Baca Artikel Lainnya
Puluhan Muslim Rohingya Tewas Terpanggang di Thailand
Sebuah kebakaran di kamp pengungsi Muslim Rohingya Myanmar di Thailand utara menyebabkan setidaknya 42 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka, kata gubernur provinsi."Korban tewas terbaru yang kita dapat dengan mengkonfirmasi melalui walkie-talkie militer adalah 42 orang," kata Mae Hong Son gubernur provinsi Narumol Paravat AFP, Sabtu (23/3).
Pejabat itu menambahkan bahwa jumlah korban tewas akibat kebakaran itu kemungkinan akan meningkat lebih lanjut ketika pekerja penyelamat sedang mencari korban lain di TKP.
Ratusan warga muslim Myanmar telah meninggalkan rumah mereka menyusul letusan bentrokan baru antara ekstremis Buddha dan Muslim Rohingya di Meiktila, terletak sekitar 130 kilometer (80 mil) utara ibukota Naypyidaw.
Setidaknya 20 orang telah kehilangan nyawa mereka dalam bentrokan pada Rabu lalu setelah ekstremis Buddha membakar sejumlah masjid di kota itu.
Setelah tiga hari kerusuhan mematikan, Presiden Myanmar Thein Sein pada Jumat mengumumkan keadaan darurat di kota Meiktila.
Pemerintah Myanmar menolak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara dan memberikan label minoritas dari sekitar 800.000 orang sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Rusuh Meluas, Masjid-Rumah Terus Dibakar
Kerusuhan di Kota Meiktila, bagian tengah Myanmar, kembali bergolak. Jam malam dan status darurat yang berlaku di kota yang terletak di Provinsi Mandalay itu belum mampu menghentikan kekerasan.
Kemarin (24/3) konflik sektarian itu dilaporkan justru meluas ke beberapa kota lain di provinsi yang sama.
Sebuah masjid dan tidak kurang dari 50 rumah dilaporkan hangus terbakar akibat aksi kekerasan di Kota Yamethin, sekitar 55 kilometer dari Meiktila, Sabtu malam (23/3) dan dini hari kemarin.
’’Sebagian besar rumah yang menjadi sasaran aksi pembakaran adalah milik warga muslim,’’ kata salah seorang pejabat kota.
Tetapi, kekerasan di kota yang terletak tak jauh dari Kota Naypyidaw, ibu kota Myanmar, itu tidak sampai membawa korban jiwa.
’’Sebelumnya, insiden seperti ini tidak pernah terjadi di sini,’’ sesal pejabat yang tidak mau menyebutkan namanya tersebut.
Demi mencegah meluasnya aksi sektarian di Yamethin, aparat keamanan langsung menangkap sejumlah tersangka. Kementerian Informasi Myanmar melaporkan bahwa polisi telah menciduk 52 orang yang membawa senjata. Sebanyak 13 di antaranya adalah warga asal Meiktila.
Selain di Yamethin, kerusuhan juga terjadi di Kota Lewei, sekitar 130 kilometer selatan Meiktila. Di kota tersebut, sekelompok orang membakar sebuah masjid dan sejumlah bangunan. Namun, tidak ada laporan soal jatuhnya korban jiwa maupun luka dalam insiden itu.
Aksi kekerasan yang sebenarnya bermula dari perselisihan biasa, dan tak terkait dengan agama atau keyakinan apapun, itu telah merenggut sedikitnya 32 korban jiwa dalam tiga hari terakhir.
Berawal dari perselisihan di sebuah toko emas milik warga Muslim di Meiktila, sekitar 130 kilometer utara Naypyidaw atau sekitar 550 kilometer utara Yangon, ratusan komunitas Buddha dan Muslim kemudian terlibat bentrok di jalanan.
Pemerintah sebetulnya telah memberlakukan jam malam dan bahkan juga status darurat untuk mencegah meluasnya konflik di Meiktila tersebut. Tetapi, aksi pembakaran tidak berhenti. Kebanyakan korban kekerasan itu adalah warga Muslim, minoritas di Myanmar.
Kemarin, utusan khusus PBB Vijay Nambiar berkunjung ke Myanmar. Nambiar sengaja melihat langsung Meiktila yang menjadi ajang kerusuhan sektarian sejak Rabu lalu (20/3).
Dalam lawatannya kemarin, Nambiar menyaksikan kerusakan yang terjadi di kota paling strategis di Provinsi Mandalay itu.
’’Penting (bagi pemerintah) untuk memburu para pelaku kekerasan, menangkap mereka, dan kemudian memberikan hukuman,’’ desak diplomat asal India tersebut. Penasihat khusus sekjen PBB untuk Myanmar itu pun mengimbau Presiden Thein Sein dan jajaran pemerintahannya untuk bertindak tegas.
Selain meninjau lokasi kekerasan, Nambiar mengunjungi ribuan warga Meiktila yang tinggal di tempat pengungsian. Mereka sengaja meninggalkan tempat tinggal mereka untuk berlindung di stadion atau kuil dan biara yang dijaga ketat aparat.
’’Saya bisa merasakan kecemasan dan ketakutan di antara para pengungsi. Tapi, sama sekali tak ada kebencian di sana,’’ ungkapnya seusai bertemu para pengungsi.
Dalam kesempatan itu, Nambiar mengungkapkan bahwa kekerasan yang terjadi di Meiktila dan lantas merembet ke Yamethin maupun Lewei itu berasal dari ’’luar’’.
Dia yakin warga Myanmar tak menginginkan perpecahan. Buktinya, warga yang sama-sama menjadi korban amuk massa tetap saling menolong tanpa peduli latar belakang agama.
’’Mereka (para pengungsi) sama-sama merasa bagian dari masyarakat. Ini hal yang positif karena selama ini mereka telah hidup berdampingan dan saling bekerja sama,’’ lanjut tokoh 70 tahun tersebut.
Selain muslim yang merupakan bagian dari masyarakat minoritas di Myanmar, puluhan warga Meiktila yang beragama Buddha menjadi korban kerusuhan.
Kemarin surat kabar pemerintah Myanma Ahlin berusaha menyejukkan situasi dengan menerbitkan seruan damai dari para pemuka agama. Selain rohaniwan Islam dan Buddha, tokoh-tokoh Kristen dan Hindu ikut ambil bagian.
’’Kami mengimbau pemerintah segera mengamankan keadaan dan mengerahkan aparat dalam jumlah cukup untuk melindungi masyarakat,’’ seru mereka.
Para pemuka agama yang tergabung dalam Organisasi Persaudaraan Antargama (IFO) tersebut mengungkapkan keprihatinan mereka atas jatuhnya banyak korban akibat aksi sektarian yang bermula di Meiktila itu. Selain korban jiwa, masyarakat harus menanggung kerugian materi yang tidak sedikit. Para rohaniwan IFO itu berharap kerusuhan tidak akan meluas lagi.
Dalam pernyataan gabungan pertama pasca-pecahnya kerusuhan di Meiktila, para tokoh IFO tersebut meminta bantuan bhiksu Buddha. Itu dimaksudkan agar kerusuhan tidak merembet ke kota-kota lain di Provinsi Mandalay.
Karena sebagian besar warga Myanmar beragama Buddha, IFO yakin seruan dari para bhiksu akan lebih didengarkan oleh masyarakat.
Bersamaan dengan itu, sejumlah kelompok HAM maupun pemerintah Inggris dan AS juga mengimbau para tokoh di Myanmar membantu untuk menghentikan konflik. Mereka mengusulkan dialog antaragama demi mencegah berlarutnya aksi sektarian.
Selain menyerukan perdamaian, PBB juga siap menyalurkan bantuan kemanusiaan untuk warga Myanmar.
Tumpulnya peran pemuka agama
Sejatinya jika terjadi kasus silang pendapat berujung bentrokan antar dua agama, pemimpin mereka mampu meredakan kemarahan, emosi, dan mengadakan dialog demi meredam konflik. Namun tidak yang terjadi di Myanmar. Para biksu malah berada di garda depan, siap merusak seluruh hal berseberangan dengan mereka.Kasus Rohingya kemarin menjadi saksi atas keterlibatan biksu-biksu Myanmar dalam upaya menyingkirkan etnis minoritas itu. Sebuah tudingan sebenarnya keji namun melihat mereka tumpah ke jalan mengadakan demonstrasi dan menuntut Burma mengusir Rohingya rasanya sulit dipercaya. Faktanya para biksu memang secara sadar bahkan menghiasi kulit mereka dengan tulisan-tulisan katakan tidak pada Rohingya.
Apa yang membuat biksu seharusnya menjadi kekuatan vital proses demokrasi di Myanmar namun melakukan tindakan diskriminasi? Bukan hanya membenci etnis minoritas mereka juga melarang pihak asing membantu Rohingya. Sebuah tindakan yang kenakak-kanakan sekaligus emosional untuk ukuran pemuka agama berkewajibab menyebarkan kebaikan.
Kemarin utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk penyelesaian konflik Myanmar, Vijay Nambiar, meminta semua pihak terlibat konflik di Kota Meikhtila untuk bisa menahan diri. Kota ini menjadi wilayah pertempuran berdarah antara kelompok Buddha dan muslim.
Kondisi kota itu kini darurat. Presiden Thein Sein memang telah mengerahkan pasukannya namun ini justru membuat kerusuhan meluas ke dua kota lain di selatan negara itu.
Stasiun televisi milik pemerintah menyatakan dua hari lalu sekelompok massa telah membakar sebuah masjid dan 50 rumah di Kota Yamethin, sekitar 64 kilometer dari Meikhtila. Sementara kerusuhan juga terjadi di Kota Lewei, sebelah selatan Ibu Kota Naypyidaw, di mana sebuah masjid dan beberapa rumah juga dibakar massa.
Pemerintah Myanmar menyatakan jumlah korban tewas mencapai 32 orang dan telah menahan setidaknya 35 orang yang diduga terlibat dalam pembakaran dan kekerasan di wilayah itu.Kerusuhan antara kelompok Buddha dan muslim juga telah membuat 10 ribu orang mengungsi.
Sejagat telah menyerukan agar Myanmar lebih tegas dan menghukum siapa pun yang terlibat kekerasan termasuk para biksu dan ini menyebabkan junta militer menghadapi dilema.
references by merdeka, fajar, wartanews
images by mcot.ne, bangkokpost.co.th, presstv.ir