Baca Artikel Lainnya
Tak jarang kita mendengar seseorang sangat care dengan teman
kantor atau baik pergaulannya dengan sahabatnya, akan tetapi ia bisa
saja jelek pergaulan bahkan kejam dengan istrinya. Perlu diketahui bahwa
bagaimana akhlak laki-laki dengan istrinya itu adalah akhlaknya
sebenarnya. Jadi jika ingin mencari testimoni akhlak seseorang tanyalah
kepada istrinya. Kemudian cara lainnya yaitu dengan mengajaknya bersafar
atau bertanya kepada teman yang sering bersafar dengannya.
Akhlak laki-laki sesungguhnya adalah akhlak dengan istri di rumahnya
Akhlak dirumah dan keluarga menjadi barometer karena seseorang bergaul lebih banyak di rumahnya, bisa jadi orang lain melihat bagus akhlaknya karena hanya bergaul sebentar. Khusus bagi suami yang punya “kekuasaan” atas istri dalam rumah tangga, terkadang ia bisa berbuat semena-mena dengan istri dan keluarganya karena punya kemampuan untuk melampiaskan akhlak jeleknya dan hal ini jarang diketahui oleh orang banyak. Sebaliknya jika di luar rumah mungkin ia tidak punya tidak punya kemampuan melampiaskan akhlak jeleknya baik karena statusnya yang rendah (misalnya ia hanya jadi karyawan rendahan) atau takut dikomentari oleh orang lain.
Wanita adalah mahkluk yang lemah di hadapan laki-laki, jika seseorang bisa mengusai dirinya dalam bermuamalah dengan orang yang lemah maka itu penampakan akhlaknya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh Al-Mubarakfuriy,
Hal ini sesuai dengan bimbingan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan hadits,
Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini, engkau melihat seorang pria jika bertemu dengan istrinya maka ia adalah orang yang terburuk akhlaknya, paling pelit, dan yang paling sedikit kebaikannya. Namun jika ia bertemu dengan orang lain, maka ia akan bersikap lemah lembut, berakhlak mulia, hilang rasa pelitnya, dan banyak kebaikan yang dilakukannya. Tidak diragukan lagi barangsiapa yang demikian kondisinya maka ia telah terhalang dari taufik (petunjuk) Allah dan telah menyimpang dari jalan yang lurus. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”[4]
Bagaimana kalau ia belum punya istri?
Ajaklah ia bersafar/berpergian atau tanyalah kepada teman yang pernah bersafar denganya. Ini juga salah satu cara agar mengetahui hakikat akhlak seseorang.
Syaikh Muhammad bin shalih Al-Ustaimin berkata,
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
Dalam suatu riwayat mengenai Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu,
Sahabat sejati adalah sahabat di saat kesulitan dan kesusahan
Salah satu tolak ukurnya dengan safar karena safar identik dengan kesulitan dan kesusahan. Disaat senang dan tenang semua bisa jadi teman akan tetapi di saat sulit dan susah tidak semua bisa jadi teman yang baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
Seseorang belum dikatakan mengenal saudaranya apabila ia belum melakukan satu di antara tiga hal berikut: bepergian bersamanya (safar) dalam waktu cukup lama, menginap di rumahnya, atau melakukan muamalah (transaksi hutang-piutang/ jual beli/ bisnis) dengannya.- [Umar bin Khattab]
references by muslimafiyah.com,
Follow @A_BlogWeb
Akhlak dirumah dan keluarga menjadi barometer karena seseorang bergaul lebih banyak di rumahnya, bisa jadi orang lain melihat bagus akhlaknya karena hanya bergaul sebentar. Khusus bagi suami yang punya “kekuasaan” atas istri dalam rumah tangga, terkadang ia bisa berbuat semena-mena dengan istri dan keluarganya karena punya kemampuan untuk melampiaskan akhlak jeleknya dan hal ini jarang diketahui oleh orang banyak. Sebaliknya jika di luar rumah mungkin ia tidak punya tidak punya kemampuan melampiaskan akhlak jeleknya baik karena statusnya yang rendah (misalnya ia hanya jadi karyawan rendahan) atau takut dikomentari oleh orang lain.
Wanita adalah mahkluk yang lemah di hadapan laki-laki, jika seseorang bisa mengusai dirinya dalam bermuamalah dengan orang yang lemah maka itu penampakan akhlaknya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh Al-Mubarakfuriy,
لأن كمال الإيمان يوجب حسن الخلق والإحسان إلى كافة الانسان (وخياركم خياركم لنسائه) لأنهن محل الرحمة لضعفهن
“Karena kesempurnaan iman akan mengantarkan kepada kebaikan
akhlak dan berbuat baik kepada seluruh manusia. Dan sebaik-baik kalian
adalah yang paling baik kepada istrinya, karena mereka para wanita
adalah tempat meletakkan kasih sayang disebabkan kelemahan mereka.”[1]Hal ini sesuai dengan bimbingan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah
orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik
kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya”[2]
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya.
Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan
keluargaku.”[3] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan hadits,
في
ذلك تنبيه على أعلى الناس رتبة في الخير وأحقهم بالاتصاف به هو من كان خير
الناس لأهله، فإن الأهل هم الأحقاء بالبشر وحسن الخلق والإحسان وجلب النفع
ودفع الضر، فإذا كان الرجل كذلك فهو خير الناس وإن كان على العكس من ذلك
فهو في الجانب الآخر من الشر، وكثيرا ما يقع الناس في هذه الورطة، فترى
الرجل إذا لقي أهله كان أسوأ الناس أخلاقا وأشجعهم نفسا وأقلهم خيرا، وإذا
لقي غير الأهل من الأجانب لانت عريكته وانبسطت أخلاقه وجادت نفسه وكثر
خيره، ولا شك أن من كان كذلك فهو محروم التوفيق زائغ عن سواء الطريق، نسأل
الله السلامة
“Pada hadits ini terdapat peringatan bahwa orang yang
pailng tinggi kebaikannya tertinggi dan yang paling berhak untuk
disifati dengan kebaikan adalah orang yang terbaik bagi istrinya.
Karena istri adalah orang yang berhak untuk mendapatkan perlakuan
mulia, akhlak yang baik, perbuatan baik, pemberian manfaat dan penolakan
mudharat. Jika seorang lelaki bersikap demikian maka dia
adalah orang yang terbaik, namun jika keadaannya adalah sebaliknya maka
dia telah berada di sisi yang lain yaitu sisi keburukan.Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini, engkau melihat seorang pria jika bertemu dengan istrinya maka ia adalah orang yang terburuk akhlaknya, paling pelit, dan yang paling sedikit kebaikannya. Namun jika ia bertemu dengan orang lain, maka ia akan bersikap lemah lembut, berakhlak mulia, hilang rasa pelitnya, dan banyak kebaikan yang dilakukannya. Tidak diragukan lagi barangsiapa yang demikian kondisinya maka ia telah terhalang dari taufik (petunjuk) Allah dan telah menyimpang dari jalan yang lurus. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”[4]
Bagaimana kalau ia belum punya istri?
Ajaklah ia bersafar/berpergian atau tanyalah kepada teman yang pernah bersafar denganya. Ini juga salah satu cara agar mengetahui hakikat akhlak seseorang.
Syaikh Muhammad bin shalih Al-Ustaimin berkata,
وسمي
سفرا لأنه من الإسفار وهو الخروج والظهور كما يقال أسفر الصبح إذا ظهر
وبان وقيل في المعنى سمي السفر سفرا لأنه يسفر عن أخلاق الرجال يعني يبين
ويوضح أحوالهم فكم من إنسان لا تعرفه ولا تعرف سيرته إلا إذا سافرت معه
وعندئذ تعرف أخلاقه وسيرته وإيثاره
“Diistilahkan safran [سَفْرًا l] karena diambil dari makna al-isfar [الْإِسْفَارُ ] yaitu: keluar dan terang, nyata. sebagaimana dikatakandalam ungkapan [أَسْفَرَ الصُّبْحُ] yaitu bersinar atau bercahaya. Secara makna disebut as-safaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang.” Maksudnya,
menjadikan jelas dan nyata keadaannya. Berapa banyak orang yang belum
terkuak jati dirinya, bisa terungkap setelah melakukan safar/bepergian bersamanya. Ketika dalam safar itulah engkau mengetahui akhlak, perangai dan wataknya.”[5]Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
وإنما
سمى السفر سفراً، أنه يسفر عن الأخلاق . وفى الجملة فالنفس فى الوطن لا
تظهر خبائث أخلاقهم لاستئناسها بما يوافق طبعها من المألوفات المعهودة،
فإذا حملت وعثاء السفر، وصرفت عن مألوفاتها المعتادة، ولامتحنت بمشاق
الغربة، انكشفت غوائلها، ووقع الوقوف على عيوبها
“Disebut as-safaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang. Pada
umumnya, seseorang yang tinggal di daerah asalnya tidak menampakkan
kejelekan akhlaknya karena ia terbiasa dengan apa yang seseuai dengan
tabiatnya yang biasa ia hadapi. Jika ia melakukan safar, maka tidak
tidak biasa lagi dengan keadaan dan kebiasaannya. Ia akan diuji dengan
kesusahan safar yang berat dan tersingkaplah kejelekan dan diketahui
aib-aibnya.”[6]Dalam suatu riwayat mengenai Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu,
كان عمر رضي الله عنه إذا زكى رجل شخصا عنده قال له هل سافرت معه هل عاملته إن قال نعم قبل ذلك وإن قال لا فقال لا علم لك به
“Umar bin Al-Khatthab radhiallahu ‘anhu ada seseorang yang merekomendasikan temannya, beliau bertanya, “Apakah engkau pernah melakukan safar bersamanya? Apakah
engkau telah bergaul dengannya?” jika jawabannya “Ya.” maka Umar pun
menerimanya. Jika jawabannya “Belum pernah”, maka Umar akan mengatakan,
“Engkau belum mengetahui hakikat senyatanya tentang orang itu.”[7] Sahabat sejati adalah sahabat di saat kesulitan dan kesusahan
Salah satu tolak ukurnya dengan safar karena safar identik dengan kesulitan dan kesusahan. Disaat senang dan tenang semua bisa jadi teman akan tetapi di saat sulit dan susah tidak semua bisa jadi teman yang baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السَّفَرُ
قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
وَنَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ مِنْ سَفَرِهِ
فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Bepergian itu bagian dari azab. Seseorang akan
terhalang (terganggu) makan, minum, dan tidurnya. Maka, bila seseorang
telah menunaikan maksud safarnya, hendaklah ia menyegerakan diri kembali
kepada keluarganya.”[8]Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
ومن
كان في السفر آذى هو مظنة الضجر حِسنَ الخلق، كان في الحضر أحسن خلقاً
.وقد قيل : إذا أثنى على الرجل معاملوه بى الحضر ورفقاؤه في السفر فلا
تشكوا في صلاحه .
“Barangsiapa yang ketika bersafar mengalami kesusahan dan
keletihan ia tetap berakhlak yang baik, maka ketika tidak bersafar ia
akan beraklak lebh baik lagi. Sehingga dikatakan, jika seseorang dipuji
muamalahnya ketika tidak bersafar dan dipuji muamalahnya oleh para teman
safarnya,maka janganlah engkau meragukan kebaikannya.”[9]Seseorang belum dikatakan mengenal saudaranya apabila ia belum melakukan satu di antara tiga hal berikut: bepergian bersamanya (safar) dalam waktu cukup lama, menginap di rumahnya, atau melakukan muamalah (transaksi hutang-piutang/ jual beli/ bisnis) dengannya.- [Umar bin Khattab]
[1] Tuhfatul Ahwazi 4/273, Darul Kutub Al-‘ilmiyah, Beirut, Syamilah
[2] . HR At-Thirmidzi no 1162,Ibnu Majah no 1987 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 284
[3] HR At-Thirmidzi no 3895,Ibnu Majah no 1977, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 285
[4] Nailul Authar 6/245-256, Darul hadits, Mesir, cet. I, 1413 H, Syamilah
[5] Syarh riyadhus shalilhin 3/77, Darul Atsar, Koiro, cet. I
[6] Mukhtashar Minhajul Qashidin 2/57, Syamilah
[7] Syarh riyadhus shalilhin 3/77, Darul Atsar, Koiro, cet. I
[8] Shahih Al-Bukhari no. 1804 dan Shahih Muslim no. 179
[9] Mukhtashar Minhajul Qashidin 1/39, Syamilah