Baca Artikel Lainnya
Memiliki banyak gedung
pencakar langit yang kokoh dan modern, sejumlah kota besar di pesisir
menyimpan potensi bencana yang mengerikan. Sewaktu-waktu mereka semua
bisa tenggelam.
Kesimpulan itu didasarkan pada hasil penelitian yang mereka terbitkan awal April lalu. Peneliti Deltares menyatakan, tanah di kota-kota pesisir dunia turun 10 kali lebih cepat dari kenaikan air laut akibat pemanasan global. Salah satu kota yang menjadi perhatian penelitian ini adalah Jakarta, ibu kota negara kita.
"Penurunan tanah dan naiknya ketinggian air laut ini terjadi bersamaan. Dan, keduanya menyebabkan masalah yang sama, banjir yang makin luas, dalam, dan lama surut," kata pemimpin peneliti Deltares Research Institute, Gilles Erkens, seperti dikutip dari laman Independent, 29 April 2014.
Saat ini, Jakarta memang memiliki tanggul sepanjang 30 kilometer (km) untuk melindungi kota dari banjir. Namun, jika tanggul ini jebol, Deltares memperkirakan sekitar sejuta orang akan kebanjiran dalam waktu 48 jam.
Apa penyebab penurunan tanah itu? Ada yang paling utama. Pertama adalah penyedotan air tanah besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan warga dan industri. Kedua, pembangunan gedung pencakar langit yang terus terjadi.
Untuk itu, Erkens pun menilai, kota-kota pesisir--termasuk Jakarta--harus menghentikan penyedotan air tanah. Sekarang juga. "Tapi tentu saja, harus ada sumber air minum lain untuk kota-kota ini," kata dia.
"Sebetulnya, ketinggian tanah di beberapa daerah Jakarta memang sudah lebih rendah dari permukaan air laut," kata dia. Oleh karena itu, Pemerintah sudah membangun tanggul-tanggul di sekitar utara Jakarta untuk mencegah air laut pasang sebagai salah satu solusi.
Selain itu, Pemerintah Jakarta juga memompa sungai-sungai di bagian utara karena sudah tidak mampu menampung air laut. "Contohnya di Ancol dan jalan menuju bandara Soekarno-Hatta," kata dia.
Beberapa tahun lalu, kata dia, jalan menuju bandara tampak lebih tinggi dibanding genangan air. "Sekarang sudah sama ketinggiannya. Makanya sering banjir," jelas Said.
Senada dengan peneliti Deltares, Said pun menilai konsumsi air tanah dan pembangunan gedung pencakar langit menjadi salah satu penyebab turunnya tanah di Jakarta. Dia mengaitkannya dengan kondisi geologi Jakarta yang semula adalah rawa.
"Sebetulnya, penurunan tanah itu adalah proses kompaksi tanah," kata dia mulai menjelaskan. Pembangunan gedung-gedung, mau tak mau, membebani tanah rawa yang semula berongga sehingga makin padat.
Demikian juga penyedotan air tanah. Rongga-rongga yang semula diisi air, kemudian kosong sehingga terus memadat. "Proses kompaksi ini akan terjadi terus, terutama di wilayah gedung-gedung yang memakai air tanah," kata dia.
Dia menilai, langkah paling konkret untuk memperlambat penurunan tanah itu adalah penggunaan teknologi. Pembangunan tanggul-tanggul yang saat ini dikerjakan Pemerintah adalah salah satu upaya berbasis teknologi untuk mencegah dampak buruk penurunan tanah.
"Hanya saja, tanggulnya mau dibikin seperti apa? Bisa saja dibuat dengan teknologi tinggi seperti di Belanda. Tapi, kan biayanya mahal. Ada tidak uangnya?" kata dia. Dia mengakui, tanggul-tanggul yang dibangun di pesisir Jakarta kalah jauh dengan Belanda karena anggaran terbatas. Dia mengakui, Pemerintah memang harus memikirkan solusi komprehensif untuk masalah penurunan tanah ini.
references by viva
Follow @A_BlogWeb
Kekhawatiran itu sudah
dilontarkan berkali-kali oleh para pakar di masa yang berbeda. Terakhir,
peringatan itu disampaikan para peneliti dari Deltares Research
Institute, Belanda.
Kesimpulan itu didasarkan pada hasil penelitian yang mereka terbitkan awal April lalu. Peneliti Deltares menyatakan, tanah di kota-kota pesisir dunia turun 10 kali lebih cepat dari kenaikan air laut akibat pemanasan global. Salah satu kota yang menjadi perhatian penelitian ini adalah Jakarta, ibu kota negara kita.
"Penurunan tanah dan naiknya ketinggian air laut ini terjadi bersamaan. Dan, keduanya menyebabkan masalah yang sama, banjir yang makin luas, dalam, dan lama surut," kata pemimpin peneliti Deltares Research Institute, Gilles Erkens, seperti dikutip dari laman Independent, 29 April 2014.
Saat ini, Jakarta memang memiliki tanggul sepanjang 30 kilometer (km) untuk melindungi kota dari banjir. Namun, jika tanggul ini jebol, Deltares memperkirakan sekitar sejuta orang akan kebanjiran dalam waktu 48 jam.
Apa penyebab penurunan tanah itu? Ada yang paling utama. Pertama adalah penyedotan air tanah besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan warga dan industri. Kedua, pembangunan gedung pencakar langit yang terus terjadi.
Untuk itu, Erkens pun menilai, kota-kota pesisir--termasuk Jakarta--harus menghentikan penyedotan air tanah. Sekarang juga. "Tapi tentu saja, harus ada sumber air minum lain untuk kota-kota ini," kata dia.
Selain Jakarta, para
peneliti Deltares juga memperingatkan kota-kota di pesisir lainnya,
seperti Ho Chi Minh, Bangkok, dan Dhaka.
Kota-kota pesisir dunia
itu, imbuhnya, bisa belajar dari dua kota pesisir yang mampu mengatasi
musibah tanah turun, yakni Tokyo dan Venesia. Tanah di Tokyo pernah
turun sampai dua meter sebelum akhirnya pengelola kota itu membatasi
penggunaan air tanah.
"Demikian pula dengan Venice," katanya. Venesia yang terkenal dengan Kota Air-nya, mengalami penurunan yang signifikan karena ekstraksi air dari bawah tanahnya.
Menurut peneliti dari University of Padova, Pietro Teatini, permasalahan yang dihadapi kota pesisir ini tergantung dari lokasi dan cara penanganan. “Seberapa dalam penurunannya itu tergantung dari padat tidaknya tanah di bawah bangunan tersebut,” kata Pietro Teatini, seperti dikutip dari dari laman BBC.
Bukan Fenomena Baru
Peneliti utama di Pusat Kajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Nusa Idaman Said, tak kaget dengan hasil penelitian Deltares Research Institute tersebut.
"Demikian pula dengan Venice," katanya. Venesia yang terkenal dengan Kota Air-nya, mengalami penurunan yang signifikan karena ekstraksi air dari bawah tanahnya.
Menurut peneliti dari University of Padova, Pietro Teatini, permasalahan yang dihadapi kota pesisir ini tergantung dari lokasi dan cara penanganan. “Seberapa dalam penurunannya itu tergantung dari padat tidaknya tanah di bawah bangunan tersebut,” kata Pietro Teatini, seperti dikutip dari dari laman BBC.
Bukan Fenomena Baru
Peneliti utama di Pusat Kajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Nusa Idaman Said, tak kaget dengan hasil penelitian Deltares Research Institute tersebut.
"Itu sih bukan fenomena yang baru," kata dia dalam perbincangan dengan VIVAnews,
1 Mei 2014. Menurutnya, sudah sejak lama Jakarta memang menghadapi
masalah ini. Solusi demi solusi bukannya tak diambil pemerintah.
"Sebetulnya, ketinggian tanah di beberapa daerah Jakarta memang sudah lebih rendah dari permukaan air laut," kata dia. Oleh karena itu, Pemerintah sudah membangun tanggul-tanggul di sekitar utara Jakarta untuk mencegah air laut pasang sebagai salah satu solusi.
Selain itu, Pemerintah Jakarta juga memompa sungai-sungai di bagian utara karena sudah tidak mampu menampung air laut. "Contohnya di Ancol dan jalan menuju bandara Soekarno-Hatta," kata dia.
Beberapa tahun lalu, kata dia, jalan menuju bandara tampak lebih tinggi dibanding genangan air. "Sekarang sudah sama ketinggiannya. Makanya sering banjir," jelas Said.
Senada dengan peneliti Deltares, Said pun menilai konsumsi air tanah dan pembangunan gedung pencakar langit menjadi salah satu penyebab turunnya tanah di Jakarta. Dia mengaitkannya dengan kondisi geologi Jakarta yang semula adalah rawa.
"Sebetulnya, penurunan tanah itu adalah proses kompaksi tanah," kata dia mulai menjelaskan. Pembangunan gedung-gedung, mau tak mau, membebani tanah rawa yang semula berongga sehingga makin padat.
Demikian juga penyedotan air tanah. Rongga-rongga yang semula diisi air, kemudian kosong sehingga terus memadat. "Proses kompaksi ini akan terjadi terus, terutama di wilayah gedung-gedung yang memakai air tanah," kata dia.
Dia menilai, langkah paling konkret untuk memperlambat penurunan tanah itu adalah penggunaan teknologi. Pembangunan tanggul-tanggul yang saat ini dikerjakan Pemerintah adalah salah satu upaya berbasis teknologi untuk mencegah dampak buruk penurunan tanah.
"Hanya saja, tanggulnya mau dibikin seperti apa? Bisa saja dibuat dengan teknologi tinggi seperti di Belanda. Tapi, kan biayanya mahal. Ada tidak uangnya?" kata dia. Dia mengakui, tanggul-tanggul yang dibangun di pesisir Jakarta kalah jauh dengan Belanda karena anggaran terbatas. Dia mengakui, Pemerintah memang harus memikirkan solusi komprehensif untuk masalah penurunan tanah ini.
Catatan VIVAnews, para ahli yang tergabung dalam konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) pernah melansir prediksi mereka bahwa Jakarta akan benar-benar tenggelam pada 2025 jika penggunaan air tanah tidak segera dihentikan.
Menurut data, dalam kurun 1974-2010, wilayah Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara turun hingga hingga 4,1 meter. Sementara wilayah lainnya seperti di Cengkareng Barat mengalami penurunan 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Ancol 1,88 meter (titik pantau di area wisata Ancol), Cempaka Mas 1,5 meter, Cikini 0,80 meter dan Cibubur 0,25 meter.
Selama kurun waktu 1974-1982, land subsidence belum terjadi begitu signifikan seperti saat ini, karena ketika itu penggunaan air tanah tidak setinggi sekarang dan bangunan juga masih relatif sedikit. Pada 1982-1991, tanah Jakarta mulai mengalami penurunan, dan pada 1991-2010 kondisi itu makin meluas dan memburuk.
Setali tiga uang, penelitian tim dari Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2010 pun menyimpulkan hal yang sama bahwa tanah Jakarta mengalami penurunan. Tim ini meneliti tanah Jakarta dalam rentang waktu 10 tahun, sejak 1997 hingga 2007.
Menurut data, dalam kurun 1974-2010, wilayah Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara turun hingga hingga 4,1 meter. Sementara wilayah lainnya seperti di Cengkareng Barat mengalami penurunan 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Ancol 1,88 meter (titik pantau di area wisata Ancol), Cempaka Mas 1,5 meter, Cikini 0,80 meter dan Cibubur 0,25 meter.
Selama kurun waktu 1974-1982, land subsidence belum terjadi begitu signifikan seperti saat ini, karena ketika itu penggunaan air tanah tidak setinggi sekarang dan bangunan juga masih relatif sedikit. Pada 1982-1991, tanah Jakarta mulai mengalami penurunan, dan pada 1991-2010 kondisi itu makin meluas dan memburuk.
Setali tiga uang, penelitian tim dari Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2010 pun menyimpulkan hal yang sama bahwa tanah Jakarta mengalami penurunan. Tim ini meneliti tanah Jakarta dalam rentang waktu 10 tahun, sejak 1997 hingga 2007.
Dari penelitian mereka
disimpulkan, penurunan permukaan tanah bervariasi 2 sentimeter hingga
lebih dari 12 cm selama kurun waktu tersebut.
Penurunan permukaan tanah di sejumlah wilayah ini berdampak pada badan jalan dan saluran drainase. Badan jalan ikut turun dan saluran drainase retak-retak dan rusak.
Data Dinas Pengembangan
DKI Jakarta bahkan lebih mengerikan. Pada periode tahun 1982 hingga 1997
terjadi amblesan tanah di kawasan pusat Jakarta yang mencapai 60 cm
hingga 80 cm. Karena merata, amblesan ini menjadi tidak terasa. Bila
penurunan ini terus berlanjut, "tenggelamnya" Jakarta tinggal tunggu
waktu.Penurunan permukaan tanah di sejumlah wilayah ini berdampak pada badan jalan dan saluran drainase. Badan jalan ikut turun dan saluran drainase retak-retak dan rusak.
AKANKAH BENAR-BENAR TERJADI?
KITA TUNGGU SAJA..
KITA TUNGGU SAJA..
references by viva