Baca Artikel Lainnya
Jika ditinjau dari sisi Provinsi, Banten menjadi daerah dengan angka pengangguran tertinggi. Tingkat pengangguran di Banten mencapai 8,52%. Sementara Bali, menjadi daerah dengan angka pengangguran terendah, yakni 1,37%. Hal tersebut diungkapkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto di Gedung BPS, Senin (5/11/2018). "TPT [Tingkat Pengangguran Terbuka] tertinggi di Banten, 8,52%, sementara terendah di Bali 1,37%", ujar Suhariyanto.
Menurut data Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) ditinjau dari provinsi pada Bulan Agustus 2018, yang dirilis oleh BPS, selain Banten, terdapat 9 provinsi lainnya yang termasuk 10 besar dengan angka pengangguran tertinggi.
Berikut daftar 10 provinsi dengan angka pengangguran 2018 terbanyak:
- 1. Banten (8,52%)
- 2. Jawa Barat (8,17%)
- 3. Maluku (7,27%)
- 4. Kepulauan Riau (7,12%)
- 5. Sulawesi Utara (6,86%)
- 6. Kalimantan Timur (6,60%)
- 7. Aceh (6,36%)
- 8. Papua Barat (6,30%)
- 9. DKI Jakarta (6,24%)
- 10. Riau (6,20%).
Jika dilihat, sebagai ibukota negara, DKI Jakarta menduduki posisi ke-9 dari 10 provinsi dengan angka pengangguran tertinggi. Namun, menurut data TPT BPS ini, jika dibandingkan dengan Agustus tahun lalu, DKI Jakarta justru menunjukkan penurunan angka tingkat pengangguran tertinggi, yakni 0,9%.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah pengangguran di Indonesia per Agustus 2018 mencapai 7 juta orang. Pengangguran paling banyak merupakan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Prosentasenya mencapai 11,24 persen. Angka ini naik dari data yang dihimpun BPS pada Februari 2018, sebesar 8,92 persen.
Menyikapi hal tersebut, Kemendikbud akan bertindak. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen), Hamid Muhammad, menyampaikan tahun depan target siswa dan sekolah yang mendapatkan dukungan program SMK Pencetak Wirausaha akan ditambah.
Jika tahun ini sekitar dua ribu SMK, tahun depan diharapkan dapat meningkat dua kali lipat. Sekolah ditantang mengirimkan proposal dukungan, bukan lagi ditunjuk oleh pusat.
“Kriteria utamanya adalah orisinal, unik, dan usefulness atau kegunaan,” ujarnya melansir dari kemdikbud.go.id.
Program ini, juga merupakan salah satu upaya Kemendikbud menjawab kritik dan pandangan negatif mengenai lulusan SMK yang menjadi pengangguran. Pengembangan minat kewirausahaan untuk siswa SMK ini melatih siswa membuka atau menciptakan lapangan pekerjaan.
“Kita ingin menjawab, bahwa SMK ini bukan menciptakan pengangguran, tetapi menciptakan lapangan pekerjaan,” kata Hamid.
Menurutnya kesesuaian antara bidang keahlian yang dipelajari di sekolah dengan usaha yang dijalankan tidak menjadi persoalan. “Ukurannya itu omzet. Pokoknya omzetnya sudah bisa lima juta ke atas. Kita apresiasi. Ini ‘kan baru tahap awal, kita tetapkan lima juta. Tapi sudah ada yang omzetnya mencapai lima puluh sampai seratusan juta. Itu ‘kan luar biasa untuk seusia mereka,” katanya.
Pengembangan pembelajaran kewirausahaan di dalam kurikulum SMK telah diakomodir ke dalam mata pelajaran kompetensi keahlian dan penambahan jam pelajaran yang signifikan. Program “Sekolah Pencetak Wirausaha” merupakan kerja sama Direktorat Pembinaan SMK dengan The Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO).
Di sisi lain, Mendikbud Muhadjir Effendy menyerahkan hadiah berupa beasiswa modal wirausaha sebesar Rp 1 juta kepada 17 siswa perwakilan dari sekolah peserta SMK Pencetak Wirausaha.
M. Fajrul Falah, siswa kelas XII SMK Negeri 1 Pekalongan, Jawa Tengah mampu meraih omzet sebesar Rp 143 juta dalam 3 bulan. Usaha yang dijalaninya adalah jasa pengelolaan pernikahan (wedding service organizer).
Selain jasa katering, Fajrul juga menyediakan jasa tata rias dan sewa baju pengantin. “Omzet paling banyak dari jasa kateringnya,” kata siswa yang menekuni Tata Boga di SMK tersebut.
Muhadjir mengapresiasi penumbuhan minat kewirausahaan siswa SMK. Mendikbud berharap agar kegiatan “SMK Pencetak Wirausaha” yang dilaksanakan Ditjen Dikdasmen dapat diperkuat dan dikembangkan lagi.
“Pembelajaran kewirausahaan itu bukan sekadar mengajari teori-teori saja. Tetapi harus dicoba, dilakukan, dipraktikkan. Yang penting itu menciptakan iklim yang mendukung tumbuhnya jiwa kewirausahaan,” tandasnya.
Menurut Muhadjir, modal utama seorang wirausahawan adalah keberanian mengambil risiko, cermat melihat dan menangkap peluang, serta kemampuan menghadirkan sesuatu yang berbeda. “Kalau berhasil, tidak mudah puas. Dan kalau gagal, tidak kapok,” katanya.
Setelah SMK, Lulusan SMA
Sementara itu melansir dari tirto.id, pengangguran yang mencapai 7 juta orang seperti disebut di atas, angka tersebut setara dengan 5,34 persen dari jumlah angkatan kerja di Indonesia yang tercatat sebesar 131,01 juta orang. Artinya mereka yang bekerja ada sebanyak 124,01 juta orang.
Dari jumlah orang yang bekerja itu, 88,43 juta orang di antaranya merupakan pekerja penuh, 27,37 juta orang tergolong pekerja paruh waktu, dan 8,21 juta orang lagi merupakan setengah pengangguran. “Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) ini adalah indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat penawaran tenaga kerja yang tidak digunakan, atau tidak terserap oleh pasar kerja,” kata Kepala BPS Suhariyanto.
Di samping oleh lulus SMK, pengangguran juga terjadi pada lulusan SMA, dengan persentase sebesar 7,95 persen. “Ada penawaran tenaga kerja yang tidak terserap, terutama pada tingkat pendidikan SMK dan SMA,” ucap Suhariyanto.
Sementara itu, masih menurut BPS, mereka yang berpendidikan di bawah SMK dan SMA lebih mau menerima pekerjaan apa saja. Analisis tersebut bisa dilihat dari jumlah pengangguran lulusan SD yang hanya 2,43 persen, sedangkan untuk lulusan SMP yang menganggur ada sebanyak 4,8 persen.
“Dibandingkan kondisi setahun lalu, peningkatan pengangguran hanya terjadi pada tingkat pendidikan universitas dari 5,18 persen menjadi 5,89 persen secara year-on-year. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka pada tingkat pendidikan lainnya menurun,” jelas Suhariyanto
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mencatat sekitar 8,8% dari total 7 juta pengangguran di Indonesia adalah sarjana. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan mengingat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin ketat dengan datangnya Revolusi Industri 4.0.
Selain bersaingan dengan mesin berbasis teknologi canggih, sekitar 630.000 sarjana pengangguran tersebut juga harus beradu kompetensi dan keahlian tertentu dengan pekerja asing yang datang dari terbukanya pasar bebas. Perguruan tinggi sebagai lembaga pencetak sumber daya manusia yang unggul diharapkan dapat memberi kontribusi besar terhadap upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Menristekdikti Mohamad Nasir mengatakan, Indonesia memiliki banyak potensi yang dapat dijadikan sumber penguatan ekonomi nasional. Membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya yang terus diupayakan pemerintah harus didukung dengan kompetensi lulusan kampus yang berdaya saing global. Keahlian para sarjana harus sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan industri.
Ia menyatakan, Kemenristekdikti terus berupaya mendorong peningkatan daya saing bangsa, seperti merevitalisasi pendidikan tinggi vokasi. Menurut dia, perguruan tinggi berperan strategis dalam mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan berpendidikan tinggi serta berwawasan global. "Perguruan tinggi harus mampu menghasilkan sumberdaya yang mampu bersaing secara global," ujar Nasir di Kantor Kemenristekdikti, Senayan, Jakarta, Senin 26 Maret 2018.
Tantangan baru
Nasir menuturkan, perguruan tinggi dan para mahasiswa harus bisa beradaptasi dengan disrupsi teknologi jika ingin bertahan dalam persaingan. Menurut dia, jumlah sarjana yang lulus setiap tahun tak sebanding dengan serapan tenaga kerja. Lapangan kerja yang terbatas membuat persaingan semakin ketat.
Untuk itu, pemerintah terus berupaya memperluas lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas merupakan agenda utama pemerintah kedepan dalam membuat kebijakan. Kita telah memasuki era revolusi industri 4.0, yaitu era disrupsi teknologi, era berbasis cyber physical system. Ini merupakan tantangan baru yang dihadapi oleh negara-negara di ASEAN untuk mempersiapkan SDM-nya," ucapnya.
Kesulitannya sarjana menembus dunia kerja karena relevansi antara mutu perguruan tinggi dan kebutuhan dunia industri masih rendah. Kemenristekdikti mendata, tahun lalu, jumlah tenaga kerja lulusan perguruan tinggi hanya sebesar 17,5%. Persentase tersebut jauh lebih kecil ketimbang tenaga kerja lulusan SMK/SMA yang mencapai 82%, sedangkan lulusan SD mencapai 60%.
Pemetaan serapan tenaga kerja tersebut hampir tak akan berubah setidaknya dalam kurun 5 tahun ke depan. Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti, Ali Ghufron Mukti, mengatakan bahwa saat ini lulusan perguruan tinggi turut menyumbang pengangguran yang menjadi beban negara. Ia menjelaskan, relevansi lulusan perguruan tinggi terhadap kebutuhan tenaga kerja menjadi faktor penting dalam upaya mencegah sarjana menganggur.
Peningkatan sarana
Rektor Universitas Gunadharma, Margianti, menyatakan bahwa peningkatan sarana teknologi menjadi fondasi dalam meningkatkan daya saing perguruan tinggi. Pasalnya, lapangan perkerjaan dan dunia usaha ke depan akan sangat mengandalkan inovasi yang bergerak sangat cepat dan dinamis.
"Universitas Gunadharma sudah menjadi universitas berbasis teknologi dengan akreditasi A di Kopertis Wilayah III. Kami unggul dalam jumlah sertifikasi dosen terbanyak dan jumlah dosen doktor terbanyak. Saat ini, kami sudah memiliki rumah sakit dan sudah terencana dibangun 18 lantai yang nantinya akan menjadi rumah sakit pendidikan. Kami juga tengah menyiapkan akreditasi internasional untuk program studi teknik," kata Margianti.
references by cnbc, siedoo, pikiran rakyat