Baca Artikel Lainnya
Anggota Dewan Penasehat Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GP
Farmasi) yang juga mantan Ketua GP Farmasi Anthony Charles menegaskan
sejumlah kendala akan dihadapi dalam upaya pemberian sertifikasi halal
produk farmasi. Bukan saja perihal biaya melainkan juga karena tidak ada
industri farmasi yang benar-benar milik Indonesia.
"Bisa dibilang industri farmasi kita ini hanya bagian hilirnya saja, selebihnya bahan baku bahkan beberapa obat murni dikirim dari luar dan hanya di kemas di Indonesia. Maka itu saya bilang kalau di negara-negara Islam timur tengah pun tidak ada obat yang disertifikasi halal," papar Anthony kepada Media Indonesia, Jakarta, Sabtu (7/12).
Pernyataan senada juga disampaikan Dirjen Bina Farmasi dan Alat-alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maura Linda. "Bahkan untuk satu jenis obat bisa jadi untuk di seluruh dunia hanya satu perusahaan farmasi yang memproduksinya. Itu yang kita tidak bisa kontrol halal atau tidaknya, lagipula proses bahan baku menjadi obat tersebut juga tidak sebentar melainkan berdasarkan hasil riset puluhan tahun, jadi tidak bisa asal diganti" tukas Maura.
Karena itulah lanjut Maura Kemenkes bukannya menolak rencana sertifikasi halal makanan dan obat-obatan yang tengah di proses Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Jamina Produk Halal yang tengah berjalan di DPR. "Dari karakteristiknya saja obat-obatan dan makanan sudah berbeda, karena itu mestinya untuk peraturan sertifikasi juga dibedakan," tukas Maura.
Menurut Maura, meski tidak bisa mengontrol kehalalan bahan baku obat-obatan tersebut, namun untuk masuk ke Indonesia Kemenkes sudah menerapkan dan dapat menjamin tiga standar baku yakni mutu, khasiat, dan keamanan. "Kami juga menerapkan aturan labeling untuk setiap produk obat. Setiap bahan-bahan bahkan katalisatornya sekalipun harus tetap dicantumkan agar konsumen tahu bahwa obat-obatan tersebut dari bahan apa sebelum menkonsumsinya," tegas Maura.
Sementara itu, Sekjen MUI Abdul Razak menegaskan tidak ada toleransi baik bagi obat-obatan maupun makanan untuk terstandarisasi dari segi kehalalannya. "Bila tidak halal maka harus dicantumkan asal bahan-bahan bakunya di dalam label dan diberi tahukan pada konsumen bahwa makanan, kosmetik, ataupun obat-obatan tersebut halal atau tidak," tegas Abdul Razak.
Hal tersebut dilakukan MUI lanjut Razak semata-mata sebagai bentuk perlindungan bagi para konsumen di Indonesia yang mayoritas Muslim. "Sekarang kita kembalikan lagi saja pada perintah agama. Bila banyak pihak menentang karena terkendala bahan baku dan macam-macam menurut saya justru peraturan baru sertifikasi halal ini dapat dijadikan triger bagi penelitian obat berbahan baku dan diproduksi secara halal. Bahkan siapa tahu penelitian tersebut justru dilakukan para ilmuwan Indonesia sehingga kita tidak perlu impor bahan baku maupun obat-obatan lagi," tandas Razak
references by metrotv
Follow @A_BlogWeb
"Bisa dibilang industri farmasi kita ini hanya bagian hilirnya saja, selebihnya bahan baku bahkan beberapa obat murni dikirim dari luar dan hanya di kemas di Indonesia. Maka itu saya bilang kalau di negara-negara Islam timur tengah pun tidak ada obat yang disertifikasi halal," papar Anthony kepada Media Indonesia, Jakarta, Sabtu (7/12).
Pernyataan senada juga disampaikan Dirjen Bina Farmasi dan Alat-alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maura Linda. "Bahkan untuk satu jenis obat bisa jadi untuk di seluruh dunia hanya satu perusahaan farmasi yang memproduksinya. Itu yang kita tidak bisa kontrol halal atau tidaknya, lagipula proses bahan baku menjadi obat tersebut juga tidak sebentar melainkan berdasarkan hasil riset puluhan tahun, jadi tidak bisa asal diganti" tukas Maura.
Karena itulah lanjut Maura Kemenkes bukannya menolak rencana sertifikasi halal makanan dan obat-obatan yang tengah di proses Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Jamina Produk Halal yang tengah berjalan di DPR. "Dari karakteristiknya saja obat-obatan dan makanan sudah berbeda, karena itu mestinya untuk peraturan sertifikasi juga dibedakan," tukas Maura.
Menurut Maura, meski tidak bisa mengontrol kehalalan bahan baku obat-obatan tersebut, namun untuk masuk ke Indonesia Kemenkes sudah menerapkan dan dapat menjamin tiga standar baku yakni mutu, khasiat, dan keamanan. "Kami juga menerapkan aturan labeling untuk setiap produk obat. Setiap bahan-bahan bahkan katalisatornya sekalipun harus tetap dicantumkan agar konsumen tahu bahwa obat-obatan tersebut dari bahan apa sebelum menkonsumsinya," tegas Maura.
Sementara itu, Sekjen MUI Abdul Razak menegaskan tidak ada toleransi baik bagi obat-obatan maupun makanan untuk terstandarisasi dari segi kehalalannya. "Bila tidak halal maka harus dicantumkan asal bahan-bahan bakunya di dalam label dan diberi tahukan pada konsumen bahwa makanan, kosmetik, ataupun obat-obatan tersebut halal atau tidak," tegas Abdul Razak.
Hal tersebut dilakukan MUI lanjut Razak semata-mata sebagai bentuk perlindungan bagi para konsumen di Indonesia yang mayoritas Muslim. "Sekarang kita kembalikan lagi saja pada perintah agama. Bila banyak pihak menentang karena terkendala bahan baku dan macam-macam menurut saya justru peraturan baru sertifikasi halal ini dapat dijadikan triger bagi penelitian obat berbahan baku dan diproduksi secara halal. Bahkan siapa tahu penelitian tersebut justru dilakukan para ilmuwan Indonesia sehingga kita tidak perlu impor bahan baku maupun obat-obatan lagi," tandas Razak
references by metrotv