Baca Artikel Lainnya
Kekacauan terjadi pada pelaksanaan salat Idul Fitri 1436 Hijriah di
Kabupaten Tolikara, Papua. Sebuah musala dilempari bebatuan dan dibakar. Warga
setempat jadi ketakutan.
Kronologi peristiwa itu terjadi sekira pukul 07.00
WIT, Jumat 17 Juli. Umat Islam tengah melaksanakan salat Id di halaman
Koramil 1702 / JWY. Saat imam mengucapkan takbir pertama, tiba-tiba
beberapa orang mendekati jemaah dan berteriak-teriak.
Jemaah
bubar dan menyelamatkan diri ke markas Koramil. Sejam kemudian,
orang-orang itu melempari Musala Baitul Mutaqin yang berada di sekitar
lokasi kejadian. Mereka juga membakar rumah ibadah umat muslim tersebut.
Selain musala, enam rumah dan sebelas kios pun menjadi sasaran amukan
orang-orang itu.
Hingga berita ini dimuat, polisi dan TNI berjaga-jaga di sekitar lokasi kejadian. Petugas gabungan mengantisipasi kerusuhan berlanjut. Alasan pengrusakan dan pembakaran tersebut pun belum diketahui. Belum ada pula keterangan resmi dari aparat setempat.
Klarifikasi sumber untuk KEVALIDAN DATA
- Saat Umat Islam di Tolikara Papua menjalankan sholat Idul Fitri pagi hari, tiba-tiba massa melempari jamaah saat Takbir ke-7 lalu masjid dibakar.
- Masjid diserbu dan dibakar orang-orang dari distrik. Yang dibakar adalah Masjid, bukan mushola seperti diberitakan berbagai media.
- Massa yang disebut dari GIDI Papua (Gereja Injil Di Indonesia) menyerbu dan membakar masjid karena hari ini (Idul Fitri) mereka juga punya acara.
- Sehari sebelumnya GIDI sudah layangkan SURAT PERINGATAN agara Umat Islam TIDAK TAKBIRAN DAN DILARANG MENJALANKAN SHOLAT IED.
- GIDI beranggapan umat Muslim dilarang Sholat IED, karena kata mereka hari ini jum'at 17 Juli adalah Harinya Yesus. Ada misionaris Gereja Luar Negeri juga disana untuk adakan acara GIDI hari ini.
- Setelah masjid dibakar, api merembet ke rumah dan kios-kios pasar milik umat Islam. Barang-barang dijarah.
- 10 orang terkena luka bakar.
- Saat ini warga / Umat Islam sekitar disana diungsikan untuk menghindari kejadian yg tidak diinginkan
Wilpret, 36 tahun, seorang warga setempat mengatakan tak lama setelah kejadian pembakaran, Bupati Tolikara Usman Wanimbo bersama Ketua DPRD setempat mengimbau warganya agar menghentikan aksinya dan tak lakukan tindak kekerasan. "Pak Bupati melalui pengeras suara sambil keliling pakai mobil meminta warga menghentikan aksinya," katanya. Sebelumnya Bupati Tolikara, Usman Wanimbo, memberikan jaminan keamanan untuk penyelenggaraan salat Id di Tolikara. Tapi masyarakat sekitar sama sekali tidak mengindahkannya.
Dari laporan data yang didapat, korban pembakaran rumah dan 11 kios ini sedang diungsikan aparat keamanan di depan Koramil 1702/Wms. Mereka sementara ditampung dengan menggunakan tenda darurat. Walau kondisi dan situasi di Karubaga pasca kejadian kembali normal, tapi sebagian warga masih takut keluar rumah..
Tiga orang pelaku penyerangan warga muslim papua yang tengah salat Idul Fitri di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua terluka tembak. Petugas terpaksa melumpuhkan mereka karena tak mengindahkan peringatan petugas. karena sudah sesuai standar SOP pengamanan.
"Para pelaku dalam jumlah besar bikin onar, bikin kacau," kata Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Patridge Renwarin kepada CNN Indonesia, Jumat (17/7).
Petugas kepolisian yang mengamankan jalannya salat Idul Fitri awalnya sudah memberikan pemahaman kepada mereka yang datang dalam jumlah banyak. Petugas meminta massa yang mengancam akan menyerang jemaah yang sedanga melaksanakan salat Idul Fitri agar mengurungkan niatnya.
Namun bukannya menuruti apa yang katakan petugas, massa malah makin beringas. Massa malah membakar beberapa rumah dan kios yang ada dihadapan mereka.
Petugas menurut Patridge sudah memberikan tembakan peringatan ke udara. Tapi tembakan tersebut tak membuat massa menyurutkan langkah kakinya.
"Kami terpaksa melumpuhkan mereka, tiga orang terluka tembak," ujar Patridge.
Mereka yang terluka ini sudah dibawa ke Jayapura untuk mendapatkan perawatan intensif. Satu dari sebelas korban insiden pembakaran musala di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, tewas dalam perjalanan akibat luka tembak. Menurut Presiden Gereja Injil di Indonesia (GIDI) Dorman Wandikbo, sebelas korban itu merupakan anggota GIDI.
"Terluka 10, satu meninggal dalam perjalanan menuju ke Rumah Sakit Blok 2 Kota Jaya Pura," ujarnya kepada merdeka.com, Jumat (17/07).
Dorman berada di lokasi kejadian perkara saat peristiwa itu terjadi. Dia menceritakan, penembakan itu terjadi ketika anggota GIDI mendatangi musala yang hendak melakukan salat. Mereka menanyakan kenapa masih memakai Toa (speaker) dan masih melakukan salat di luar ruangan.
Puluhan orang tadi pagi mengancam akan menyerang warga yang tengah menjalankan salat Idul Fitri. Banyaknya penyerang yang datang membuat warga memilih menyelamatkan diri.
Belum diketahui penyebab penyerangan ini. Petugas menurut Patridge masih melakukan penyelidikan.
Saat ini kondisi di Tolikara dilaporkan kondusif. Petugas kemanan sudah berjaga-jaga mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. (
Demikian INFO sementara.
TO BE CONTINUED...
[UPDATE]
Penyerangan terhadap muslim yang sedang Sholat Ied di Lapangan Koramil 1702-11/Karubaga, Tolikara pada Jumat (17/7/2015) kemarin, ternyata dipimpin dua pendeta Nasrani yakni Pendeta Marthen Jingga dan Pendeta Nayus Wenda.
Informasi yang dihimpun Lensa Indonesia, saat itu muslim sedang khusyuk menjalankan Sholat Ied dipimpin Ustadz Juanedi. Mendadak sekitar 200 jemaat Gidi yang sedang menggelar seminar tak jauh dari lokasi dipimpin Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Korlap) melakukan penyerangan.
Berikut Kronologi Penyerangan brutal tersebut :
1. Pada 11 Juli 2015, muncul surat selebaran yang mengatasnamakan umat Nasrani Jemaat Gidi berisi `Gidi wilayah Tolikara, selalu melarang agama lain dan gereja denominasi lain tidak boleh mendirikan tempat-tempat ibadah lain di Kabupaten Tolikara` dan melarang berlangsungnya kegiatan ibadah Sholat Ied umat muslim di Kabupaten Tolikara yang ditandatangani Pendeta Mathen Jingga S.Th Ma dan Pendeta Nayus Wenda S.Th
2. Pukul 07.00 WIT, Saat umat muslim akan memulai kegiatan Sholat Ied 1436H di Lapangan Koramil 1702 11/Karubaga, Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Korlap) menggunakan megaphone berorasi untuk tidak melaksanakan ibadah Sholat Ied di Tolikara.
3. Pukul 07.05 WIT, Saat memasuki takbir ke-7 Sholat Ied, gerombolan massa dari Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Korlap) mulai berdatangan dan melakukan aksi pelemparan batu dari Bandara Karubaga dan luar lapangan Koramil 1702-11/Karubaga yang meminta secara paksa untuk membubarkan kegiatan Sholat Ied sehingga menimbulkan kepanikan umat muslim yang beribadah.
4. Pukul 07.10 WIT, Gerombolan massa dari Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo mulai melakukan pelemparan batu dan pengrusakan kios-kios yang berada di dekat dengan Masjid Baitul Mutaqin.
5. Pukul 07.20 WIT, Aparat keamanan berusaha membubarkan massa dengan mengeluarkan tembakan peringatan. Namun massa semakin bertambah dan melakukan pelemparan batu untuk melawan.
6. Pukul 07.52 WIT, Massa yang merasa terancam dengan tembakan peringatan dari aparat keamanan melakukan aksi pembakaran kios milik Sarno, dan terus merangsek hendak membakar Masjid Baitul Mutaqin.
7. Pukul 08.30 WIT, Api yang sudah membesar merambat ke bagian-bagian kios dan menjalar ke bagian Masjid Baitul Mutaqin.
8. Pukul 08.53 WIT bangunan kios-kios dan Masjid Baitul Mutaqin terbakar habis.
9. Pukul 09.10 WIT, Massa dari Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Korlap) berkumpul di ujung Bandara Karubaga dan tetap bersiaga.
Kerugian akibat aksi penyerangan:
1. Personel: Masih dalam tahap pemeriksaan.
2. Materil :
a. Masjid Baitul Mutaqin habis terbakar.
b. Kios Klontong milik Sarno habis terbakar.
c. Kios pakaian milik Masara habis terbakar.
d. Kios Pakaian milik Mansyur habis terbakar.
e. Kios Pakaian milik Yusuf habis terbakar.
f. Kios Pakaian milik Darman habis terbakar.
g. Kios Pakaian milik Agil habis terbakar.
h. Kios Pakaian milik Bustam habis terbakar.
i. Kios Pakaian milik Asdar habis terbakar.
j. Kios Pakaian milik Sudir habis terbakar.
k. Kios milik Halil usman habis terbakar.
m. Kios milik Ali muhtar habis terbakar.
n. Kios milik Sudirman habis terbakar.
o. Kios milik Febi habis terbakar.
Hingga berita ini diunggah, ketibutan sudah berhasil diredam setelah anggota gabungan (TNI, Polres Tolikara, Brimob) melaksanakan patroli guna mengantisipasi aksi lanjutan dari gerombolan massa gereja Gidi yang melarang kegiatan ibadah Sholat Ied
Tindakan pembakaran seperti itu, baik dilakukan secara sengaja atau tanpa direncanakan, tidak dapat diterima dan dibenarkan oleh setiap orang yang beriman. "Budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu, apalagi membakar tempat ibadah," katanya.
Menurut dia, ATradisi atau budaya mengajarkan bahwa orang Papua tidak boleh mengganggu tempat-tempat yang dipandang keramat atau sakral atau suci menurut kepercayaan budaya setempat. Tempat-tempat suci dalam budaya adalah tempat-tempat yang, menurut keyakinan orang setempat, dihuni oleh roh-roh.
Apabila mengganggu tempat suci itu, menurut keyakinan orang Papua maka akan ada konsekuensi dalam hidup keluarga dari orang yang mengganggu tempat tersebut. "Konsekuensinya bisa saja para pengganggu jatuh sakit atau salah satu anggota keluarganya meninggal dunia tanpa sakit terlebih dahulu atau terjadi musibah kelaparan," katanya.
Pater mengatakan orang Papua dibina untuk menghormati tempat keramat atau sakral dalam budayanya. Ketika agama-agama besar, seperti Kristen dan Islam masuk ke Tanah Papua, tempat ibadah dari agama-agama ini seperti gereja dan masjid, dipandang sebagai tempat keramat, sakral atau suci. "Oleh karena itu orang Papua, entah apapun agamanya, selama ini tidak pernah mengganggu, apalagi membakar entah gereja, entah masjid. Daun rumput selembar saja tidak pernah diganggu dan dipetik dari halaman gereja atau masjid," katanya.
Kejadian pembakaran mushala di Tolikara, kata dia, merupakan peristiwa pertama kali dalam sejarah Papua di mana sebuah tempat ibadah dibakar. "Orang Papua tidak pernah membakar tempat ibadah selama ini, kecuali yang baru terjadi di Tolikara ini. Maka, sebagai orang Papua, saya memohon maaf atas peristiwa yang melanggar norma adat ini," katanya.
"Kita minta PGI untuk memberikan keterangan dan menyampaikan maaf kepada umat Islam lewat pers," kata Odhita dalam siaran persnya.
Pihaknya mengaku sudah mengambil langkah untuk menyelesaikan kasus yang terjadi saat umat muslim setempat melakukan sholat Idul Fitri, Jumat (17/7/2015).
Ia juga mengaku sudah menghubungi Ketua Sinode Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) untuk menjelaskan surat larangan shalat Ied yang sudah beredar di media massa tersebut.
Dia juga meminta GIDI sebagai pelaku dalam peristiwa itu mengirimkan surat permohonan maaf kepada umat Islam lewat Kemenag.
Selain GIDI, induk organisasinya yaitu Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII) juga diajak ikut serta menyelesaikan kasus itu. PGLII diharapkannya segera mengambil langkah strategis untuk menyikapi peristiwaa Tolikara dan ikut menyampaikan permintaan maaf pada umat Islam.
Seperti dilansir Antara, Sabtu (18/7), permohonan maaf disampaikan para pimpinan dan tokoh agama melalui lima butir pernyataan yang dibacakan oleh pendeta Herman Saud. Kesepakatan itu ditandatangani setidaknya oleh 21 orang. Berikut poin kesepakatan tersebut:
1. Para tokoh agama menyampaikan penyesalan atas insiden tersebut dan jatuhnya seorang korban jiwa serta korban-korban yang terluka.
2. Tokoh agama mendesak pihak berwenang segera menyelesaikan masalah tersebut dengan tuntas dan profesional serta memproses para pelaku sesuai hukum yang berlaku.
3. Mengimbau seluruh masyarakat di Indonesia dan khususnya di Tanah Papua agar tetap tenang menjalankan aktivitas masing masing serta tidak terprovokasi oleh isu yang tidak benar.
4. Tokoh dan pimpinan agama menyerukan bahwa di negara kesatuan RI tidak ada salah satu golongan agama yang bisa mengklaim wilayahnya dan melarang umat beragama lain untuk beribadah sesuai agama dan keyakinannya.
5. Aparat keamanan diharap segera meredakan suasana dengan tindakan yang tegas tetapi tanpa kekerasan serta dapat mengidentifikasi pelaku serta penyebabnya sehingga kerusuhan tersebut tidak meluas dan terulang.
Dalam siaran pers yang terima CNN Indonesia, Dorman menjelaskan bahwa pihaknya hanya mengingatkan umat Islam di Tolikara untuk mematuhi surat pemberitahuan yang telah dilayangkan gereja dua minggu sebelum kegiatan dilangsungkan, yakni tidak menggunakan pengeras suara.
Pasalnya, lokasi Salat Id hanya berjarak sekitar 250 meter dari tempat dilangsungkannya sebuah seminar internasional yang dihadiri oleh pemuda dari Nias, Sumatera Utara, Papua Barat, Kalimantan (Dayak), Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan diperkirakan mencapai dua ribu orang pemuda GIDI.
Informasi tersebut, kata Dorman, telah diberitahukan dua minggu sebelum Idul Fitri. Namun, ia menilai sosialisasi terkait pengumuman tersebut oleh aparat keamanan kepada warga Muslim sangat minim
"Kami menilai, aparat kepolisian dan aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Tolikara tidak punya itikad baik untuk menjaga keamanan dan ketertibatan masyarakat Tolikara," katanya.
Dorman menilai minimnya sosialisasi menjadi salah satu penyebab terjadinya kerusuhan kemarin. Ia menyayangkan hal itu bisa terjadi padahal Tolikara selama ini dikenal sebagai wilayah yang tingkat toleransinya sangat baik.
"Toleransi umat beragama sejak puluhan tahun lalu di Tolikara, dan secara umum di seluruh tanah Papua sangat baik, dan paling baik di Indonesia," ujarnya.
Yang sangat disayangkan, kata Dorman, sebelum 12 orang dari GIDI selesai berdiskusi dengan jemaah Islam, aparat sudah mengeluarkan tembakan sehingga menyebabkan 12 orang tersebut menjadi korban.
"Jadi, amukan dan kemarahan masyarakat bukan disebabkan oleh aktivitas ibadah umat Islam, tetapi karena tindakan dan perlakukan aparat yang tidak membuka ruang demokrasi," katanya.
Ia juga menampik dugaan pembakaran musala oleh pemuda GIDI. Dorman mengatakan hanya kios yang dibakar dalam kerusuhan tersebut.
Namun, dengan cepat kebakaran itu merembet ke musala yang terbuat dari kayu dan berlokasi dekat dengan kios serta rumah warga.
"Saya telah menasihati umat saya agar tidak melarang umat apapun, termasuk saudara Muslim untuk melangsungkan ibadah. Namun, ibadah harus dilangsungkan di dalam koridor hukum wilayah tersebut, dan juga mematuhi surat yang dikeluarkan demi keamanan dan ketertiban masyarakat," katanya.
Atas segala kerusuhan yang telah terjadi di Hari Raya Idul Fitri tersebut, Dorman mengucapkan maaf kepada semua warga muslim yang terganggu karena insiden tersebut.
Ia juga meminta kapolri dan panglima TNI segera mengusut tuntas insiden penembakan terhadap 12 warga gereja, yang menyebabkan satu anak usia sekolah meninggal dunia.
"Ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, karena menggunakan alat Negara untuk menghadapi pemuda-pemuda usia sekolah yang tak datang untuk melakukan perlawanan atau peperangan," katanya.
Ketua Persekutuan Gereja dan Lembaga Injil di Indonesia (PGLII) Roni Mandang menyesali peristiwa pembakaran mushala di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, Jumat (17/7/2015) pagi. Menurut dia, kejadian tersebut seharusnya tidak terjadi jika aparat keamanan melakukan penanganan secara benar.
"Seharusnya, ketika sudah beredar surat pemberitahuan, harus ada tindakan pengamanan. Apalagi isi surat ini berpotensi menimbulkan persoalan dan sudah disampaikan pada penegak hukum dan aparatur sipil setempat," ujar Roni dalam jumpa pers di kantor Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Jakarta, Sabtu (18/7/2015).
Roni mengatakan, pihaknya sebagai lembaga yang membawahkan Gereja Injil di Indonesia (GIDI) membenarkan adanya surat yang berisi larangan bagi umat Muslim di Tolikara untuk menjalankan shalat Idul Fitri 1436 H.
Namun, surat yang diterbitkan oleh GIDI di wilayah Tolikara tersebut tanpa diketahui oleh pengurus pusat PGLII.
"Kami tegaskan bahwa surat tersebut bukan suara PGLII. Kami tidak pernah sepakat atau setuju dengan isi surat tersebut," kata Roni.
Roni menjelaskan, pelarangan tersebut lantaran pihak GIDI akan mengadakan Seminar Kebaktian Kebangunan Rohani, yang waktunya bertepatan dengan pelaksanaan shalat Idul Fitri. Pihak GIDI merasa terganggu dengan pengeras suara yang digunakan untuk mushala.
Surat itu ditandatangani Ketua GIDI Wilayah Toli Pdt Nayus W dan Sekretaris Pdt Marthen Jingga pada 11 Juli 2015. Dalam surat itu tertulis tembusan kepada Bupati Tolikara, Ketua DPRD Tolikara, Polres Tolikara, dan Danramil Tolikara.
Penembakan
Roni menjelaskan, berdasarkan informasi yang diperoleh anggota GIDI di Papua, sejumlah anggota GIDI yang merasa terganggu dengan suara dari pengeras suara mushala lalu mendatangi mushala dan mengajukan protes. Namun, kata dia, pada saat bersamaan terjadi penembakan yang dilepaskan ke arah anggota GIDI.
Towolom berpendapat, toleransi antara umat beragama di Tolikara terhitung bagus. Ia mengatakan tidak pernah terjadi gesekan atas nama agama.
"Umat Islam dan umat Kristen di Tolikara baik-baik saja," kata Towolom saat ditemui di gedung Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Jakarta Pusat, Sabtu (18/7).
Towolom, yang beragama Kristen dan merupakan jemaat Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di Tolikara, meyakini kerusuhan yang terjadi saat Idul Fitri murni karena masalah lain dan bukan dikarenakan sentimen agama. Towolom juga mengimbau kepada semua masyarakat Papua agar tidak terprovokasi isu konflik agama yang marak di media sosial. Ia meminta agar semua masyarakat, khususnya warga Papua, tidak terpancing oleh isu konflik agama.
Sampai pagi tadi (18 July 2915), Polda Papua belum menetapkan tersangka dalam kasus ini. Dari kelompok penyerang bahkan belum ada yang dimintai keterangan.
Ada lima saksi yang diperiksa dari jemaah yang diserang saat mengadakan salat Idul Fitri.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Patridge Renwarin, saat ini kondisi di Tolikara sudah normal.
Pasukan pengamanan tambahan sudah dikerahkan sejak kemarin. Personel Brimob Polda Papua yang diturunkan dibantu oleh personel TNI dan personel dari Polres Jayawijaya.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tolikara Benarkan Surat Edaran GIDI
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tolikara, Yusak Mauri membenarkan adanya surat pemberitahuan dari Badan Pekerja Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Wilayah Toli Nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 yang berisi larangan bagi umat Islam untuk merayakan Idul Fitri di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua. Menurutnya, surat pemberitahuan yang ditandatangani Ketua Badan Pekerja Wilayah Toli, Pendeta Nayus Wenda dan Sekretaris, Pendeta Marthen Jingga, dikeluarkan tanggal 11 Juli 2015.
Saat Yusak menanyakan alasan keluarnya surat kontroversial ini, Sekretaris Badan Pekerja GIDI Wilayah Toli, Marthen Jingga, berdalih pelarangan dilakukan karena pada saat yang sama berlangsung kegiatan seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Pemuda GIDI tingkat Internasional di Karubaga. Di dalam surat yang beredar luas melalui media sosial tersebut, ada juga larangan bagi umat Nasrani lain mendirikan gereja serta melaksanakan ibadah.
Di dalam surat itu, pihak GIDI mewajibkan umat Nasrani lainnya bergabung ke dalamnya. “Beberapa kali kami mengadakan pertemuan yang menghadirkan tokoh agama se-Kabupaten Tolikara, namun pihak Badan Pekerja GIDI Wilayah Toli selalu menolak dengan dalih keputusan larangan tersebut sebagai hal mutlak berlaku di wilayah Tolikara karena merupakan hasil Sidang Sinode GIDI,” ungkap Yusak saat ditemui di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Papua, Sabtu (18/7/2015
"Polri menembak perusuh sesuai dengan protap karena mereka membubarkan jamaah salat Id dan menunjukkan ketegasan negara dalam mengatasi perusuh," jelas Badrodin di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (20/7/2015).
Menurut Badrodin, negara sangat menjamin hak konstitusi dan perjanjian Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa setiap warganya berhak untuk memilih agama dan menjalankan ibadah. Atas dasar itulah, lanjut Badrodin, penembakan yang dilakukan aparat kepolisian sebagai wujud dari upaya negara untuk menjamin konstitusi.
"Kalau yang 12 korban tertembak. Ya, itu resiko karena mereka (para perusuh) melanggar konstitusi dan HAM," tegas Badrodin.
Selain itu, penembakan itu juga terpaksa dilakukan oleh aparat keamanan karena massa dari organisasi Gereja Injile di Indonesia (GIDI) Tolikara yang ingin melakukan negosiasi bertambah banyak dan mendesak untuk membubarkan warga Muslim karena negosiasi dianggap tak berhasil.
"Maka ketika ada protes dan itu dinegosiasikan massa tambah banyak. Negosiasi tidak berhasil, mereka mendesak dan melempari. Maka dilakukan penembakan," pungkas Badrodin.
"Ya harus dipertanggungjawabkan memang, tapi kalau sudah sesuai prosedur tidak masalah. Penanggungjawab adalah polisi siapapun yang ditembak," kata Badrodin di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin (20/7/2015).
Menurut dia, penembakan merupakan salah satu risiko yang harus diterima pelaku penyerangan. Sebab, pelaku yang menyerang sekelompok umat Islam yang tengah menjalankan salat Ied dinilai melanggar konstitusi.
"Itu risiko, (penembakan) itu bagian dari penegakan hukum, karena merek telah melanggar konstitusi. Konstitusi harus kita tegakan," ujar dia.
Kerusuhan pecah di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, Jumat 17 Juli. Insiden ini terjadi saat umat Islam tengah menjalankan salat Ied di halaman Koramil. Puluhan kios yang juga merupakan tempat tinggal warga serta satu tempat ibadah umat Islam hangus terbakar.
Badrodin, Senin (20/7), mengatakan telah berdialog dengan Ketua dan Sekretaris GIDI terkait adanya surat edaran pembatasan kegiatan beragama umat Islam di wilayah tersebut. Surat yang ditandatangani oleh Presiden GIDI Dorman Wandikmbo pada 11 Juli itu berisi imbauan kepada muslim Tolikara untuk tak menggunakan pengeras suara dalam beribadah.
“Mengingat akan diselenggarakannya Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Injili Pemuda Tingkat Pusat bertaraf nasional/internasional pada tanggal 15-20 Juli 2015, maka diminta kepada pihak muslim agar tidak melakukan kegiatan peribadatan di lapangan terbuka, tidak menggunakan pengeras suara, dan ibadahnya cukup dilakukan di dalam musala atau ruangan tertutup,” demikian kutipan isi surat edaran tersebut.
Menurut Badrodin, Kapolres Tolikara telah menerima surat edaran yang dikeluarkan GIDI tersebut. Isi surat itu kemudian dipertanyakan Polres kepada Bupati Tolikara yang saat itu sedang berada di Jakarta. Dari Jakarta, Bupati menghubungi panitia lokal GIDI untuk meminta penjelasan.
"Pendeta Martin, yakni panitia lokal di sana, setelah ditelepon Bupati mengatakan akan meralat (isi surat edaran). Ia menjelaskannya secara lisan ke Bupati untuk diteruskan ke Kapolres. Namun sampai kejadian Kapolres mengaku sama sekali tak ada pemberitahuan," kata Badrodin.
Kapolri mengatakan GIDI seharusnya mencegah jemaatnya untuk menyerang umat Islam yang sedang beribadah di Hari Idul Fitri lantaran Kepolisian setempat tidak menerima informasi apa-apa.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Yotje Mende tidak mau banyak berkomentar. "Kami punya dokumen rekaman waktu kejadian. Mohon maaf saya tidak akan berkomentar," kata dia, singkat.
Yotje meminta masyarakat di Papua maupun luar Papua untuk tidak menyebarkan informasi yang bersifat provokatif dan menyulut kembali pertikaian di Papua.
"Sebaiknya tunggu hasil pemeriksaan tim saya yang sedang bekerja," kata Yotje.
Sejauh ini, kata Yotje, pihaknya telah memeriksa 22 orang saksi dari umat Islam Tolikara dan pengurus GIDI. Saat ditanya apakah saksi-saksi tersebut ada yang berpotensi menjadi tersangka, Yotje bergeming.
Sementara Presiden Sinode GIDI Dorman Wandikmbo membantah melarang umat Islam beribadah saat Idul Fitri. Dalam siaran pers yang terima CNN Indonesia, Dorman menjelaskan pihaknya hanya mengingatkan umat Islam di Tolikara untuk mematuhi surat pemberitahuan yang telah dilayangkan gereja dua minggu sebelum kegiatan dilangsungkan, yakni tidak menggunakan pengeras suara.
Lokasi salat Id di Tolikara berjarak sekitar 250 meter dari tempat dilangsungkannya Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Injili Pemuda Tingkat Pusat yang dihadiri sekitar 2.000 orang pemuda GIDI dari berbagai daerah.
Pendeta Marthen Jingga dan Nayus Akui Bikin Surat Edaran Larangan Shalat Ied & Jilbab di Tolikara Papua~
Sekretaris Wilayah Gereja Injili di Indonesia (Gidi) Wilayah Tolikara, Papua, Marthen Jingga, membenarkan surat edaran bertanggal 11 Juli 2015. Surat berkop Gidi ini lantas beredar di sejumlah media sosial pasca penyerangan jemaah salat Idul Fitri, Jumat, 17 Juli 2015. Marthen mengaku surat itu dibuat dan dikonsep olehnya bersama Ketua Gidi Wilayah Tolikara, Nayus Wenda.
Surat itu, menurut Marthen, ditujukan kepada seluruh umat Islam se-Kabupaten Tolikara dengan tembusan Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo, Kepala Kepolisian Resor Tolikara Suroso, Ketua DPRD Tolikara, dan Komandan Komando Rayon Militer Tolikara. Surat itu memang memuat larangan beribadah. "Tapi siapa yang menyebarkan dan bagaimana tersebarnya kami tidak tahu," kata Marthen kepada Tempo di rumahnya, di Distrik Karubaga, Selasa, 21 Juli 2015.
Surat pemberitahuan yang dimaksud oleh Marthen itu berisikan tiga larangan, yang kutipan aslinya berbunyi: 1. Acara membuka lebaran tanggal 17 Juli 2015, kami tidak mengijinkan dilakukan di Wilayah Kabupaten Tolikara (Karubaga); 2. Boleh merayakan hari raya di luar Kabupaten Tolikara (Wamena) atau Jayapura; 3. Dilarang kaum muslimat memakai pakaian jilbab.
Dalam surat pemberitahuan tersebut, Gidi Wilayah Tolikara juga selalu melarang agama lain dan gereja denominasi lain mendirikan tempat-tempat ibadah di Wilayah Kabupaten Tolikara. "Gereja Adven di distrik Paido kami sudah tutup dan umat Gereja Adven bergabung dengan Gidi," demikian salah satu kutipan surat edaran yang diteken oleh Marthen dan Nayus.
Ketua Gidi Tolikara, Nayus Wenda, membenarkan penjelasan Marthen. Namun, ia tidak menyangka dampak dari peredaran surat itu berujung pada penyerangan kepada umat muslim yang akhirnya memantik kerusuhan di wilayah berpenduduk 140 ribu jiwa itu. "Yang terjadi ini di luar dugaan kami. Tidak terpikir oleh kami akan terjadi masalah seperti ini," kata Nayus di tempat yang sama.
Alasan Nayus, selama ini, umat muslim dan Gidi tidak bermasalah terkait dengan isi surat edaran tersebut. Ia mengklaim surat ini pun bukan atas permintaan Gidi pusat tapi, atas keputusan Gidi Wilayah Tolikara untuk mendukung keamanan kegiatan Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Internasional yang berlangsung dari 13-19 Juli 2015 di Tolikara.
Menurut Nayus, surat edaran tersebut merupakan langkah antisipasi dari pihak gereja agar umat muslim di Kabupaten Tolikara mengetahui adanya kegiatan kerohanian Gidi yang bersifat internasional dengan mengundang 2.500 peserta, termasuk perwakilan dari lima negara, yakni Belanda, Amerika Serikat, Papua Nugini, Palau (kepulauan kecil di Lautan Pasifik), dan Israel.
Penyerangan yang terjadi bertepatan dengan hari raya Idul Fitri itu berawal dari protes jemaat Gidi terhadap penyelenggaraan salat Id di lapangan Markas Komando Rayon Militer, Distrik Karubaga, Tolikara. Lapangan tersebut berdekatan dengan permukiman warga, kios, Masjid Baitul Muttaqin, dan gereja. Saat itu jemaat Gidi--jemaat Kristen mayoritas di Tolikara--tengah menyelenggarakan kebaktian kebangunan rohani.
Nurmin, saksi mata yang juga jemaah salat Id di markas Koramil, itu mengisahkan ketika rakaat pertama pada takbir kelima (ada tujuh takbir pada rakaat pertama), ia mendengar ada suara lantang yang diteriakkan oleh sejumlah orang. "Tidak ada yang namanya ibadah gini, harus berhenti!" kata Nurmin menirukan suara yang dia dengar itu saat diwawancara Devy Erniss dari Tempo lewat telepon, Selasa, 21 Juli 2015.
Mendengar teriakan tersebut, menurut Nurmin, jemaah salat Id kehilangan konsentrasi dalam beribadah. Tiba-tiba kondisi mulai memanas karena ada saling lempar batu antara orang-orang yang berteriak dan jemaah salat Ied. Tak lama kemudian terdengar suara tembakan dari aparat. "Semua berlari ketakutan," ujar Nurmin. Keadaan pun mulai ricuh. Nurmin melihat beberapa orang melempar batu ke arahnya.
Menurut Nurmin, sejumlah kios dan rumah warga di sekitar markas Koramil terbakar. Nurmin dan beberapa jemaah salat Id lantas masuk ke dalam kantor Koramil. "Kami berkumpul di situ, takut kena batu," ujarnya. Nurmin mengaku rumahnya pun ikut terbakar. "Tapi, saya tidak tahu siapa yang membakar rumah saya karena banyak orang saat itu," ujar Nurmin.
Keterangan Nurmin sejalan dengan kronologi yang disampaikan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai. Sehari setelah kejadian, atau Sabtu, 18 Juli 2015, Komnas HAM mengeluarkan hasil analisis sementara kerusuhan di Karubuga. Dalam salah satu temuannya, Pigai menegaskan, Komnas menduga kerusuhan di Tolikara dipicu oleh surat edaran Gidi Tolikara, yang diteken Nayus dan Marthen.
Pigai menyayangkan surat itu tidak direspons serius oleh pemerintah daerah Tolikara. Padahal, kata dia, jemaat Gidi tidak berhak melarang umat agama lain beribadah. "Pemerintah tidak mengantisipasi surat edaran itu. Mereka tidak melakukan upaya pencegahaan untuk menjaga ketertiban dan keamanan," kata Pigai ketika dihubungi Putri Adityowati dari Tempo. Karena protes itu tidak mendapat respons dari aparat di lokasi kejadian, jemaat Gidi marah dan mengamuk.
Kondisi semakin ricuh karena sejumlah kios, rumah, dan musala, dibakar. Menurut Pigai, mereka protes karena sudah memberi larangan, tapi polisi balik menembak warga. "Masyarakat melampiaskan kemarahan ke arah tempat ibadah. Kalau polisi tidak menembaki warga, pasti reaksi mereka berbeda," kata Pigai. "Tapi yang terpenting kerusuhan ini bukan permusuhan antara Gidi dengan umat Islam."
Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengakui polisi yang menjaga pelaksanaan salat Id di lapangan Koramil, sempat mengeluarkan tembakan peringatan. Namun, massa mengamuk hingga menyebabkan puluhan kios dan musala di sekitar markas Koramil habis terbakar. Kepolisian telah mengantongi calon tersangka. Sudah ada, tapi kami masih melengkapi alat bukti," kata Badrodin di kantornya, Senin, 20 Juli 2015.
Kementerian Sosial mencatat 153 jiwa dari 38 kepala keluarga menjadi korban akibat penyerangan ini. Selain di Wamena, sebagian warga mengungsi di belakang kantor Koramil dan Polres Tolikara. Hingga kini, berbagai pihak telah mengirimkan bantuan, berupa makanan, pakaian, dan uang tunai. Kapolda Papua memberikan Rp 30 juta, Kapolri dan Bupati Tolikara menyumbang masing-masing Rp100 juta.
"AK dan YW, dari pihak masyarakat sana, pegawai bank," kata Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, di Istana Negara, Kamis (23/7).
Penetapan tersangka ini, lanjut Badrodin, sudah melalui pemeriksaan yang cukup disertai alat bukti. Motif keduanya melakukan pembakaran itu belum diketahui karena keterangan mereka masih terus didalami.
"Sangkaan bisa melakukan perusakan, kekerasan, bisa juga penghasutan. Mereka diperiksa, dibawa ke Wamena atau Jayapura," tambahnya.
Badrodin sempat menyebut akan ada empat calon tersangka terkait kerusuhan Tolikara. Saat ditanyakan mengapa baru dua orang yang menjadi tersangka, Badrodin menegaskan semua masih di dalam proses.
"Belum menyusul lah," ucapnya singkat.
Dalam kesempatan yang sama, dia memastikan pihak keamanan terus melakukan antisipasi apalagi masih ada warga mengungsi. Mereka juga melakukan antisipasi agar kasus ini tak merembet ke daerah sekitarnya.
"Sudah dari awal sudah kita lakukan. Kita koordinasi dengan ulama, antar umat beragama, menjaga situasi dari tindakan kekerasan, tindakan balasan dan main hakim sendiri. Kedua dari segi preventif, polisi melakukan pengamanan gereja-gereja," pungkasnya.
PASCA PEMBAKARAN & PEMBUBARAN SHALAT IED #TOLIKARA,
TERNYATA SEBELUMNYA GIDI DENDA WARGA YANG TIDAK MAU MENGECAT SIMBOL/BENDERA ISRAEL~
Satgas Pengamanan Daerah Rawan (Pam Rahwan) Yonif 756 Lettu Infantri Wahyu H. mengatakan bahwa ada sebuah bendera Israel yang dibawa oleh massa saat terjadi tragedi tersebut.
“Memang bendera-bendera Israel itu ada di bawa dengan diikat pada kayu. Itu ada selama kegiatan seminar GIDI berlangsung. Saat penyerangan terjadi saya lihat ada satu bendera Israel yang dibawa masaa,” ungkap wahyu kepada wartawan di depan posko Yonif 756/ WMS di Tolikara, Jum’at (25/07/2015) pagi.
Kenapa harus terjadi kekerasan? bukankah harusnya kita saling menghormati satu sama lain? Kenapa tidak duduk bersama agar tidak merugikan dua belah pihak agar sama-sama dicari solusinya..
Kekerasan hanya akan menyebabkan dendam dimasa lalu, saling membandingka dan akan turun temurun..
belajarlah dari akhlak Nabi Muhammad SAW, Salahudin Al Ayubi, Muhammad Al Fatih dan akhlak para pemimpin sholeh terdahulu....
Islam yg sesungguhnya bukan disampaikan dengan penjajahan, jalan/cara kekerasan & apalagi pemaksaan seseorang untuk memeluk agama.
Kepada umat muslim tolong jaga diri, jangan dendam/terprovokasi/menjelek-jelekan agama lain dimanapun/didunia maya.
Berkata-kata kasar, mencaci, menyumpahi, berbuat anarkis, menghina yg berbeda, ? itukah akhlak kalian?
Terbayangkah Nabi Muhammad SAW, para sahabat, Ulama/Pemimpin orang-orang shaleh terdahulu aklhaknya demikian seperti itu ?
Lebih baik kalian baca Sirah Nabawiyah, Kisah para sahabat, belajar dari sejarah ulama/ilmuan/pemimpin orang-orang sholeh dahulu bagaimana akhlak mereka..
Ini Negara hukum..biar proses hukum yg menyelesaikannya..
Umat muslim menggunakan speaker selain mendengarkan ceramah salah satu fungsinya karena shalat dipimpin oleh imam, sehingga bacaan shalatnya harus terdengar oleh orang-orang dibelakangnya apalagi jika banyak yang shalat..
serta sebagai pertanda untuk mengikuti gerakan shalat yang dipimpin oleh imam tersebut..
Shalat Ied beberapa madzhab ada yang mensunnahkan dilakukan diluar masjid atau di lapangan terbuka..
Shalat Ied itu paling lama 1 jam kok, berkumpul saat matahari belum terbit jam 6 kalai waktu WIB
biasanya jam 7 wib sudah selesai..
alangkah bijak jika seminar pihak dari GIDI bisa ditunda sekitar setengah atau 1 jam-an jika tidak ingin terganggu bacaan takbir atau bacaan shalat imam saat Ied..
Maka sesungguhnya peristiwa tersebut tidak perlu terjadi jika kepala dan hati tetap dingin..
Perlu diketahui para sahabat Non-muslim..
Shalat tidak bisa tunda, menunda-nundanya maka malaikat aka mencatat orang tersebut masuk kedalam golongan yang lalai dalam shalatnya..
Kita sebagai bangsa Indonesia tunggu tindakan aparat hukum..
agar tidak ada lagi diskriminasi menjalankan Ibadah/RASIS sesuai kelegalan hukum Indonesia..
Semoga kita semua bisa dewasa dan hidup saliing berdampingan..
Semoga aparat bisa menindak/menghukum tegas aktor intelektual dibelakang kejadian ini beserta para pemainnya.. agar ia bertanggungjawab/mempertanggungjawabkan atas perbuatannya
agar tidak terjadi lagi dikemudian hari kerusuhan/pebakaran tempat ibadah..
gara-gara segelintir orang yang membawa-bawa nama agama/ras/suku..
Semoga Suatu saat warga papua akan maju dalam segala hal..
dan kelak generasi para pemuda/pemudinya bisa jujur dalam segala hal, bisa diandalkan, ilmu dan amalnya bisa bermanfaat, berguna bagi masyarakat sekitar dalam segala bidang ekonomi, pertanian, pternakan, ilmu pengetahuan, kedokteran, teknologi dan hal lainnya
serta memaksimalkan kekayaan alam di tanah papua
Jangan mau dibodohi oleh orang/golongan yg hanya bertujuan memperkaya diri sendiri atau memperkaya golongan tertentu..
Jangan mau diprovokasi oleh orang sekitar /luar negeri untuk memisahkan diri dari NKRI hanya untuk kepentingan golongan dan memanfaatkan kekayaan alam semata..
SDM asli orang Indonesia yang tulus datang kesana bertujuan mengajari agar warga asli papua kelak bisa maju dalam segala hal .. baik pembangunan dalam segala bidang
tentunya butuh proses yang tidak sebentar..
Jika pemerintahan/pegawai daerah sana tidak korupsi dana yang diberikan pemerintah pusat
serta bisa dipegang janjinya..
Jauhi berjudi, dan minuman keras.. hal-hal tersebut tanpa disadari mempengaruhi kebeningan hati maupun kemampuan otak dalam berfikir serta membuat seseorang menjadi seorang pemalas..
Jangan lelah terus belajar berbagai ilmu..
Hiduplah saling berdampingan dalam berbagai hal yang baik..
references by merdeka, cnnindonesia, republika, lensaindonsia, kompas,tempo
Follow @A_BlogWeb
Hingga berita ini dimuat, polisi dan TNI berjaga-jaga di sekitar lokasi kejadian. Petugas gabungan mengantisipasi kerusuhan berlanjut. Alasan pengrusakan dan pembakaran tersebut pun belum diketahui. Belum ada pula keterangan resmi dari aparat setempat.
- Saat Umat Islam di Tolikara Papua menjalankan sholat Idul Fitri pagi hari, tiba-tiba massa melempari jamaah saat Takbir ke-7 lalu masjid dibakar.
- Masjid diserbu dan dibakar orang-orang dari distrik. Yang dibakar adalah Masjid, bukan mushola seperti diberitakan berbagai media.
- Massa yang disebut dari GIDI Papua (Gereja Injil Di Indonesia) menyerbu dan membakar masjid karena hari ini (Idul Fitri) mereka juga punya acara.
- Sehari sebelumnya GIDI sudah layangkan SURAT PERINGATAN agara Umat Islam TIDAK TAKBIRAN DAN DILARANG MENJALANKAN SHOLAT IED.
- GIDI beranggapan umat Muslim dilarang Sholat IED, karena kata mereka hari ini jum'at 17 Juli adalah Harinya Yesus. Ada misionaris Gereja Luar Negeri juga disana untuk adakan acara GIDI hari ini.
- Setelah masjid dibakar, api merembet ke rumah dan kios-kios pasar milik umat Islam. Barang-barang dijarah.
- 10 orang terkena luka bakar.
- Saat ini warga / Umat Islam sekitar disana diungsikan untuk menghindari kejadian yg tidak diinginkan
Wilpret, 36 tahun, seorang warga setempat mengatakan tak lama setelah kejadian pembakaran, Bupati Tolikara Usman Wanimbo bersama Ketua DPRD setempat mengimbau warganya agar menghentikan aksinya dan tak lakukan tindak kekerasan. "Pak Bupati melalui pengeras suara sambil keliling pakai mobil meminta warga menghentikan aksinya," katanya. Sebelumnya Bupati Tolikara, Usman Wanimbo, memberikan jaminan keamanan untuk penyelenggaraan salat Id di Tolikara. Tapi masyarakat sekitar sama sekali tidak mengindahkannya.
Dari laporan data yang didapat, korban pembakaran rumah dan 11 kios ini sedang diungsikan aparat keamanan di depan Koramil 1702/Wms. Mereka sementara ditampung dengan menggunakan tenda darurat. Walau kondisi dan situasi di Karubaga pasca kejadian kembali normal, tapi sebagian warga masih takut keluar rumah..
Tiga orang pelaku penyerangan warga muslim papua yang tengah salat Idul Fitri di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua terluka tembak. Petugas terpaksa melumpuhkan mereka karena tak mengindahkan peringatan petugas. karena sudah sesuai standar SOP pengamanan.
"Para pelaku dalam jumlah besar bikin onar, bikin kacau," kata Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Patridge Renwarin kepada CNN Indonesia, Jumat (17/7).
Petugas kepolisian yang mengamankan jalannya salat Idul Fitri awalnya sudah memberikan pemahaman kepada mereka yang datang dalam jumlah banyak. Petugas meminta massa yang mengancam akan menyerang jemaah yang sedanga melaksanakan salat Idul Fitri agar mengurungkan niatnya.
Namun bukannya menuruti apa yang katakan petugas, massa malah makin beringas. Massa malah membakar beberapa rumah dan kios yang ada dihadapan mereka.
Petugas menurut Patridge sudah memberikan tembakan peringatan ke udara. Tapi tembakan tersebut tak membuat massa menyurutkan langkah kakinya.
"Kami terpaksa melumpuhkan mereka, tiga orang terluka tembak," ujar Patridge.
Mereka yang terluka ini sudah dibawa ke Jayapura untuk mendapatkan perawatan intensif. Satu dari sebelas korban insiden pembakaran musala di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, tewas dalam perjalanan akibat luka tembak. Menurut Presiden Gereja Injil di Indonesia (GIDI) Dorman Wandikbo, sebelas korban itu merupakan anggota GIDI.
"Terluka 10, satu meninggal dalam perjalanan menuju ke Rumah Sakit Blok 2 Kota Jaya Pura," ujarnya kepada merdeka.com, Jumat (17/07).
Dorman berada di lokasi kejadian perkara saat peristiwa itu terjadi. Dia menceritakan, penembakan itu terjadi ketika anggota GIDI mendatangi musala yang hendak melakukan salat. Mereka menanyakan kenapa masih memakai Toa (speaker) dan masih melakukan salat di luar ruangan.
Puluhan orang tadi pagi mengancam akan menyerang warga yang tengah menjalankan salat Idul Fitri. Banyaknya penyerang yang datang membuat warga memilih menyelamatkan diri.
Belum diketahui penyebab penyerangan ini. Petugas menurut Patridge masih melakukan penyelidikan.
Saat ini kondisi di Tolikara dilaporkan kondusif. Petugas kemanan sudah berjaga-jaga mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. (
Demikian INFO sementara.
TO BE CONTINUED...
[UPDATE]
Penyerangan terhadap muslim yang sedang Sholat Ied di Lapangan Koramil 1702-11/Karubaga, Tolikara pada Jumat (17/7/2015) kemarin, ternyata dipimpin dua pendeta Nasrani yakni Pendeta Marthen Jingga dan Pendeta Nayus Wenda.
Informasi yang dihimpun Lensa Indonesia, saat itu muslim sedang khusyuk menjalankan Sholat Ied dipimpin Ustadz Juanedi. Mendadak sekitar 200 jemaat Gidi yang sedang menggelar seminar tak jauh dari lokasi dipimpin Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Korlap) melakukan penyerangan.
Kondisi Masjid Tolikara Papua Sebelum Runtuh Hangus Terbakar/Dibakar
Berikut Kronologi Penyerangan brutal tersebut :
1. Pada 11 Juli 2015, muncul surat selebaran yang mengatasnamakan umat Nasrani Jemaat Gidi berisi `Gidi wilayah Tolikara, selalu melarang agama lain dan gereja denominasi lain tidak boleh mendirikan tempat-tempat ibadah lain di Kabupaten Tolikara` dan melarang berlangsungnya kegiatan ibadah Sholat Ied umat muslim di Kabupaten Tolikara yang ditandatangani Pendeta Mathen Jingga S.Th Ma dan Pendeta Nayus Wenda S.Th
2. Pukul 07.00 WIT, Saat umat muslim akan memulai kegiatan Sholat Ied 1436H di Lapangan Koramil 1702 11/Karubaga, Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Korlap) menggunakan megaphone berorasi untuk tidak melaksanakan ibadah Sholat Ied di Tolikara.
3. Pukul 07.05 WIT, Saat memasuki takbir ke-7 Sholat Ied, gerombolan massa dari Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Korlap) mulai berdatangan dan melakukan aksi pelemparan batu dari Bandara Karubaga dan luar lapangan Koramil 1702-11/Karubaga yang meminta secara paksa untuk membubarkan kegiatan Sholat Ied sehingga menimbulkan kepanikan umat muslim yang beribadah.
4. Pukul 07.10 WIT, Gerombolan massa dari Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo mulai melakukan pelemparan batu dan pengrusakan kios-kios yang berada di dekat dengan Masjid Baitul Mutaqin.
5. Pukul 07.20 WIT, Aparat keamanan berusaha membubarkan massa dengan mengeluarkan tembakan peringatan. Namun massa semakin bertambah dan melakukan pelemparan batu untuk melawan.
6. Pukul 07.52 WIT, Massa yang merasa terancam dengan tembakan peringatan dari aparat keamanan melakukan aksi pembakaran kios milik Sarno, dan terus merangsek hendak membakar Masjid Baitul Mutaqin.
7. Pukul 08.30 WIT, Api yang sudah membesar merambat ke bagian-bagian kios dan menjalar ke bagian Masjid Baitul Mutaqin.
8. Pukul 08.53 WIT bangunan kios-kios dan Masjid Baitul Mutaqin terbakar habis.
9. Pukul 09.10 WIT, Massa dari Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (Korlap) berkumpul di ujung Bandara Karubaga dan tetap bersiaga.
Kerugian akibat aksi penyerangan:
1. Personel: Masih dalam tahap pemeriksaan.
2. Materil :
a. Masjid Baitul Mutaqin habis terbakar.
b. Kios Klontong milik Sarno habis terbakar.
c. Kios pakaian milik Masara habis terbakar.
d. Kios Pakaian milik Mansyur habis terbakar.
e. Kios Pakaian milik Yusuf habis terbakar.
f. Kios Pakaian milik Darman habis terbakar.
g. Kios Pakaian milik Agil habis terbakar.
h. Kios Pakaian milik Bustam habis terbakar.
i. Kios Pakaian milik Asdar habis terbakar.
j. Kios Pakaian milik Sudir habis terbakar.
k. Kios milik Halil usman habis terbakar.
m. Kios milik Ali muhtar habis terbakar.
n. Kios milik Sudirman habis terbakar.
o. Kios milik Febi habis terbakar.
Hingga berita ini diunggah, ketibutan sudah berhasil diredam setelah anggota gabungan (TNI, Polres Tolikara, Brimob) melaksanakan patroli guna mengantisipasi aksi lanjutan dari gerombolan massa gereja Gidi yang melarang kegiatan ibadah Sholat Ied
Pertama Kali dalam Sejarah Papua, Mushala/Masjid Dibakar
Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Kota Jayapura, Pater Neles Tebay yang juga Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) menyesalkan peristiwa pembakaran tempat ibadah di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Jumat (17/7) pagi. "Kami menyesalkan atas peristiwa pembakaran tempat ibadah, 70 rumah dan kios di Tolikara, yang terjadi pada perayaan Idul Fitri," kata Neles Tebay di Kota Jayapura, Jumat malam.Tindakan pembakaran seperti itu, baik dilakukan secara sengaja atau tanpa direncanakan, tidak dapat diterima dan dibenarkan oleh setiap orang yang beriman. "Budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu, apalagi membakar tempat ibadah," katanya.
Anak papua antusias belajar membaca, berhitung, mengaji diajari oleh Siti Aminah (warga asli papua)
penuh keihklasan tanpa bayaran photo by gemaislam
penuh keihklasan tanpa bayaran photo by gemaislam
Menurut dia, ATradisi atau budaya mengajarkan bahwa orang Papua tidak boleh mengganggu tempat-tempat yang dipandang keramat atau sakral atau suci menurut kepercayaan budaya setempat. Tempat-tempat suci dalam budaya adalah tempat-tempat yang, menurut keyakinan orang setempat, dihuni oleh roh-roh.
Apabila mengganggu tempat suci itu, menurut keyakinan orang Papua maka akan ada konsekuensi dalam hidup keluarga dari orang yang mengganggu tempat tersebut. "Konsekuensinya bisa saja para pengganggu jatuh sakit atau salah satu anggota keluarganya meninggal dunia tanpa sakit terlebih dahulu atau terjadi musibah kelaparan," katanya.
Pater mengatakan orang Papua dibina untuk menghormati tempat keramat atau sakral dalam budayanya. Ketika agama-agama besar, seperti Kristen dan Islam masuk ke Tanah Papua, tempat ibadah dari agama-agama ini seperti gereja dan masjid, dipandang sebagai tempat keramat, sakral atau suci. "Oleh karena itu orang Papua, entah apapun agamanya, selama ini tidak pernah mengganggu, apalagi membakar entah gereja, entah masjid. Daun rumput selembar saja tidak pernah diganggu dan dipetik dari halaman gereja atau masjid," katanya.
Kejadian pembakaran mushala di Tolikara, kata dia, merupakan peristiwa pertama kali dalam sejarah Papua di mana sebuah tempat ibadah dibakar. "Orang Papua tidak pernah membakar tempat ibadah selama ini, kecuali yang baru terjadi di Tolikara ini. Maka, sebagai orang Papua, saya memohon maaf atas peristiwa yang melanggar norma adat ini," katanya.
Hari Ini Pembakar Masjid di Tolikara Papua Akan Sampaikan Permintaan Maaf
Atas kasus pembakaran sebuah Masjid di Tolikara, Papua, Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama Odhita R Hutabarat, mengatakan, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) berencana meminta maaf secara terbuka kepada Umat Muslim Indonesia pada hari ini Sabtu (18/7/2015) melalui media massa, sekaligus memberikan keterangan atas terjadinya insiden tersebut."Kita minta PGI untuk memberikan keterangan dan menyampaikan maaf kepada umat Islam lewat pers," kata Odhita dalam siaran persnya.
Pihaknya mengaku sudah mengambil langkah untuk menyelesaikan kasus yang terjadi saat umat muslim setempat melakukan sholat Idul Fitri, Jumat (17/7/2015).
Ia juga mengaku sudah menghubungi Ketua Sinode Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) untuk menjelaskan surat larangan shalat Ied yang sudah beredar di media massa tersebut.
Dia juga meminta GIDI sebagai pelaku dalam peristiwa itu mengirimkan surat permohonan maaf kepada umat Islam lewat Kemenag.
Selain GIDI, induk organisasinya yaitu Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII) juga diajak ikut serta menyelesaikan kasus itu. PGLII diharapkannya segera mengambil langkah strategis untuk menyikapi peristiwaa Tolikara dan ikut menyampaikan permintaan maaf pada umat Islam.
5 butir kesepakatan damai tokoh agama terkait insiden Tolikara
Sejumlah pimpinan dan tokoh agama di Papua menggelar pertemuan dengan difasilitasi Kepala Kanwil Depag Papua Jannus Pangaribuan. Hasilnya ada lima poin kesepakatan damai dan penanganan insiden Tolikara.Seperti dilansir Antara, Sabtu (18/7), permohonan maaf disampaikan para pimpinan dan tokoh agama melalui lima butir pernyataan yang dibacakan oleh pendeta Herman Saud. Kesepakatan itu ditandatangani setidaknya oleh 21 orang. Berikut poin kesepakatan tersebut:
1. Para tokoh agama menyampaikan penyesalan atas insiden tersebut dan jatuhnya seorang korban jiwa serta korban-korban yang terluka.
2. Tokoh agama mendesak pihak berwenang segera menyelesaikan masalah tersebut dengan tuntas dan profesional serta memproses para pelaku sesuai hukum yang berlaku.
3. Mengimbau seluruh masyarakat di Indonesia dan khususnya di Tanah Papua agar tetap tenang menjalankan aktivitas masing masing serta tidak terprovokasi oleh isu yang tidak benar.
4. Tokoh dan pimpinan agama menyerukan bahwa di negara kesatuan RI tidak ada salah satu golongan agama yang bisa mengklaim wilayahnya dan melarang umat beragama lain untuk beribadah sesuai agama dan keyakinannya.
5. Aparat keamanan diharap segera meredakan suasana dengan tindakan yang tegas tetapi tanpa kekerasan serta dapat mengidentifikasi pelaku serta penyebabnya sehingga kerusuhan tersebut tidak meluas dan terulang.
Muslimah asal Papua, photo by tempo
Presiden GIDI Tolikara: Tak Benar Kami Larang Muslim Salat Id
Presiden Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Dorman Wandikmbo menampik dugaan bahwa pihaknya melarang umat Islam di Kabupaten Tolikara, Papua menjalankan Salat Id pada Jumat (17/7) kemarin.Dalam siaran pers yang terima CNN Indonesia, Dorman menjelaskan bahwa pihaknya hanya mengingatkan umat Islam di Tolikara untuk mematuhi surat pemberitahuan yang telah dilayangkan gereja dua minggu sebelum kegiatan dilangsungkan, yakni tidak menggunakan pengeras suara.
Pasalnya, lokasi Salat Id hanya berjarak sekitar 250 meter dari tempat dilangsungkannya sebuah seminar internasional yang dihadiri oleh pemuda dari Nias, Sumatera Utara, Papua Barat, Kalimantan (Dayak), Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan diperkirakan mencapai dua ribu orang pemuda GIDI.
Informasi tersebut, kata Dorman, telah diberitahukan dua minggu sebelum Idul Fitri. Namun, ia menilai sosialisasi terkait pengumuman tersebut oleh aparat keamanan kepada warga Muslim sangat minim
"Kami menilai, aparat kepolisian dan aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Tolikara tidak punya itikad baik untuk menjaga keamanan dan ketertibatan masyarakat Tolikara," katanya.
Dorman menilai minimnya sosialisasi menjadi salah satu penyebab terjadinya kerusuhan kemarin. Ia menyayangkan hal itu bisa terjadi padahal Tolikara selama ini dikenal sebagai wilayah yang tingkat toleransinya sangat baik.
"Toleransi umat beragama sejak puluhan tahun lalu di Tolikara, dan secara umum di seluruh tanah Papua sangat baik, dan paling baik di Indonesia," ujarnya.
Yang sangat disayangkan, kata Dorman, sebelum 12 orang dari GIDI selesai berdiskusi dengan jemaah Islam, aparat sudah mengeluarkan tembakan sehingga menyebabkan 12 orang tersebut menjadi korban.
"Jadi, amukan dan kemarahan masyarakat bukan disebabkan oleh aktivitas ibadah umat Islam, tetapi karena tindakan dan perlakukan aparat yang tidak membuka ruang demokrasi," katanya.
Ia juga menampik dugaan pembakaran musala oleh pemuda GIDI. Dorman mengatakan hanya kios yang dibakar dalam kerusuhan tersebut.
Namun, dengan cepat kebakaran itu merembet ke musala yang terbuat dari kayu dan berlokasi dekat dengan kios serta rumah warga.
"Saya telah menasihati umat saya agar tidak melarang umat apapun, termasuk saudara Muslim untuk melangsungkan ibadah. Namun, ibadah harus dilangsungkan di dalam koridor hukum wilayah tersebut, dan juga mematuhi surat yang dikeluarkan demi keamanan dan ketertiban masyarakat," katanya.
Atas segala kerusuhan yang telah terjadi di Hari Raya Idul Fitri tersebut, Dorman mengucapkan maaf kepada semua warga muslim yang terganggu karena insiden tersebut.
Ia juga meminta kapolri dan panglima TNI segera mengusut tuntas insiden penembakan terhadap 12 warga gereja, yang menyebabkan satu anak usia sekolah meninggal dunia.
"Ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, karena menggunakan alat Negara untuk menghadapi pemuda-pemuda usia sekolah yang tak datang untuk melakukan perlawanan atau peperangan," katanya.
PERNYATAAN SIKAP PRESIDEN GEREJA INJILI DI INDONESIA (GIDI), TERKAIT INSIDEN/PERISTIWA DI KABUPATEN TOLIKARA, PROVINSI PAPUA
Sejak tadi malam, 17 Juli 2015, saya mengikuti berbagai pemberitaan di media massa yang terkesan menyudutkan pihak gereja, ditulis berdasarkan laporan/argumentas aparat keamanan (TNI/Polri), serta penyebaran berbagai surat kaleng/palsu di media social (Medsos), yang menempatkan orang Papua sebagai pihak yang anti toleransi umat beragama, maka dalam kesempatan ini saya perlu menegaskan atau menyampaikan beberapa hal agar dapat dipahami oleh seluruh warga Indonesia;
Pertama, tidak benar pemuda gereja GIDI, masyarakat Tolikara, dan Umat Kristiani melarang umat Islam untuk merayakan hari raya Idul Fitri (Sholat ied), namun harus mematuhi surat pemberitahuaan yang telah dilayangkan pemuda/gereja dua minggu sebelum kegiatan dilangsungkan; yakni tidak menggunakan penggeras suara (toa), apalagi jarak antar pengeras suara dengan tempat dilangsungkannya seminar nasional/internasional hanya berjarak sekitar 250meter
Kedua, pimpinan gereja wilayah Kabupaten Tolikara, Presiden GIDI, Bupati Kabupaten Tolikara, Usman Wanimbo, dan tokoh masyarakat setempat telah menyampaikan maksud pemuda GIDI (Ibadah tidak menggunakan penggeras suara) sejak dua minggu sebelum hari “H” kegiatan seminar, dan hari raya idul fitri; Kami menilai, aparat Kepolisian dan aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Kabupaten Tolikara tidak punya itikad baik untuk menjaga keamanan dan ketertibatan masyarakat Tolikara, termasuk umat Muslim sendiri. Kami sangat menyayangkan lambannya sosialisasi yang dilakukan aparat keamanan kepada warga muslim, sehingga terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, apalagi toleransi umat beragama sejak puluhan tahun lalu di Tolikara, dan secara umum di seluruh tanah Papua sangat baik, dan paling baik di Indonesia.
Ketiga, yang sangat disayangkan, para pemuda (11 orang tertambak timah panas aparat TNI/Polri saat dalam perjalanan ke Musolah untuk berdiskusi dengan warga setempat, 1 anak usia 15 tahun meninggal dunia, Endi Wanimbo, usia 15 tahun), belum sempat diskusi atau negosiasi dilangsungkan, aparat TNI/Polri sudah mengeluarkan tembakan secara brutal dan membabi buta, sehingga 12 orang tertembak. Jadi amukan dan kemarahan masyarakat bukan disebabkan oleh aktivitas ibadah umat muslim, tapi lebih karena tindakan dan perlakukan biadab aparat TNI/Polri, yang tidak membukan ruang demokrasi atau untuk mendiskusikan hal-hal yang baik bagi keberlangsungan ibadah kedua belah pihak.
Keempat, tidak benar masyarakat Tolikara, atau warga gereja GIDI melakukan pembakaran terhadap Mushola (seperti pemberitaan berbagai media massa di tingkat nasional), namun hanya beberapa kios yang dibakar pemuda, dan merembet hingga membakar Musolah karena dibangun menggunakan kayu, dan berhimpit-himpit dengan kios/rumah milik warga Papua maupun non-Papua, sehingga dengan cepat melebar dan terbakar; Tindakan spontan yang dilakukan beberapa pemuda membakar beberapa kios ini muncul karena ulah aparat keamanan yang tak bisa menggunakan pendekatan persuasive, tapi menggunakan alat-alat Negara (senjata dan peluru) untuk melumpuhkan para pemuda tersebut. Kami minta Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), dan Panglima TNI untuk juga mengusut tuntas penembakan warga sipil oleh aparat keamanan yang menyebabkan 1 orang meninggal dunia (Endi Wanimbo, usia 15 tahun), dan 11 orang terluka.
Kelima, saya sebagai pimpinan tertinggi gereja GIDI di seluruh Indonesia, telah menasehati umat saya agar tidak melarang umat apapun, termasuk saudara Muslim untuk melangsungkan ibadah, namun ibadah harus dilangsungkan di dalam koridor hukum wilayah tersebut, dan juga mematuhi surat atau himbauan yang dikeluarkan, demi keamanan, ketertibatan, dan ketentraman masyarakat setempat.
Keenam, yang datang mengikuti ibadah/seminar internasional di Kabupaten Tolikara bukan hanya warga GIDI di wilayah tanah Papua, tapi dari berbagai provinsi di seluruh Indonesia, antara lain pemuda dari Nias, Sumatera Utara, Papua Barat, Kalimantan (Dayak), Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan diperkikran mencapai 2.000 orang pemuda GIDI.
Ketujuh, sebagai presiden GIDI, kami menyampaikan permohonan maaf kepada warga muslim di Indonesia, secara khusus di Kabupaten Tolikara atas pembakaran kios-kios yang menyebabkan Musolah (rumah ibadah warga muslim) ikut terbakar; Aksi ini merupakan spontanitas masyarakat Tolikara karena ulah aparat keamanan di Tolikara yang melakukan penembakan secara brutal.
Kedelapan, Kapolri dan Panglima TNI juga harus mengusut tuntas insiden penembakan terhadap 12 warga gereja, yang menyebabkan satu anak usia sekolah meninggal dunia; Ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, karena menggunakan alat Negara untuk menghadapi pemuda-pemuda usia sekolah yang tak datang untuk melakukan perlawanan atau peperangan.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat untuk disebarluaskan kepada berbagai jaringan di tingkat lokal, nasional, dan internasional, terutama media massa, agar pemberitaan terkait insiden/peristiwa yang tidak kita inginkan ini dapat berimbang. Tuhan memberkati kita semua.
Kabupaten Tolikara, Provinsi Paapua, 18 Juli 2015
Presiden GIDI
Pdt. Dorman Wandikmbo
(HP: 081248604070);
PGLII Tolak Surat GIDI Tolikara soal Larangan Beribadah
Ketua Persekutuan Gereja dan Lembaga Injil di Indonesia (PGLII) Roni Mandang menyesali peristiwa pembakaran mushala di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, Jumat (17/7/2015) pagi. Menurut dia, kejadian tersebut seharusnya tidak terjadi jika aparat keamanan melakukan penanganan secara benar.
"Seharusnya, ketika sudah beredar surat pemberitahuan, harus ada tindakan pengamanan. Apalagi isi surat ini berpotensi menimbulkan persoalan dan sudah disampaikan pada penegak hukum dan aparatur sipil setempat," ujar Roni dalam jumpa pers di kantor Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Jakarta, Sabtu (18/7/2015).
Roni mengatakan, pihaknya sebagai lembaga yang membawahkan Gereja Injil di Indonesia (GIDI) membenarkan adanya surat yang berisi larangan bagi umat Muslim di Tolikara untuk menjalankan shalat Idul Fitri 1436 H.
Namun, surat yang diterbitkan oleh GIDI di wilayah Tolikara tersebut tanpa diketahui oleh pengurus pusat PGLII.
"Kami tegaskan bahwa surat tersebut bukan suara PGLII. Kami tidak pernah sepakat atau setuju dengan isi surat tersebut," kata Roni.
Roni menjelaskan, pelarangan tersebut lantaran pihak GIDI akan mengadakan Seminar Kebaktian Kebangunan Rohani, yang waktunya bertepatan dengan pelaksanaan shalat Idul Fitri. Pihak GIDI merasa terganggu dengan pengeras suara yang digunakan untuk mushala.
Surat itu ditandatangani Ketua GIDI Wilayah Toli Pdt Nayus W dan Sekretaris Pdt Marthen Jingga pada 11 Juli 2015. Dalam surat itu tertulis tembusan kepada Bupati Tolikara, Ketua DPRD Tolikara, Polres Tolikara, dan Danramil Tolikara.
Penembakan
Roni menjelaskan, berdasarkan informasi yang diperoleh anggota GIDI di Papua, sejumlah anggota GIDI yang merasa terganggu dengan suara dari pengeras suara mushala lalu mendatangi mushala dan mengajukan protes. Namun, kata dia, pada saat bersamaan terjadi penembakan yang dilepaskan ke arah anggota GIDI.
Warga Tolikara: Umat Islam dan Umat Kristen di Sana Baik-baik
Z Towolom, salah satu warga kabupaten Tolikara, Papua, mengatakan bahwa selama ini belum pernah terjadi konflik agama di kampung halamannya.Towolom berpendapat, toleransi antara umat beragama di Tolikara terhitung bagus. Ia mengatakan tidak pernah terjadi gesekan atas nama agama.
"Umat Islam dan umat Kristen di Tolikara baik-baik saja," kata Towolom saat ditemui di gedung Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Jakarta Pusat, Sabtu (18/7).
Towolom, yang beragama Kristen dan merupakan jemaat Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di Tolikara, meyakini kerusuhan yang terjadi saat Idul Fitri murni karena masalah lain dan bukan dikarenakan sentimen agama. Towolom juga mengimbau kepada semua masyarakat Papua agar tidak terprovokasi isu konflik agama yang marak di media sosial. Ia meminta agar semua masyarakat, khususnya warga Papua, tidak terpancing oleh isu konflik agama.
Sampai pagi tadi (18 July 2915), Polda Papua belum menetapkan tersangka dalam kasus ini. Dari kelompok penyerang bahkan belum ada yang dimintai keterangan.
Ada lima saksi yang diperiksa dari jemaah yang diserang saat mengadakan salat Idul Fitri.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Patridge Renwarin, saat ini kondisi di Tolikara sudah normal.
Pasukan pengamanan tambahan sudah dikerahkan sejak kemarin. Personel Brimob Polda Papua yang diturunkan dibantu oleh personel TNI dan personel dari Polres Jayawijaya.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tolikara Benarkan Surat Edaran GIDI
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tolikara, Yusak Mauri membenarkan adanya surat pemberitahuan dari Badan Pekerja Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Wilayah Toli Nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 yang berisi larangan bagi umat Islam untuk merayakan Idul Fitri di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua. Menurutnya, surat pemberitahuan yang ditandatangani Ketua Badan Pekerja Wilayah Toli, Pendeta Nayus Wenda dan Sekretaris, Pendeta Marthen Jingga, dikeluarkan tanggal 11 Juli 2015.
Saat Yusak menanyakan alasan keluarnya surat kontroversial ini, Sekretaris Badan Pekerja GIDI Wilayah Toli, Marthen Jingga, berdalih pelarangan dilakukan karena pada saat yang sama berlangsung kegiatan seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Pemuda GIDI tingkat Internasional di Karubaga. Di dalam surat yang beredar luas melalui media sosial tersebut, ada juga larangan bagi umat Nasrani lain mendirikan gereja serta melaksanakan ibadah.
Di dalam surat itu, pihak GIDI mewajibkan umat Nasrani lainnya bergabung ke dalamnya. “Beberapa kali kami mengadakan pertemuan yang menghadirkan tokoh agama se-Kabupaten Tolikara, namun pihak Badan Pekerja GIDI Wilayah Toli selalu menolak dengan dalih keputusan larangan tersebut sebagai hal mutlak berlaku di wilayah Tolikara karena merupakan hasil Sidang Sinode GIDI,” ungkap Yusak saat ditemui di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Papua, Sabtu (18/7/2015
Badrodin: Polri Tembak Perusuh Tolikara Sesuai Protap
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyatakan, penembakan yang dilakukan aparat keamanan dari TNI dan Polri sudah sesuai dengan prosedur saat massa perusuh melakukan penyerangan terhadap umat Muslim ketika sedang salat Idul Fitri pada Jumat 17 Juli 2015, di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua."Polri menembak perusuh sesuai dengan protap karena mereka membubarkan jamaah salat Id dan menunjukkan ketegasan negara dalam mengatasi perusuh," jelas Badrodin di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (20/7/2015).
Menurut Badrodin, negara sangat menjamin hak konstitusi dan perjanjian Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa setiap warganya berhak untuk memilih agama dan menjalankan ibadah. Atas dasar itulah, lanjut Badrodin, penembakan yang dilakukan aparat kepolisian sebagai wujud dari upaya negara untuk menjamin konstitusi.
"Kalau yang 12 korban tertembak. Ya, itu resiko karena mereka (para perusuh) melanggar konstitusi dan HAM," tegas Badrodin.
Selain itu, penembakan itu juga terpaksa dilakukan oleh aparat keamanan karena massa dari organisasi Gereja Injile di Indonesia (GIDI) Tolikara yang ingin melakukan negosiasi bertambah banyak dan mendesak untuk membubarkan warga Muslim karena negosiasi dianggap tak berhasil.
"Maka ketika ada protes dan itu dinegosiasikan massa tambah banyak. Negosiasi tidak berhasil, mereka mendesak dan melempari. Maka dilakukan penembakan," pungkas Badrodin.
Kapolri: Polisi Bertanggung Jawab Atas Korban Penembakan di Tolikara
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan, Polri bertanggung jawab atas insiden penembakan dalam kerusuhan tersebut."Ya harus dipertanggungjawabkan memang, tapi kalau sudah sesuai prosedur tidak masalah. Penanggungjawab adalah polisi siapapun yang ditembak," kata Badrodin di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin (20/7/2015).
Menurut dia, penembakan merupakan salah satu risiko yang harus diterima pelaku penyerangan. Sebab, pelaku yang menyerang sekelompok umat Islam yang tengah menjalankan salat Ied dinilai melanggar konstitusi.
"Itu risiko, (penembakan) itu bagian dari penegakan hukum, karena merek telah melanggar konstitusi. Konstitusi harus kita tegakan," ujar dia.
Kerusuhan pecah di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, Jumat 17 Juli. Insiden ini terjadi saat umat Islam tengah menjalankan salat Ied di halaman Koramil. Puluhan kios yang juga merupakan tempat tinggal warga serta satu tempat ibadah umat Islam hangus terbakar.
Kapolri: Ada Putus Komunikasi Polres, Gereja, Bupati Tolikara
Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti mengungkapkan adanya celah dalam komunikasi antara polisi, Gereja Injil di Indonesia (GIDI), dan Bupati Tolikara terkait insiden penyerangan jemaah salat Id dan pembakaran bangunan di wilayah itu saat Hari Raya Idul Fitri Jumat pekan lalu (17/7).Badrodin, Senin (20/7), mengatakan telah berdialog dengan Ketua dan Sekretaris GIDI terkait adanya surat edaran pembatasan kegiatan beragama umat Islam di wilayah tersebut. Surat yang ditandatangani oleh Presiden GIDI Dorman Wandikmbo pada 11 Juli itu berisi imbauan kepada muslim Tolikara untuk tak menggunakan pengeras suara dalam beribadah.
“Mengingat akan diselenggarakannya Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Injili Pemuda Tingkat Pusat bertaraf nasional/internasional pada tanggal 15-20 Juli 2015, maka diminta kepada pihak muslim agar tidak melakukan kegiatan peribadatan di lapangan terbuka, tidak menggunakan pengeras suara, dan ibadahnya cukup dilakukan di dalam musala atau ruangan tertutup,” demikian kutipan isi surat edaran tersebut.
Menurut Badrodin, Kapolres Tolikara telah menerima surat edaran yang dikeluarkan GIDI tersebut. Isi surat itu kemudian dipertanyakan Polres kepada Bupati Tolikara yang saat itu sedang berada di Jakarta. Dari Jakarta, Bupati menghubungi panitia lokal GIDI untuk meminta penjelasan.
"Pendeta Martin, yakni panitia lokal di sana, setelah ditelepon Bupati mengatakan akan meralat (isi surat edaran). Ia menjelaskannya secara lisan ke Bupati untuk diteruskan ke Kapolres. Namun sampai kejadian Kapolres mengaku sama sekali tak ada pemberitahuan," kata Badrodin.
Kapolri mengatakan GIDI seharusnya mencegah jemaatnya untuk menyerang umat Islam yang sedang beribadah di Hari Idul Fitri lantaran Kepolisian setempat tidak menerima informasi apa-apa.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Yotje Mende tidak mau banyak berkomentar. "Kami punya dokumen rekaman waktu kejadian. Mohon maaf saya tidak akan berkomentar," kata dia, singkat.
Yotje meminta masyarakat di Papua maupun luar Papua untuk tidak menyebarkan informasi yang bersifat provokatif dan menyulut kembali pertikaian di Papua.
"Sebaiknya tunggu hasil pemeriksaan tim saya yang sedang bekerja," kata Yotje.
Sejauh ini, kata Yotje, pihaknya telah memeriksa 22 orang saksi dari umat Islam Tolikara dan pengurus GIDI. Saat ditanya apakah saksi-saksi tersebut ada yang berpotensi menjadi tersangka, Yotje bergeming.
Sementara Presiden Sinode GIDI Dorman Wandikmbo membantah melarang umat Islam beribadah saat Idul Fitri. Dalam siaran pers yang terima CNN Indonesia, Dorman menjelaskan pihaknya hanya mengingatkan umat Islam di Tolikara untuk mematuhi surat pemberitahuan yang telah dilayangkan gereja dua minggu sebelum kegiatan dilangsungkan, yakni tidak menggunakan pengeras suara.
Lokasi salat Id di Tolikara berjarak sekitar 250 meter dari tempat dilangsungkannya Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Injili Pemuda Tingkat Pusat yang dihadiri sekitar 2.000 orang pemuda GIDI dari berbagai daerah.
Pendeta Marthen Jingga dan Nayus Akui Bikin Surat Edaran Larangan Shalat Ied & Jilbab di Tolikara Papua~
Sekretaris Wilayah Gereja Injili di Indonesia (Gidi) Wilayah Tolikara, Papua, Marthen Jingga, membenarkan surat edaran bertanggal 11 Juli 2015. Surat berkop Gidi ini lantas beredar di sejumlah media sosial pasca penyerangan jemaah salat Idul Fitri, Jumat, 17 Juli 2015. Marthen mengaku surat itu dibuat dan dikonsep olehnya bersama Ketua Gidi Wilayah Tolikara, Nayus Wenda.
Surat itu, menurut Marthen, ditujukan kepada seluruh umat Islam se-Kabupaten Tolikara dengan tembusan Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo, Kepala Kepolisian Resor Tolikara Suroso, Ketua DPRD Tolikara, dan Komandan Komando Rayon Militer Tolikara. Surat itu memang memuat larangan beribadah. "Tapi siapa yang menyebarkan dan bagaimana tersebarnya kami tidak tahu," kata Marthen kepada Tempo di rumahnya, di Distrik Karubaga, Selasa, 21 Juli 2015.
Surat pemberitahuan yang dimaksud oleh Marthen itu berisikan tiga larangan, yang kutipan aslinya berbunyi: 1. Acara membuka lebaran tanggal 17 Juli 2015, kami tidak mengijinkan dilakukan di Wilayah Kabupaten Tolikara (Karubaga); 2. Boleh merayakan hari raya di luar Kabupaten Tolikara (Wamena) atau Jayapura; 3. Dilarang kaum muslimat memakai pakaian jilbab.
Dalam surat pemberitahuan tersebut, Gidi Wilayah Tolikara juga selalu melarang agama lain dan gereja denominasi lain mendirikan tempat-tempat ibadah di Wilayah Kabupaten Tolikara. "Gereja Adven di distrik Paido kami sudah tutup dan umat Gereja Adven bergabung dengan Gidi," demikian salah satu kutipan surat edaran yang diteken oleh Marthen dan Nayus.
Ketua Gidi Tolikara, Nayus Wenda, membenarkan penjelasan Marthen. Namun, ia tidak menyangka dampak dari peredaran surat itu berujung pada penyerangan kepada umat muslim yang akhirnya memantik kerusuhan di wilayah berpenduduk 140 ribu jiwa itu. "Yang terjadi ini di luar dugaan kami. Tidak terpikir oleh kami akan terjadi masalah seperti ini," kata Nayus di tempat yang sama.
Alasan Nayus, selama ini, umat muslim dan Gidi tidak bermasalah terkait dengan isi surat edaran tersebut. Ia mengklaim surat ini pun bukan atas permintaan Gidi pusat tapi, atas keputusan Gidi Wilayah Tolikara untuk mendukung keamanan kegiatan Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Internasional yang berlangsung dari 13-19 Juli 2015 di Tolikara.
Menurut Nayus, surat edaran tersebut merupakan langkah antisipasi dari pihak gereja agar umat muslim di Kabupaten Tolikara mengetahui adanya kegiatan kerohanian Gidi yang bersifat internasional dengan mengundang 2.500 peserta, termasuk perwakilan dari lima negara, yakni Belanda, Amerika Serikat, Papua Nugini, Palau (kepulauan kecil di Lautan Pasifik), dan Israel.
Penyerangan yang terjadi bertepatan dengan hari raya Idul Fitri itu berawal dari protes jemaat Gidi terhadap penyelenggaraan salat Id di lapangan Markas Komando Rayon Militer, Distrik Karubaga, Tolikara. Lapangan tersebut berdekatan dengan permukiman warga, kios, Masjid Baitul Muttaqin, dan gereja. Saat itu jemaat Gidi--jemaat Kristen mayoritas di Tolikara--tengah menyelenggarakan kebaktian kebangunan rohani.
Nurmin, saksi mata yang juga jemaah salat Id di markas Koramil, itu mengisahkan ketika rakaat pertama pada takbir kelima (ada tujuh takbir pada rakaat pertama), ia mendengar ada suara lantang yang diteriakkan oleh sejumlah orang. "Tidak ada yang namanya ibadah gini, harus berhenti!" kata Nurmin menirukan suara yang dia dengar itu saat diwawancara Devy Erniss dari Tempo lewat telepon, Selasa, 21 Juli 2015.
Mendengar teriakan tersebut, menurut Nurmin, jemaah salat Id kehilangan konsentrasi dalam beribadah. Tiba-tiba kondisi mulai memanas karena ada saling lempar batu antara orang-orang yang berteriak dan jemaah salat Ied. Tak lama kemudian terdengar suara tembakan dari aparat. "Semua berlari ketakutan," ujar Nurmin. Keadaan pun mulai ricuh. Nurmin melihat beberapa orang melempar batu ke arahnya.
Menurut Nurmin, sejumlah kios dan rumah warga di sekitar markas Koramil terbakar. Nurmin dan beberapa jemaah salat Id lantas masuk ke dalam kantor Koramil. "Kami berkumpul di situ, takut kena batu," ujarnya. Nurmin mengaku rumahnya pun ikut terbakar. "Tapi, saya tidak tahu siapa yang membakar rumah saya karena banyak orang saat itu," ujar Nurmin.
Keterangan Nurmin sejalan dengan kronologi yang disampaikan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai. Sehari setelah kejadian, atau Sabtu, 18 Juli 2015, Komnas HAM mengeluarkan hasil analisis sementara kerusuhan di Karubuga. Dalam salah satu temuannya, Pigai menegaskan, Komnas menduga kerusuhan di Tolikara dipicu oleh surat edaran Gidi Tolikara, yang diteken Nayus dan Marthen.
Pigai menyayangkan surat itu tidak direspons serius oleh pemerintah daerah Tolikara. Padahal, kata dia, jemaat Gidi tidak berhak melarang umat agama lain beribadah. "Pemerintah tidak mengantisipasi surat edaran itu. Mereka tidak melakukan upaya pencegahaan untuk menjaga ketertiban dan keamanan," kata Pigai ketika dihubungi Putri Adityowati dari Tempo. Karena protes itu tidak mendapat respons dari aparat di lokasi kejadian, jemaat Gidi marah dan mengamuk.
Kondisi semakin ricuh karena sejumlah kios, rumah, dan musala, dibakar. Menurut Pigai, mereka protes karena sudah memberi larangan, tapi polisi balik menembak warga. "Masyarakat melampiaskan kemarahan ke arah tempat ibadah. Kalau polisi tidak menembaki warga, pasti reaksi mereka berbeda," kata Pigai. "Tapi yang terpenting kerusuhan ini bukan permusuhan antara Gidi dengan umat Islam."
Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengakui polisi yang menjaga pelaksanaan salat Id di lapangan Koramil, sempat mengeluarkan tembakan peringatan. Namun, massa mengamuk hingga menyebabkan puluhan kios dan musala di sekitar markas Koramil habis terbakar. Kepolisian telah mengantongi calon tersangka. Sudah ada, tapi kami masih melengkapi alat bukti," kata Badrodin di kantornya, Senin, 20 Juli 2015.
Kementerian Sosial mencatat 153 jiwa dari 38 kepala keluarga menjadi korban akibat penyerangan ini. Selain di Wamena, sebagian warga mengungsi di belakang kantor Koramil dan Polres Tolikara. Hingga kini, berbagai pihak telah mengirimkan bantuan, berupa makanan, pakaian, dan uang tunai. Kapolda Papua memberikan Rp 30 juta, Kapolri dan Bupati Tolikara menyumbang masing-masing Rp100 juta.
Kapolri: 2 Tersangka Tolikara pegawai bank berinisial AK dan YW
Polisi sudah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus kerusuhan Tolikara, Papua, yang terjadi pada Jumat (17/7) lalu. Keduanya tersangka berasal dari pihak jamaah Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) yang juga warga asli Tolikara."AK dan YW, dari pihak masyarakat sana, pegawai bank," kata Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, di Istana Negara, Kamis (23/7).
Penetapan tersangka ini, lanjut Badrodin, sudah melalui pemeriksaan yang cukup disertai alat bukti. Motif keduanya melakukan pembakaran itu belum diketahui karena keterangan mereka masih terus didalami.
"Sangkaan bisa melakukan perusakan, kekerasan, bisa juga penghasutan. Mereka diperiksa, dibawa ke Wamena atau Jayapura," tambahnya.
Badrodin sempat menyebut akan ada empat calon tersangka terkait kerusuhan Tolikara. Saat ditanyakan mengapa baru dua orang yang menjadi tersangka, Badrodin menegaskan semua masih di dalam proses.
"Belum menyusul lah," ucapnya singkat.
Dalam kesempatan yang sama, dia memastikan pihak keamanan terus melakukan antisipasi apalagi masih ada warga mengungsi. Mereka juga melakukan antisipasi agar kasus ini tak merembet ke daerah sekitarnya.
"Sudah dari awal sudah kita lakukan. Kita koordinasi dengan ulama, antar umat beragama, menjaga situasi dari tindakan kekerasan, tindakan balasan dan main hakim sendiri. Kedua dari segi preventif, polisi melakukan pengamanan gereja-gereja," pungkasnya.
PASCA PEMBAKARAN & PEMBUBARAN SHALAT IED #TOLIKARA,
TERNYATA SEBELUMNYA GIDI DENDA WARGA YANG TIDAK MAU MENGECAT SIMBOL/BENDERA ISRAEL~
Satgas Pengamanan Daerah Rawan (Pam Rahwan) Yonif 756 Lettu Infantri Wahyu H. mengatakan bahwa ada sebuah bendera Israel yang dibawa oleh massa saat terjadi tragedi tersebut.
“Memang bendera-bendera Israel itu ada di bawa dengan diikat pada kayu. Itu ada selama kegiatan seminar GIDI berlangsung. Saat penyerangan terjadi saya lihat ada satu bendera Israel yang dibawa masaa,” ungkap wahyu kepada wartawan di depan posko Yonif 756/ WMS di Tolikara, Jum’at (25/07/2015) pagi.
Gereja
Injili Di Indonesia (GIDI) mengenakan sanksi denda Rp 500 ribu bagi
warga Tolikara jika tidak mengecat kediamannya dengan bendera Israel.
"Kami didenda Rp 500 ribu jika tidak cat kios, itu kami punya kios," kata seorang pedagang asal Bone, Agil Paweloi (34), Tidak hanya penduduk Muslim, seluruh masyarakat Tolikara ikut diwajibkan mengecat rumah mereka dengan warna bendera Israel. Pantauan Republika.co.id ruas jalan dan ruko-ruko pedagang dicat berwarna biru putih. "Saya ikut cat saja daripada harus bayar Rp 500 ribu," ujarnya.
Waduhh pa BIN, TNI & POLRI kemana yaa?
Apa mau satu persatu pulau Indonesia terpisah jadi milik negara asing?
Lebih baik tangkap mereka yg membuat negara didalam negara..
Tangkap bendera ISIS, GAM, OPM dan bendera lainnya bisa ditahan..
tapi kenapa Israel Tidak pak? Belajarlah dari sejarah berabad-abad lalu..
Jangan nanti bernasib seperti Palestine, Suku Aborigin, Suku Indian yg di jajah tanahnya, lalu penduduk aslinya dimusnahkan perlahan..
"Kami didenda Rp 500 ribu jika tidak cat kios, itu kami punya kios," kata seorang pedagang asal Bone, Agil Paweloi (34), Tidak hanya penduduk Muslim, seluruh masyarakat Tolikara ikut diwajibkan mengecat rumah mereka dengan warna bendera Israel. Pantauan Republika.co.id ruas jalan dan ruko-ruko pedagang dicat berwarna biru putih. "Saya ikut cat saja daripada harus bayar Rp 500 ribu," ujarnya.
Masyarakat di Kabupaten Tolikara mengaku jika tidak mengikuti aturan GIDI, mereka akan diusir. Salah satunya, jika tidak mengecat Kios rumahnya dengan cat berwarna bendera Istrael.
"Kita kan ngikuti saja. Awalnya kan kios saya hijau. Catnya saya beli sendiri Rp 200 ribu," kata Usman (43), salah satu pemilik kios, kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu. Usman mengaku jika pedagang tidak mengikuti aturan pemerintah di sana akan didenda bahkan diusir.
"Iya, harus dicat. Kalau tidak mau, kami pendatang disuruh pulang. Kita diusir, dilempar kaya anjing. Kasar orang hidup di sini," ungkapnya menerangkan.
Dia menjelaskan, Kabupaten Tolikara jauh lebih keras ketimbang kabupaten lain. Warung di sana menggunakan tralis. "Kalau tidak begitu mereka masuk atau ada saja masalahnya. Bilang uang Rp 20 jadi Rp 100. Jika kita tidak kasih, kita kena sasaran."
Usman 10 tahun tinggal di Tolikara. Di sana jika ada himbauan atau pengumuman akan menggunakan mobil keliling, salah satunya mengecat kios dengan warna bendera istrael.
"Kita kan ngikuti saja. Awalnya kan kios saya hijau. Catnya saya beli sendiri Rp 200 ribu," kata Usman (43), salah satu pemilik kios, kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu. Usman mengaku jika pedagang tidak mengikuti aturan pemerintah di sana akan didenda bahkan diusir.
"Iya, harus dicat. Kalau tidak mau, kami pendatang disuruh pulang. Kita diusir, dilempar kaya anjing. Kasar orang hidup di sini," ungkapnya menerangkan.
Dia menjelaskan, Kabupaten Tolikara jauh lebih keras ketimbang kabupaten lain. Warung di sana menggunakan tralis. "Kalau tidak begitu mereka masuk atau ada saja masalahnya. Bilang uang Rp 20 jadi Rp 100. Jika kita tidak kasih, kita kena sasaran."
Usman 10 tahun tinggal di Tolikara. Di sana jika ada himbauan atau pengumuman akan menggunakan mobil keliling, salah satunya mengecat kios dengan warna bendera istrael.
"Ada pengumuman pakai mobil mereka menghimbau seluruh penduduk di Distrik Karubaga untuk mengecat seperti ini," kata usman menerangka
Waduhh pa BIN, TNI & POLRI kemana yaa?
Apa mau satu persatu pulau Indonesia terpisah jadi milik negara asing?
Lebih baik tangkap mereka yg membuat negara didalam negara..
Tangkap bendera ISIS, GAM, OPM dan bendera lainnya bisa ditahan..
tapi kenapa Israel Tidak pak? Belajarlah dari sejarah berabad-abad lalu..
Jangan nanti bernasib seperti Palestine, Suku Aborigin, Suku Indian yg di jajah tanahnya, lalu penduduk aslinya dimusnahkan perlahan..
SAMPAI DETIK INI,
POLISI BELUM ATAU TIDAK MAU MENANGKAP AKTOR INTELEKTUAL DIBALIK KASUS TOLIKARA..
PADAHAL BUKTI SUDAH CUKUP JELAS..
Kenapa harus terjadi kekerasan? bukankah harusnya kita saling menghormati satu sama lain? Kenapa tidak duduk bersama agar tidak merugikan dua belah pihak agar sama-sama dicari solusinya..
Kekerasan hanya akan menyebabkan dendam dimasa lalu, saling membandingka dan akan turun temurun..
belajarlah dari akhlak Nabi Muhammad SAW, Salahudin Al Ayubi, Muhammad Al Fatih dan akhlak para pemimpin sholeh terdahulu....
Islam yg sesungguhnya bukan disampaikan dengan penjajahan, jalan/cara kekerasan & apalagi pemaksaan seseorang untuk memeluk agama.
Kepada umat muslim tolong jaga diri, jangan dendam/terprovokasi/menjelek-jelekan agama lain dimanapun/didunia maya.
Berkata-kata kasar, mencaci, menyumpahi, berbuat anarkis, menghina yg berbeda, ? itukah akhlak kalian?
Terbayangkah Nabi Muhammad SAW, para sahabat, Ulama/Pemimpin orang-orang shaleh terdahulu aklhaknya demikian seperti itu ?
Lebih baik kalian baca Sirah Nabawiyah, Kisah para sahabat, belajar dari sejarah ulama/ilmuan/pemimpin orang-orang sholeh dahulu bagaimana akhlak mereka..
Ini Negara hukum..biar proses hukum yg menyelesaikannya..
Umat muslim menggunakan speaker selain mendengarkan ceramah salah satu fungsinya karena shalat dipimpin oleh imam, sehingga bacaan shalatnya harus terdengar oleh orang-orang dibelakangnya apalagi jika banyak yang shalat..
serta sebagai pertanda untuk mengikuti gerakan shalat yang dipimpin oleh imam tersebut..
Shalat Ied beberapa madzhab ada yang mensunnahkan dilakukan diluar masjid atau di lapangan terbuka..
Shalat Ied itu paling lama 1 jam kok, berkumpul saat matahari belum terbit jam 6 kalai waktu WIB
biasanya jam 7 wib sudah selesai..
alangkah bijak jika seminar pihak dari GIDI bisa ditunda sekitar setengah atau 1 jam-an jika tidak ingin terganggu bacaan takbir atau bacaan shalat imam saat Ied..
Maka sesungguhnya peristiwa tersebut tidak perlu terjadi jika kepala dan hati tetap dingin..
Perlu diketahui para sahabat Non-muslim..
Shalat tidak bisa tunda, menunda-nundanya maka malaikat aka mencatat orang tersebut masuk kedalam golongan yang lalai dalam shalatnya..
Kita sebagai bangsa Indonesia tunggu tindakan aparat hukum..
agar tidak ada lagi diskriminasi menjalankan Ibadah/RASIS sesuai kelegalan hukum Indonesia..
Semoga kita semua bisa dewasa dan hidup saliing berdampingan..
Semoga aparat bisa menindak/menghukum tegas aktor intelektual dibelakang kejadian ini beserta para pemainnya.. agar ia bertanggungjawab/mempertanggungjawabkan atas perbuatannya
agar tidak terjadi lagi dikemudian hari kerusuhan/pebakaran tempat ibadah..
gara-gara segelintir orang yang membawa-bawa nama agama/ras/suku..
Semoga Suatu saat warga papua akan maju dalam segala hal..
dan kelak generasi para pemuda/pemudinya bisa jujur dalam segala hal, bisa diandalkan, ilmu dan amalnya bisa bermanfaat, berguna bagi masyarakat sekitar dalam segala bidang ekonomi, pertanian, pternakan, ilmu pengetahuan, kedokteran, teknologi dan hal lainnya
serta memaksimalkan kekayaan alam di tanah papua
Jangan mau dibodohi oleh orang/golongan yg hanya bertujuan memperkaya diri sendiri atau memperkaya golongan tertentu..
Jangan mau diprovokasi oleh orang sekitar /luar negeri untuk memisahkan diri dari NKRI hanya untuk kepentingan golongan dan memanfaatkan kekayaan alam semata..
SDM asli orang Indonesia yang tulus datang kesana bertujuan mengajari agar warga asli papua kelak bisa maju dalam segala hal .. baik pembangunan dalam segala bidang
tentunya butuh proses yang tidak sebentar..
Jika pemerintahan/pegawai daerah sana tidak korupsi dana yang diberikan pemerintah pusat
serta bisa dipegang janjinya..
Jauhi berjudi, dan minuman keras.. hal-hal tersebut tanpa disadari mempengaruhi kebeningan hati maupun kemampuan otak dalam berfikir serta membuat seseorang menjadi seorang pemalas..
Jangan lelah terus belajar berbagai ilmu..
Hiduplah saling berdampingan dalam berbagai hal yang baik..
references by merdeka, cnnindonesia, republika, lensaindonsia, kompas,tempo