam tren melambat. Hendri menyatakan, pelemahan nilai tukar rupiah menjadi salah satu penyebab ekonomi Indonesia melambat.
"Kami memprediksi terjadi perlambatan ekonomi kali ini. Lembaga-lembaga lain juga sudah melakukan koreksi. Awalnya, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,3-5,8 persen tahun ini. Tapi itu sulit. Pertumbuhan berada di batas bawah," tutur Hendri.
Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini sangat bergantung terhadap konsumsi masyarakat. Berkurangnya daya beli masyarakat sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia sebelumnya juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I/2015 hanya berada pada kisaran 5 persen. Ini karena dipengaruhi kondisi perekonomian global yang masih mengalami kelesuan.
"Di Indonesia, kami perkirakan pada kuartal I dan II pertumbuhan ekonomi masih ada di kisaran 5 persen, atau sedikit di atas 5 persen," kata Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardo.
Kenaikan harga bahan bakar minyak dan beras menyumbang inflasi selama Maret 2015. Data Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta dan Tim Pengendali Inflasi Daerah ini menunjukkan hal tersebut.
Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS DIY, Haryono, menyatakan Kota Yogyakarta pada Maret 2015 mengalami inflasi sebesar 0,15 persen. Penyebab inflasi adalah kenaikan harga sejumlah komoditas.
Kenaikan harga komoditas yang paling mempengaruhi inflasi adalah beras, bensin, bawang merah, dan udang basah. "Beras dan bensin naik 4,01 persen dan 4,21 persen dengan masing-masing memberikan andil 0,15 persen," katanya, Rabu, 8 April 2015.
Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah menjadi penyebab inflasi. Penguatan dolar secara tajam terhadap semua mata uang dunia membuat nilai tukar rupiah kembali jatuh ke titik terendah.
Menurut Sri, terdapat sejumlah faktor risiko yang dapat meningkatkan tekanan inflasi pada April 2015. Di antaranya harga minyak dunia yang berpengaruh besar terhadap penetapan harga BBM di dalam negeri, tarif listrik, kenaikan sewa rumah /kost, dan perbedaan harga eceran tertinggi elpiji 3 kilogram.
Untuk tahun 2015, Bank Dunia juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,2 persen.
Perkiraan itu juga jauh di bawah target pemerintah dalam APBNP 2015 yang sebesar 5,7 persen.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan meningkat tetapi hanya secukupnya, dengan perlambatan pengurangan kemiskinan akan terus berlanjut," demikian Bank Dunia dalam East Asia Pacifik Economic Update yang dirilis Kamis (13/4/2015).
Dengan pertumbuhan ekonomi masih di bawah 6 persen, inflasi makanan melebihi inflasi utama, dan penduduk miskin masih terus hidup di bawah garis kemiskinan, maka melambatnya tingkat kemiskinan akan terus berlanjut.
references by sinarharapan, rimanews, tempo