Baca Artikel Lainnya
Menjual aki bekas ke tukang loak ternyata dapat berdampak buruk. Hal ini dapat melanggengkan peleburan timah ilegal.
"Dampaknya bisa mencemari lingkungan di sekitar smelter ilegal itu,” kata Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin di Jakarta, Selasa, 15 Desember 2015.
Apalagi, tempat peleburan yang kebanyakan berada di belakang rumah penduduk ini tak dilengkapi teknologi serta fasilitas yang ramah lingkungan.
Dalam paparan yang disampaikan KPBB, tukang loak menjadi salah satu bagian rantai pasokan aki bekas ke peleburan ilegal ini. Setelah mengganti dengan yang baru, warga banyak menjual aki bekasnya ke tukang loak. Sebuah aki dihargai sekitar Rp 50 ribu per buah. Selanjutnya, aki bekas ini berpindah tangan ke penadah, yang kemudian menyalurkannya ke pelebur ilegal.
Puput, sapaan Safrudin, mengatakan dari 330 ribu ton aki bekas Indonesia setiap tahun, sebanyak 210 ribu jatuh ke smelter ilegal. Sisanya, menurut dia, antara hilang dan masuk ke pabrik pemurnian berizin.
Dampak dari pengolahan aki bekas menjadi timah hitam ilegal ini tak hanya merusak lingkungan, tapi juga fisik penduduk yang tinggal di sekitarnya. Salah satu contoh yang sempat merebak adalah di Desa Cinangka, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Saat itu, kadar timbal atau Plumbum (Pb) di tanah mencapai 270 ribu bagian per juta (ppm); jauh di atas standar aman WHO yang hanya 400 ppm. Kadar Pb di dalam darah penduduknya juga mengejutkan. Anak-anak memiliki kandungan terendah 16,2 mcg/dL hingga tertinggi 65 mcg/dL –hampir tujuh kali lipat dari batas aman WHO, yakni 10 mg/dL.
Akibatnya, banyak anak mengalami cacat mental dan fisik. Bagi orang dewasa, banyak yang terjangkit kerusakan fungsi otak, gagal ginjal, darah tinggi, dan bagi wanita, kehilangan libido juga keguguran spontan. Sebaiknya bagi ibu yang sedang mengandung agar tak menghirup apa lagi berdekat-dekatan
Dampak ini seolah tak membuat gentar para pelebur. Memang, penghasilan yang mereka dapat tak main-main, bisa Rp 30-40 juta per bulan, sementara modal yang dibutuhkan hanya sekitar Rp 20 juta.
Meski saat ini kondisi Cinangka sudah membaik, Puput berharap pemerintah dapat membuat sistem regulasi yang menutup akses aki bekas ke para pelebur ilegal.
“Dibuat regulasi satu pintu. Jadi aki bekas dikembalikan ke distributor tempat pemilik kendaraan membeli. Jadi langsung diolah mereka dan diberikan ke pabrik pelebur yang berizin,” kata Puput. Rancangan regulasi ini telah diberikan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta diharapkan segera berlaku.
Meski sekotak kecil, aki menyimpan bahan berbahaya, yakni senyawa mercuri. Senyawa logam berat ini bisa menyebabkan berbagai penyakit mematikan dalam kurun waktu lama. Bahaya limbah aki bekas ini kurang mendapatkan perhatian pemerintah meski limbah aki bekas bahaya mematikan.
“Bahaya mercuri dari aki sebagai bahan berbahaya dan beracun ini tidak terasa pada tahun-tahun awal. Dia akan menyerang pada 10 tahun setelah terpapar,” kata Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel saat paparan di konferensi pers mengenai bahaya limbah B3 di Jakarta, (15/12).
Menurut Puput panggilan Ahmad Safrudin, setiap tahun limbah aki bekas bahaya mematikan di seluruh Indonesia sekitar 300 ribu ton. “Baru sekitar 1/3 nya dikelola oleh lembaga yang resmi. Sisanya oleh lembaga seperti industri kecil yang tidak memiliki standar operasi yang benar,” jelasnya.
Alfred Sihombing dari Non Ferindo Utama, sebuah perusahaan pengelolaan aki bekas menyebutkan, materi utama dari daur ulang aki adalah timah hitam atau plumbum. “Hasil PB daur ulang ini akan dimanfaatkan untuk bahan baku aki,” jelasnya.
Sayangnya, menurut Alfred, aturan mengenai proses pengolahan limbah ini belum jelas. Jadinya, limbah aki bekas bahaya mematikan. Sehingga, masih banyaknya pengolahan limbah B3 yang mencemari lingkungan masyarakat.
Peleburan aki bekas yang dilakukan secara tradisional sejak tahun 1970-an menyisakan masalah di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Jejak pencemaran logam berat ditemukan di semua titik di desa ini dan telah meracuni penduduk terutama anak-anak.
Kasat mata, bekas-bekas lempengan elektroda-berlapis-timah yang menghitam, dan serat (fiber) elemen pembatas mudah sekali dijumpai di pinggir-pinggir jalan dan di halaman penduduk. Begitu juga di lapangan sepakbola di dekat SDN Cinangka 02, tempat anak-anak menghabiskan waktunya untuk bermain.
Di salah satu rumah warga, casing aki bekas yang berukuran besar bahkan dipakai sebagai ember dan bak penampung air. Asal sudah dibersihkan dan tidak menyebabkan gatal, pemilik rumah menganggapnya aman-aman saja. Tidak terpikir sedikitpun sebelumnya bahwa bekas timbal (Pb) yang masih melekat merupakan racun yang berbahaya.
Hendrawan, salah seorang perangkat desa yang ditemui detikHealth menjelaskan, industri peleburan ilegal mulai marak di tempat itu sejak tahun 1970-an. Pada masa itu, industri peleburan resmi kebanjiran import aki bekas dari Taiwan. Karyawan yang membawa pulang aki bekas untuk dikerjakan di rumah masing-masing akhirnya menularkan ketrampilan itu ke tetangga yang lain.
"Modalnya cuma tungku sama blower, siapa saja bisa mengerjakan. Dulu sih banyak, tapi sekarang tinggal 6 rumah saja yang masih punya tungku. Itu pun banyak yang sudah berhenti beroperasi karena warga lainnya mulai banyak yang protes, mulai sadar bahayanya," katanya.
Industri ilegal yang dikerjakan secara tradisional ini banyak mencemari lingkungan. Fiber atau serat dari elemen-pembatas bisa menyebabkan gatal-gatal saat mengalami kontak langsung dengan kulit. Asam sulfat (H2SO4) dalam cairan aki yang dibuang sembarangan akan mencemari sumber air, sedangkan asap pembakarannya membawa pertikel logam berat termasuk Pb.
Pekerja yang melakukan peleburan maupun penduduk di sekitarnya paling banyak terpapar racun Pb saat menghirup asap pembakaran. Partikel Pb yang tidak terhirup juga akan mengalami deposisi atau pengendapan di permukaan tanah. Anak-anak yang senang bermain di lapangan kemudian makan tanpa cuci tangan banyak terpapar lewat jalur ini.
"Untuk sekarang, 55 persen paparan Pb pada anak terjadi melalui tanah," kata Ahmad Syafrudin, direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), yang saat ini tengah mengerjakan proyek enkapsulasi limbah aki bekas di desa tersebut.
Riset KPBB bersama Blacksmith Institute dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa cemaran Pb dalam darah anak-anak Desa Cinangka mencapai rata-rata 36,62 mcg/dL. Kadar tertinggi bahkan mencapai 65 mcg/dL, hampir 7 kali lipat dari ambang yang ditetapkan WHO yakni 10 mcg/dL
Tingginya pencemaran Pb di Desa Cinangka diyakini berhubungan dengan banyaknya kasus gangguan mental yang dialami anak-anak di wilayah tersebut. Dari 240 anak yang diamati, sebanyak 12 anak (5 persen) terindikasi idiot. Belum ada studi epidemilogi untuk memastikan bahwa keduanya memiliki hubungan sebab akibat, namun beberapa kalangan meyakini demikian.
Pakar kesehatan lingkungan dari Universitas Indonesia, Dr R Budi Haryanto, SKM, MKes, Msc, tak meragukan adanya keterkaitan tersebut. Dari bukti-bukti awal yang ditemukan KPBB, ia menilai hampir bisa dipastikan bahwa gangguan mental yang dialami anak-anak Desa Cinangka disebabkan oleh tingginya pencemaran Pb selama puluhan tahun.
"Bisa saja memang ada faktor lain. Tapi nyatanya itu hanya terjadi di Cinangka, tidak di tempat lain yang tidak ada peleburan aki bekasnya," kata Budi.
Beroperasi Sembunyi-sembunyi
Bahaya pencemaran Pb sebenarnya mulai disadari warga, terbukti dengan banyaknya dukungan terhadap proyek isolasi limbah aki bekas yang sedang dilakukan KPBB dan Blacksmith Institute. Selain operator backhoe, hampir semua pekerja yang dilibatkan dalam proyek tersebut berasal dari kalangan penduduk setempat yang memang terbiasa menangani limbah semacam itu.
Namun begitu, industri peleburan aki bekas belum benar-benar mati di desa tersebut. Aktivitas peleburan masih kerap dilakukan meski harus sembunyi-sembunyi pada malam hari. Beberapa pemilik tungku sepertinya masih bergantung pada industri ilegal tersebut dan sulit untuk beralih ke mata pencaharian lain.
"Memang sulit, sebab dari peleburan seperti itu mereka bisa menghasilkan Rp 30-40 juta perbulan," kata Syafrudin yang mengaku masih sering menerima keluhan dari warga tentang adanya bau asap dari tungku-tungku peleburan, terutama setelah lewat tengah malam.
Hasil peleburan Pb biasanya akan ditampung oleh agen, yang kemudian akan menyalurkannya lagi ke industri yang membutuhkan seperti industri elektronik dan juga aki rekondisi. Diakui oleh Syafrudin, tingginya nilai ekonomi dari industri peleburan aki bekas ilegal memicu keengganan dari sebagian warga untuk beralih ke mata pencaharian yang lain.
Saat aki sudah rusak dan harus diganti, pemilik kendaraan ada yang langsung menuju ke toko untuk membeli aki baru. Aki lama yang rusak kemudian ditaruh begitu saja di sudut rumah hingga berdebu.
Padahal, aki bekas yang sudah tidak terpakai itu bisa ditukar dengan uang, meski nilainya tidak seberapa. Beberapa toko aki juga menyediakan tukar tambah aki.
Program tukar tambah itu, menurut Direktur Pemasaran PT Astra Otoparts Tbk, Yusak Kristian, dibuat untuk menguntungkan konsumen.
Bukan hanya sekadar bisa mendapat potongan dari barang lama, cara ini juga sebagai salah satu langkah kepedulian terhadap lingkungan.
"Kebijakan kami melakukan tukar tambah aki bekas itu lebih ke arah kepedulian terhadap lingkungan. Masuk dalam program green kami, aki bekas itu didaur ulang," kata Yusak di Jakarta.
Langkah daur ulang diperlukan agar limbah yang mengandung bahan kimia berbahaya itu bisa ditangani dengan lebih baik. Tidak dibiarkan rusak begitu saja hingga mencemarkan lingkungan.
"Kami salurkan ke pengelola limbah aki yang legal. Artinya, mereka punya izin atau sertifikat untuk bisa mengelola limbah aki, bukan hanya sekadar tukar tambah aki bekas dengan yang baru," lanjut dia.
Selain itu, langkah ini juga dilakukan untuk mencegah adanya peredaran aki bekas yang sudah diperbaiki. Meski harganya murah, namun aki bekas tidak bisa dijamin keamanan serta kualitasnya.
refernces by tempo, motorplus, detik ,viva