Baca Artikel Lainnya
Drop out alias berhenti kuliah. Banyak tokoh entrepreneur besar melakukan ini. Pada tahun 1974, pendiri Microsoft Corp., Bill Gates, berhenti kuliah untuk merintis bisnisnya yang kala itu masih berupa startup (perusahaan rintisan digital).
Begitu pula dengan pendiri Virgin Group, Richard Branson. Pria yang terkenal dengan jiwa petualangnya itu berhenti sekolah pada tahun 1966, saat usianya masih 16 tahun, demi merintis bisnis majalah pertamanya, Student Venture.
Begitu pula dengan pendiri Virgin Group, Richard Branson. Pria yang terkenal dengan jiwa petualangnya itu berhenti sekolah pada tahun 1966, saat usianya masih 16 tahun, demi merintis bisnis majalah pertamanya, Student Venture.
“Tadinya saya ingin menjadi editor atau jurnalis. Saya tidak sungguh-sungguh tertarik untuk menjadi seorang entrepreneur, tetapi saya sadar saya harus menjadi entrepreneur agar majalah saya bisa bertahan,” kata Branson.
Selain Gates dan Branson, masih ada pendiri Oracle, Larry Ellison; pendiri Dell Computers Inc, Michael Dell; pendiri Apple Inc., Steve Jobs; dan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg. Mereka berhenti kuliah untuk fokus merintis usaha.
Cerita tentang mereka membuktikan bahwa pendidikan bukanlah faktor utama yang menentukan kesuksesan para entrepreneur. Masih ada faktor-faktor lainnya. Tetapi, ini bukan berarti pula bahwa pendidikan bukan hal penting.
Menurut daftar 400 orang terkaya di Amerika Serikat, Forbes 400, yang dirilis pada 2012, terdapat “hanya” 63 entrepreneur yang drop out dari kampusnya. Mereka termasuk Bill Gates serta 2 co-founder Facebook, Mark Zuckerberg dan Dustin Moskovitz. Jumlah itu hanyalah 15% dari jumlah miliarder yang ada dalam daftar. Sisanya lebih besar, yakni sebanyak 85%, menyelesaikan kuliah mereka.
Dalam daftar itu, terdapat 29 orang miliarder yang meraih gelar Master of Science. Di antara mereka adalah investor Warren Buffett; co-founder LinkedIn, Reid Hoffman; serta 2 co-founder Google, Sergey Brin dan Larry Page.
Pada dasarnya, yang membuat mereka menjadi orang besar adalah passion dan tekad mereka untuk melihat ide-idenya sukses dieksekusi. Mereka tidak takut gagal dan ingin melakukan hal-hal lebih, yang berbeda dari orang lain.
Seperti kata CEO dan co-founder Google, Larry Page, “Apa yang menarik dari bekerja jika hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah mengalahkan perusahaan lain yang melakukan hal yang sama dengan kita?”
Seseorang bisa saja sukses tanpa pendidikan formal. Tetapi, pelajaran di kampus atau sekolah bisnis tentunya akan memperkaya para mahasiswa dan calon entrepreneur dengan ilmu dan pengetahuan soal bisnis dan marketing.
Selain itu, ilmu dan gelar sarjana, apalagi yang didapat dari kampus ternama, bisa juga berperan menambah rasa percaya diri seseorang. Satu hal lagi yang tak kalah penting—belajar di perguruan tinggi juga dapat membuka network.
Sementara teori-teori dan simulasi bisnis yang diberikan ketika kuliah menjadi bekal yang berguna bagi entrepreneur atau calon entrepreneur, pada akhirnya pengalaman di dunia bisnis yang sesungguhnyalah yang akan menjadi guru yang paling hebat. Kesuksesan mereka ditentukan bagaimana mereka menghadapi tantangan dengan kreatif dan inovatif, bagaimana mereka bertahan dan berusaha bangkit ketika gagal.
Drop out demi merintis startup belum tentu keputusan yang bijak—kecuali jika bisnis yang dirintis tengah berkembang pesat, atau si pendiri punya jaringan yang luas, atau dia adalah orang jenius, atau sangat beruntung. Tetapi dalam bisnis, entrepreneur tidak mungkin mengandalkan keberuntungan saja, bukan?
Menurut daftar 400 orang terkaya di Amerika Serikat, Forbes 400, yang dirilis pada 2012, terdapat “hanya” 63 entrepreneur yang drop out dari kampusnya. Mereka termasuk Bill Gates serta 2 co-founder Facebook, Mark Zuckerberg dan Dustin Moskovitz. Jumlah itu hanyalah 15% dari jumlah miliarder yang ada dalam daftar. Sisanya lebih besar, yakni sebanyak 85%, menyelesaikan kuliah mereka.
Dalam daftar itu, terdapat 29 orang miliarder yang meraih gelar Master of Science. Di antara mereka adalah investor Warren Buffett; co-founder LinkedIn, Reid Hoffman; serta 2 co-founder Google, Sergey Brin dan Larry Page.
Pada dasarnya, yang membuat mereka menjadi orang besar adalah passion dan tekad mereka untuk melihat ide-idenya sukses dieksekusi. Mereka tidak takut gagal dan ingin melakukan hal-hal lebih, yang berbeda dari orang lain.
Seperti kata CEO dan co-founder Google, Larry Page, “Apa yang menarik dari bekerja jika hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah mengalahkan perusahaan lain yang melakukan hal yang sama dengan kita?”
Seseorang bisa saja sukses tanpa pendidikan formal. Tetapi, pelajaran di kampus atau sekolah bisnis tentunya akan memperkaya para mahasiswa dan calon entrepreneur dengan ilmu dan pengetahuan soal bisnis dan marketing.
Selain itu, ilmu dan gelar sarjana, apalagi yang didapat dari kampus ternama, bisa juga berperan menambah rasa percaya diri seseorang. Satu hal lagi yang tak kalah penting—belajar di perguruan tinggi juga dapat membuka network.
Sementara teori-teori dan simulasi bisnis yang diberikan ketika kuliah menjadi bekal yang berguna bagi entrepreneur atau calon entrepreneur, pada akhirnya pengalaman di dunia bisnis yang sesungguhnyalah yang akan menjadi guru yang paling hebat. Kesuksesan mereka ditentukan bagaimana mereka menghadapi tantangan dengan kreatif dan inovatif, bagaimana mereka bertahan dan berusaha bangkit ketika gagal.
Drop out demi merintis startup belum tentu keputusan yang bijak—kecuali jika bisnis yang dirintis tengah berkembang pesat, atau si pendiri punya jaringan yang luas, atau dia adalah orang jenius, atau sangat beruntung. Tetapi dalam bisnis, entrepreneur tidak mungkin mengandalkan keberuntungan saja, bukan?
references by http://adf.ly/JLDIX