Baca Artikel Lainnya
Orang bilang, selalu ada godaan besar saat kita berpegang teguh pada
sebuah keputusan. Bagaimana seseorang menanggapi godaan itu, apakah akan
tetap kuat pada pendirian atau goyah, tergantung masing-masing orang.
Saya pernah berada dalam situasi itu, mendapat materi melimpah, tetapi
harus melepas kewajiban saya sebagai seorang muslimah.
Saya adalah
wanita sederhana, dibesarkan oleh keluarga yang memiliki pikiran
modern. Sejak kecil, saya dibebaskan untuk mengambil keputusan apapun.
Orang tua saya tidak pernah meminta saja harus masuk sekolah mana, harus
masuk jurusan apa, tidak seperti orang tua kebanyakan, yang sering
memaksa anak mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kata
hati. Maka saya tumbuh menjadi gadis mandiri yang ambisius. Menurut
saya, ambisius itu bagus, karena tanpa sikap ambisius, seseorang hanya
akan jadi pemalas yang membebani orang lain.
Sikap itu membuat
saya selalu mendapatkan nilai-nilai terbaik di sekolah. Mendapat
beasiswa menjadi hal biasa, karena tanpa mengajukan beasiswa sekalipun,
sekolah selalu mengajukan saya untuk menerima beasiswa berprestasi.
Tentu saja saya bersyukur, karena itu adalah bukti bahwa saya tidak
main-main dengan pendidikan, saya juga bisa meringankan beban kedua
orang tua. Bagi saya, pendidikan adalah jalan terbaik untuk pegangan
masa depan. Setidaknya, kelak saya akan menjadi ibu, maka pengetahuan
adalah salah satu pondasi kuat untuk mendidik anak-anak, dengan agama
sebagai pondasi agama tentunya.
Walaupun ambisius, saya tidak
meninggalkan nilai-nilai agama yang sudah diberikan kedua orang tua
saya. Saya tidak pernah dipaksa memakai busana muslimah atau jilbab.
Kesadaran itu datang saat saya duduk di kelas 3 SMA. Ada keyakinan kuat
untuk memperbaiki penampilan saya. Maka sejak saat itu, saya selalu
memakai jilbab. Sedikit demi sedikit belajar memakai jilbab sesuai yang
diperintahkan. Bukan hal yang mudah, saat itu masih sedikit yang memakai
jilbab. Kadang saya masih iri dengan teman-teman saya yang bisa memakai
pakaian dengan jenis yang beragam. Beruntung, saya tetap bertahan
dengan keputusan saya.
Tahun berlalu dan saya lulus dari sebuah
perguruan tinggi sebagai Sarjana Akuntansi di tahun 2003. Sama seperti
lulusan pada umumnya, saya mulai melempar surat lamaran kerja di
berbagai perusahaan. Dengan nilai yang memuaskan, bukan hal yang sulit
untuk menerima panggilan kerja. Hingga saya berhasil melewati empat
tahapan tes di sebuah bank swasta yang cukup terkenal. Saat memasuki
tahap wawancara, pihak bank tersebut menawarkan posisi dan jabatan yang
jarang didapat oleh fresh graduate seperti saya. Menurut mereka, saya
punya kemampuan analisis yang baik, sehingga sangat mungkin ditempatkan
di posisi yang lebih tinggi dibanding posisi yang saya lamar.
Saya
bahagia, seperti mendapatkan berkah yang besar sekali. Tetapi
kebahagiaan saya hanya sesaat, karena pihak bank meminta saya untuk
mengikuti salah satu syarat yang ada, yaitu memakai seragam untuk
karyawati. Seragam tersebut memakai kemeja, blazer lengan panjang, dan
rok selutut. Rambut harus diperlihatkan dan digulung rapi. Dengan kata
lain, saya harus melepas jilbab dan pakaian muslimah yang melekat di
tubuh saya.
Menanggapi hal itu, saya mencoba melakukan tawaran
untuk memakai seragam rok panjang dan memakai jilbab yang rapi. Tetapi
peraturan bank tersebut tidak bisa dengan mudah diganti begitu saja.
Sehingga mereka kembali menawarkan gaji dan bonus yang sangat besar.
Jujur, saya manusia biasa, jumlah uang yang ditawarkan sangat banyak.
Saya bisa memberangkatkan orang tua ke Tanah Suci, itu adalah salah satu
cita-cita saya. Saya bisa mewujudkan cita-cita itu dalam waktu beberapa
bulan saja.
Hati saya seolah mengalami pertengkaran. Pihak bank
bersedia menunggu jawaban saya selama tiga hari. Selama tiga hari, saya
curhat dengan orang tua terlebih dahulu. Mereka menganggap saya sudah
dewasa untuk mengambil keputusan, sehingga semua diserahkan kembali pada
saya. Batin saya belum tenang, kesempatan tidak datang dua kali. Tetapi
apakah saya harus mengorbankan perintah Allah SWT demi semua materi
itu? Setelah melakukan Salat Istikhaarah, saya mantap untuk menolak
tawaran itu. Saya menolaknya dengan halus, pihak bank juga melepas saya
dengan baik.
Tidak apa-apa, mengapa takut kekurangan materi,
karena saya yakin, Allah SWT lebih kaya dibandingkan tawaran yang
diberikan. Mengenai impian untuk kedua orang tua saya, naik haji, pasti
ada jalan. Niat baik selalu mendapat jalan yang baik, saya percaya akan
hal itu.
Dua bulan setelah kejadian tersebut, saya diterima
bekerja di sebuah bank pemerintah. Memang, gajinya tidak sebesar tawaran
yang lalu, tetapi hati ini tenang karena saya diizinkan memakai seragam
yang sesuai. Jika percaya akan sebuah keyakinan, maka itulah yang
terjadi. Pihak bank menilai prestasi kerja saya sangat bagus. Bonus
mengalir hampir setiap bulan. Sedikit demi sedikit saya menabung, untuk
masa depan saya dan tabungan haji kedua orang tua.
Alhamdulillah,
di tahun 2008, kedua orang tua saya berangkat ke Tanah Suci. Saya tidak
ikut, biarlah kedua orang tua saya berangkat terlebih dahulu, saya yakin
suatu saat kelak akan menyusul ke sana.
Sekarang, kehidupan saya
lebih baik. Saya juga sudah menikah di tahun 2009. Bersama suami saya,
kami sudah punya tabungan sendiri untuk pergi ke Tanah Suci, semoga
impian kami terkabul beberapa tahun lagi.
Itulah kisah saya yang
sempat goncang saat melihat sejumlah materi yang ditawarkan. Tetapi
keyakinan saya memilih untuk tetap di jalan-Nya, dan saya tidak
menyesali keputusan tersebut, tidak sedikitpun.
Semoga kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi Anda.
references by http://adf.ly/LFObP