Baca Artikel Lainnya
UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) perubahan mulai berlaku efektif sejak hari ini. Secara umum, tidak ada yang terlalu signifikan dalam UU tersebut.
Ada beberapa perubahan di UU ITE yang baru yaitu sebagai berikut:
1. Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:
a. Menambahkan penjelasan atas istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik".
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
2. Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
b. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.
4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
a. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
b. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1x24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):
a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi;
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.
6. Menambahkan ketentuan mengenai "right to be forgotten" atau "hak untuk dilupakan" pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:
a. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
b. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.
7. Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;
b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
seluruh konten informasi elektronik masih bisa dijadikan delik dalam UU tersebut. Bedanya, bila dulu adalah delik umum, maka kini menjadi delik aduan. Hal-hal yang dilarang yaitu:
1. Konten melanggar kesusilaan, ancaman tetap yaitu maksimal 6 tahun penjara.
2. Konten perjudian, ancaman tetap yaitu maksimal 6 tahun penjara.
3. Konten yang memuat penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Bila dulu diancam maksimal 6 tahun penjara, kini menjadi 4 tahun penjara.
4. Konten pemerasan atau pengancaman, ancaman tetap yaitu maksimal 4 tahun penjara.
5. Konten yang merugikan konsumen, ancaman tetap yaitu maksimal 6 tahun penjara.
6. Konten yang menyebabkan permusuhan isu SARA, ancaman tetap yaitu maksimal 6 tahun penjara.
Nah, lalu bagaimana soal medium sarana elektronik? Tidak ada yang berubah. Semua sarana elektronik bisa dijadikan objek UU ITE, dari SMS, media sosial, e-mail, hingga mailing-list.
Contoh kasus SMS yang berisi penghinaan terjadi di Desa Bara, Kecamatan Woja, Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), yakni kala Siti Mardiah (45) mengirimkan SMS kepada Emi Hidayanti pada 2014. Siti mengirim SMS yang berisi penghinaan dan mengata-ngatai Emi sebagai pelacur.
Kasus ini naik ke pengadilan dan Siti dihukum pidana percobaan.
"Menjatuhkan pidana penjara selama 1 bulan. Pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain bahwa terpidana sebelum lewat masa percobaan selama 2 bulan melakukan perbuatan yang dapat dipidana," ucap ketua majelis Djuyamto dengan anggota M Nur Salam dan Ni Putu Asih Yudiastri.
Masih soal SMS, Saiful dipenjara 5 bulan karena dia mengirimkan SMS berisi perkataan cabul, jorok, dan porno kepada Adelian Ayu Septiana. Adel pun melaporkan hal ini ke polisi. Kasus bergulir hingga ke Mahkamah Agung.
Majelis kasasi yang diketuai Djoko Sarwoko dengan hakim anggota Komariah Emong Sapardjaja dan Surya Jaya menjatuhkan hukuman 5 bulan kepada Saiful. Kasus ini menjadi kasus pertama yang masuk MA terkait SMS cabul yang dipidana.
Kasus UU ITE via mailing-list dan e-mail yang paling heboh adalah kasus Prita Mulyasari. Prita mengeluhkan layanan sebuah rumah sakit dalam bentuk e-mail. Pihak RS lalu mempolisikan Prita dan jaksa menuntut Prita selama 6 bulan penjara. Pada 29 Desember 2009, majelis hakim PN Tangerang memutus bebas Prita Mulyasari. Alasan utama membebaskan Prita adalah unsur dakwaan pencemaran nama baik tidak terbukti.
Siapa nyana, MA membalikkan semuanya. MA mengabulkan kasasi jaksa dan menyatakan Prita Mulyasari bersalah dalam kasus pencemaran nama baik RS Omni Alam Sutera, Tangerang. Prita divonis 6 bulan, tapi dengan masa percobaan selama 1 tahun. Kasus ini lalu dimintakan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) dan dikabulkan. Prita bebas.
Untuk kasus SARA, masyarakat tentu masih ingat kasus Florence Saulina Sihombing. Mahasiswa S-2 di Yogyakarta itu menuliskan kata negatif dalam akun Path-nya karena kesal dengan antrean beli bensin. Florence nyaris ditahan polisi dan akhirnya diadili.
Pada 31 Maret 2015, PN Yogyakarta menyatakan Florence tidak perlu dihukum 2 bulan penjara asalkan tidak berbuat kejahatan selama 6 bulan ke depan. Selain itu, Florence harus membayar denda Rp 10 juta. Pada 28 Juli 2015, Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta memperbaiki putusan PN Yogyakarta sekedar menghapus pidana dendanya.
Pada tahun lalu, di hadapan 1.000-an netizen yang memenuhi acara "Jokowi Ngobrol Bareng Netizen" di Ballroom Hotel Lumire, Senen, Jakarta Pusat, Kamis 26 Juni 2014, calon presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan sikapnya untuk terus menumbuhkan kebebasan berekspresi, tak terkecuali kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia maya. Jokowi tidak akan melakukan tidakan represif kendati para netizen mengkritiknya secara keras.
Justru segala kritikan dari para pegiat Internet dan aktivis sosial media, menurut Jokowi, akan dijadikannya sebagai masukan penting dalam mengambil kebijakan yang lebih baik. "Silakan kritik, yang paling keras sekali pun saya tidak akan pernah marah," kata Jokowi yang langsung disambut tepuk tangan meriah para netizen.
(http://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/27/jokowi-janji-ke-netizen-tak-akan-berangus-kebebasan-berekspresi)
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=237523
Follow @A_BlogWeb
Ada beberapa perubahan di UU ITE yang baru yaitu sebagai berikut:
1. Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:
a. Menambahkan penjelasan atas istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik".
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
2. Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
b. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.
4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
a. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
b. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1x24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):
a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi;
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.
6. Menambahkan ketentuan mengenai "right to be forgotten" atau "hak untuk dilupakan" pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:
a. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
b. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.
7. Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;
b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
seluruh konten informasi elektronik masih bisa dijadikan delik dalam UU tersebut. Bedanya, bila dulu adalah delik umum, maka kini menjadi delik aduan. Hal-hal yang dilarang yaitu:
1. Konten melanggar kesusilaan, ancaman tetap yaitu maksimal 6 tahun penjara.
2. Konten perjudian, ancaman tetap yaitu maksimal 6 tahun penjara.
3. Konten yang memuat penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Bila dulu diancam maksimal 6 tahun penjara, kini menjadi 4 tahun penjara.
4. Konten pemerasan atau pengancaman, ancaman tetap yaitu maksimal 4 tahun penjara.
5. Konten yang merugikan konsumen, ancaman tetap yaitu maksimal 6 tahun penjara.
6. Konten yang menyebabkan permusuhan isu SARA, ancaman tetap yaitu maksimal 6 tahun penjara.
Nah, lalu bagaimana soal medium sarana elektronik? Tidak ada yang berubah. Semua sarana elektronik bisa dijadikan objek UU ITE, dari SMS, media sosial, e-mail, hingga mailing-list.
Contoh kasus SMS yang berisi penghinaan terjadi di Desa Bara, Kecamatan Woja, Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), yakni kala Siti Mardiah (45) mengirimkan SMS kepada Emi Hidayanti pada 2014. Siti mengirim SMS yang berisi penghinaan dan mengata-ngatai Emi sebagai pelacur.
Kasus ini naik ke pengadilan dan Siti dihukum pidana percobaan.
"Menjatuhkan pidana penjara selama 1 bulan. Pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain bahwa terpidana sebelum lewat masa percobaan selama 2 bulan melakukan perbuatan yang dapat dipidana," ucap ketua majelis Djuyamto dengan anggota M Nur Salam dan Ni Putu Asih Yudiastri.
Masih soal SMS, Saiful dipenjara 5 bulan karena dia mengirimkan SMS berisi perkataan cabul, jorok, dan porno kepada Adelian Ayu Septiana. Adel pun melaporkan hal ini ke polisi. Kasus bergulir hingga ke Mahkamah Agung.
Majelis kasasi yang diketuai Djoko Sarwoko dengan hakim anggota Komariah Emong Sapardjaja dan Surya Jaya menjatuhkan hukuman 5 bulan kepada Saiful. Kasus ini menjadi kasus pertama yang masuk MA terkait SMS cabul yang dipidana.
Kasus UU ITE via mailing-list dan e-mail yang paling heboh adalah kasus Prita Mulyasari. Prita mengeluhkan layanan sebuah rumah sakit dalam bentuk e-mail. Pihak RS lalu mempolisikan Prita dan jaksa menuntut Prita selama 6 bulan penjara. Pada 29 Desember 2009, majelis hakim PN Tangerang memutus bebas Prita Mulyasari. Alasan utama membebaskan Prita adalah unsur dakwaan pencemaran nama baik tidak terbukti.
Siapa nyana, MA membalikkan semuanya. MA mengabulkan kasasi jaksa dan menyatakan Prita Mulyasari bersalah dalam kasus pencemaran nama baik RS Omni Alam Sutera, Tangerang. Prita divonis 6 bulan, tapi dengan masa percobaan selama 1 tahun. Kasus ini lalu dimintakan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) dan dikabulkan. Prita bebas.
Untuk kasus SARA, masyarakat tentu masih ingat kasus Florence Saulina Sihombing. Mahasiswa S-2 di Yogyakarta itu menuliskan kata negatif dalam akun Path-nya karena kesal dengan antrean beli bensin. Florence nyaris ditahan polisi dan akhirnya diadili.
Pada 31 Maret 2015, PN Yogyakarta menyatakan Florence tidak perlu dihukum 2 bulan penjara asalkan tidak berbuat kejahatan selama 6 bulan ke depan. Selain itu, Florence harus membayar denda Rp 10 juta. Pada 28 Juli 2015, Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta memperbaiki putusan PN Yogyakarta sekedar menghapus pidana dendanya.
Pada tahun lalu, di hadapan 1.000-an netizen yang memenuhi acara "Jokowi Ngobrol Bareng Netizen" di Ballroom Hotel Lumire, Senen, Jakarta Pusat, Kamis 26 Juni 2014, calon presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan sikapnya untuk terus menumbuhkan kebebasan berekspresi, tak terkecuali kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia maya. Jokowi tidak akan melakukan tidakan represif kendati para netizen mengkritiknya secara keras.
Justru segala kritikan dari para pegiat Internet dan aktivis sosial media, menurut Jokowi, akan dijadikannya sebagai masukan penting dalam mengambil kebijakan yang lebih baik. "Silakan kritik, yang paling keras sekali pun saya tidak akan pernah marah," kata Jokowi yang langsung disambut tepuk tangan meriah para netizen.
(http://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/27/jokowi-janji-ke-netizen-tak-akan-berangus-kebebasan-berekspresi)
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=237523