Baca Artikel Lainnya
Hari jumat adalah hari yang mulia bagi kaum muslimin, dan tentunya hari yang agung di sisi Allah Ta'ala.
Allah telah mengistimewakan hari jumat bagi kaum muslimin dan menjadikannya sebagai hari raya tiap pekan untuk mereka.
Pada
hari itu, Allah mewajibkan shalat Jumat disertai dengan khutbahnya.
Allah memerintahkan kepada kaum muslimin agar bersama-sama mendatanginya
untuk menyatukan hati dan membina persatuan mereka.
Fungsi
lainnya, kegiatan jumatan menjadi media ta'lim (pengajaran) dan untuk
memberikan peringatan bagi yang lalai. Juga sebagai media meluruskan
orang yang menyimpang.
Oleh sebab
itu, Allah mengharamkan semua orang dari kesibukan dengan urusan duniawi dan setiap
aktivitas yang memalingkan dari menghadiri shalat Jumat ketika sudah
dikumandangkan panggilan shalat Jumat.
Maka ketika sudah mendekati Waktu Jum'at, hentikanlah segala aktifitas Anda,
Jangan sampai mata hati Anda dibutakan oleh ALLAH SWT dan Anda nantinya tidak akan merespon untuk segera melaksanakan shalat ketika suara Adzhan dikumandangkan setiap harinya
Ancaman/dosa meninggalkan Shalat Jum'at
Maka ketika sudah mendekati Waktu Jum'at, hentikanlah segala aktifitas Anda,
Jangan sampai mata hati Anda dibutakan oleh ALLAH SWT dan Anda nantinya tidak akan merespon untuk segera melaksanakan shalat ketika suara Adzhan dikumandangkan setiap harinya
Ancaman/dosa meninggalkan Shalat Jum'at
Sebagaimana yang sudah maklum, shalat
Jum'at termasuk perkara fardhu. Tidak akan tegak agama seorang muslim
kecuali dengan menunaikan dan menjaganya sebagaimana shalat-shalat
fardhu lainnya. Terlebih, Allah telah firmankan langsung dalam
Kitab-Nya,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسَعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Jumu'ah: 9)
Karenanya, meninggalkan shalat Jum'at
tanpa sebab yang syar'i –sepeti sakit parah, safar, hujan sangat lebat-
adalah dosa besar. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah memperingatkan dengan keras atas siapa saja yang melalaikannya,
لَيَنْتَهِيَنَّ
أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى
قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
“Hendaknya suatu kaum berhenti dari
meninggalkan shalat Jum’at atau Allah akan menutup hati mereka kemudian
menjadi bagian dari orang-orang yang lalai.”
(HR. Muslim dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar)
Dalam Musnad Ahmad dan Kutub Sunan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena meremehkannya, pasti Allah menutup mati hatinya.”
Diriwayatkan dari Usamah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ الْمُنَافِقِيْنَ
"Siapa yang meninggalkan tiga Jum'at
(shalatnya) tanpa udzur (alasan yang dibenarkan) maka ia ditulis
termasuk golongan orang-orang munafik."
(HR. Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkehendak akan membakar rumah-rumah yang di dalamnya terdapat para lelaki yang meninggalkan shalat Jum’at. Beliau bersabda,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ
“Sungguh aku berkeinginan menyuruh
seseorang untuk shalat mengimami manusia kemudian aku membakar
rumah-rumah para lelaki yang meninggalkan shalat Jum’at.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullaah
menjelaskan dalam satu riwayat bahwa shalat yang dimaksud adalah shalat
Isya’, dalam riwayat lain shalat Jum’at, dan dalam riwayat lainnya
shalat secara mutlak. Semuanya shahih dan tidak saling menafikan.
(Lihat: Syarah Muslim oleh Imam Nawawi: 5/153-154)
Karenanya, para pemuda dan siapa saja
yang terlanjur meremehkan shalat Jum'at dan beberapa kali
meninggalkannya agar segera bertaubat kepada Allah dengan penyesalan
yang dalam. Bertekad untuk tidak mengulanginya. Kemudian menanamkan azam
dalam diri akan menjaga shalat Jum'at. Jika tidak, khawatir Allah
menutup pintu hidayah, sehingga ia meninggal di luar Islam. Wallahu
Ta'ala A'lam.
[PurWD/voa-islam.com]
Allah
telah menyediakan janji istimewa bagi hamba-hamba-Nya yang memuliakan
hari tersebut, dengan pahala yang besar berupa ampunan dosa selama satu
pekan sebelumnya. Yakni apabila ibadah Jumat yang dikerjakan hamba
tersebut baik dan menghiasinya dengan syarat-syarat kesempurnaanya.
Makna Jumat
Jumat
adalah salah satu nama hari dalam sepekan. Dalam bahasa Arab, bentuk
penulisannya adalah ,الْجُمْعَةُ terambil dari kata ( الْجَمْعُ ) yang
berarti mengumpulkan sesuatu yang terpencar.
Adapun
menurut para ahli qiraat, cara membacanya ada tiga: dengan didhammah
huruf mimnya (اْلجُمُعَة), difathahkan (اْلجُمَعَة) atau disukun
(اْلجُمْعَة). (Lihat al-Qamus al-Muhith, 3/14-15 dan Tafsir al-Qurthubi,
18/97)
Adapun
tentang alasan dinamakan hari Jumat, para ulama berbeda pendapat setelah
mereka sepakat bahwa di masa jahiliyah manusia menamakannya hari
al-‘Arubah. Dalam Fathul Bari (2/353), al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
menyebutkan pendapat-pendapat ulama tersebut, lalu menguatkan pendapat
yang mengatakan bahwa dinamakan hari Jumat karena penciptaan Nabi
Adam ‘Alaihis Salam terjadi pada hari Jumat.
Landasan
pendapat ini adalah hadits dari Salman al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkata kepadanya, “Wahai
Salman, apa itu hari Jum’at?” Salman menjawab, “Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam mengulangi pertanyaan tersebut sampai tiga kali, dan Salman pun
selalu menjawab dengan jawaban yang sama.
Kemudian Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
يَا سَلْمَانُ، يَوْمُ الْجُمُعَةِ بِهِ جُمِعَ أَبُوْكَ -أَوْ أَبُوْكُمْ- أَنَا أُحَدِّثُكَ عَنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
Artinya
:“Wahai Salman, hari Jumat adalah hari terkumpul padanya penciptaan
bapakmu atau bapak kalian (Adam). Aku akan bercerita kepadamu tentang
hari Jumat.”(Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1732).
Keistimewaan Hari Jum'at
Sesungguhnya
Dzat yang mencipta alam semesta dan yang mengatur jagat raya telah
melebihkan atau mengistimewakan sebagian hari di atas hari-hari yang
lain. Di antaranya adalah hari Jumat.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala memerintahkan kaum muslimin untuk mengagungkannya dengan
beragam amalan yang disyariatkan. Umat sebelum kita, dari kalangan
Yahudi dan Nasrani, sebenarnya juga telah diperintahkan Allah untuk
mengagungkan hari Jumat, namun mereka menyelisihinya. Orang-orang Yahudi
malah memilih hari Sabtu dan orang-orang Nasrani memuliakan hari Minggu
(Ahad).
Hari Jum’at memiliki
kedudukan yang sangat mulia dalam syariat Islam dan mempunyai
keistimewaan yang tidak ada pada hari-hari yang lain. Berikut ini kami
sampaikan beberapa keistimewaan hari Jum’at.
1. Hari Raya Umat Islam Setiap Pekan
Hal
ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu,
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda pada suatu Jum’at :
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ، إِنَّ هذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللهُ لَكُمْ عِيْدًا
Artinya
: “Wahai segenap kaum muslimin, sesungguhnya ini adalah hari yang
dijadikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai hari raya bagi kalian.”
(HR Ath-Thabarani dalam al-Mu’jamash-Shaghir dan dinyatakan sahih oleh
asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’).
2. Kiamat akan Terjadi pada Hari Jum’at
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
خَيْرُ
يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيْهِ خُلِقَ
آدَمُ وَفِيْهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيْهِ أُخْرِجَ مِنْهَا، وَ
تَقُوْمُ السَّاعَةُ إِ يَوْمُ الْجُمُعَةِ
Artinya : “Sebaik-baik hari yang terbit matahari pada waktu itu adalah hari Jumat. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan ke dalam surga, dan dikeluarkan dari surga. Tidak akan terjadi kiamat selain pada hari Jum’at.” (HR Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
3. Orang yang Meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat akan dihindarkan dari fitnah (pertanyaan) kubur
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
Artinya
: “Tiada seorang muslim yang mati pada hari Jumat atau malamnya kecuali
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghindarkannya dari fitnah kubur.” (HR
Ahmad dari Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘Anhuma).
4. Diharamkan Menyendirikan Puasa pada hari Jum’at tanpa Dibarengi oleh Puasa Sehari Sebelum atau Setelahnya
Hal
ini berlandaskan hadits Juwairiyyah Radhiyallahu ‘Anha, isteri
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam masuk kepadanya hari Jumat dalam keadaan dia Shallallahu
‘Alaihi Wasallam sedang berpuasa. Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam bertanya, “Apakah kamu puasa kemarin?” Juwairiyah menjawab,
“Tidak.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya lagi, "Apakah kamu
ingin puasa esok hari?” Juwairiyah menjawab,“Tidak.” Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam berkata,“Berbukalah kamu!” (HR. al-Bukhari no. 1986).
5. Adalah Saat yang Mustajab bagi Orang yang Berdoa
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyebutkan hari Jum’at lalu bersabda,
فِيْهِ سَاعَةٌ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلَّا أعْطَاهُ إِيَّاهُ
Artinya
: “Pada hari itu ada saat yang tidaklah seorang hamba muslim bertepatan
dengannya dalam keadaan dia berdiri shalat yang ia meminta sesuatu
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala melainkan akan dikabulkan oleh-Nya.”
(HR al-Bukhari no. 935).
Saat yang
mustajab dari hadits ini diperselisihkan waktunya oleh ulama. Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan ada 42 pendapat. Dari pendapat
sebanyak itu, yang dikuatkan oleh Ibnu hajar ada dua, yaitu antara
duduknya imam di atas mimbar hingga selesai shalat Jumat, dan pendapat
yang kedua adalah setelah shalat ashar hingga tenggelamnya matahari.
(Fathul Bari 2/416-420).
Setelah
menyebutkan bukti-bukti bahwa saat yang mustajab itu setelah ashar,
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, “Ini adalah pendapat mayoritas
ulama salaf, dan banyak hadits menunjukkan pendapat ini. Pendapat
berikutnya adalah saat shalat Jumat. Adapun pendapat selebihnya tidak
ada dalilnya.”
Al Imam Ibnu
Qayyim rahimahullah menyebutkan, waktu yang dikhususkan adalah akhir
waktu setelah ashar, yaitu waktu tertentu di hari Jumat yang tidak maju
dan tidak mundur. Adapun waktu shalat Jum’at maka mengikuti shalat
tersebut baik maju pelaksanaannya maupun mundur. Beliau menyebutkan
bahwa berkumpulnya kaum muslimin, shalat mereka, kekhusyukan dan
permohonan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memiliki pengaruh
kuat untuk dikabulkannya doa (Zadul Ma’ad).
Ibnul
Qayyim rahimahullah telah menyebutkan sekian puluh keistimewaan dalam
kitabnya Zadul Ma’ad jilid pertama. Bahkan, as-Suyuthi
rahimahullah menulis kitab khusus tentang keistimewaan hari Jumat yang
beliau beri judul Nurul Lum’ah fi Khashaish Yaumil Jumu’ah.
Orang
yang membacanya perlu hati-hati karena as-Suyuthi tidak hanya memuat
hadits/atsar yang kuat tetapi juga yang lemah, bahkan maudhu’ (palsu).
Kerugian Bagi yang Datang Shalat Jum'at Sesudah Khutbah Dimulai
Datang Lebih Awal Syarat Dapat Pahala Sempurna
Apa saja keutamaan sholat Jum’at itu ?
Jawaban :
Sholat Jum’at mempunyai banyak keutamaan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1- Yang menghadiri sholat jum’at dengan
memperhatikan adab-adabnya, maka akan dicatat setiap langkahnya sebagai
amalan satu tahun yang mencakup pahala puasa dan bangun malam. Hal ini
berdasarkan hadist Aus bin Aus ats Tsaqafi bahwasanya dia pernah
mendengar Rosulullah saw bersabda :
من اغتسل يوم الجمعة وغسل وبكر وابتكر ودنا واستمع وأنصت كان له بكل خطوة يخطوها أجر سنة صيامها وقيامها
“ Barang siapa yang mandi hari jum’at
dan menyuci ( kepalanya ), lalu bersegera dan bergegas, dan mendekati
imam, dan mendengarkan khutbah serta diam, maka dia akan mendapatkan
pada setiap langkahnya bagaikan pahala amalan satu tahun, termasuk
pahala puasa dan pahala sholat malam. “ ( Hadist Shohih Riwayat
Tirmidzi, Abu Dau, Ibnu Majah, Nasai )
2- Barang siapa yang bersegara datang ke
masjid untuk melaksanakan sholat Jum’at seakan-akan dia telah
bersedekah dan berkurban dengan kurban yang besar. Hal ini sesuai dengan
hadist Abu Hurairah r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
من اغتسل يوم الجمعة غسل
الجنابة ثم راح فكأنما قرب بدنة و من راح في الساعة الثانية فكأنما قرب
بقرة ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشا أقرن ومن راح في الساعة
الرابعة فكأنما قرب دجاجة ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرب بيضة فإذا
خرج الإمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر
“ Barang siapa mandi pada hari Jum’at
seperti mandi junub, kemudian pergi ( ke masjid ) pada waktu yang
pertama, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor unta. Dan barang
siapa yang datang pada waktu kedua, maka seakan-akan dia berkurban
dengan seekor sapi. Dan barang siapa yang datang pada waktu yang ketiga,
maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor domba yang bertanduk. Dan
barang siapa yang datang pada waktu yang keempat, maka seakan-akan dia
berkurban dengan seekor ayam. Dan barang siapa yang datang pada waktu
yang kelima, maka seakan-akan dia berkurban dengan sebutir telur. Maka,
jika imam telah keluar, malaikatpun bergegas untuk mendengarkan
khutbah.” ( HR Bukhari dan Muslim )
3- Orang yang melakukan sholat Jum’at
sesuai dengan adab-adabnya, maka Allah akan mengampuninya selama sepuluh
hari. Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah r.a, bahwasanya nabi Muhammad
saw :
من توضأ فأحسن الوضوء ثم أتى الجمعة فاستمع وأنصت غفر له ما بينه وبين الجمعة وزيادة ثلاثة أيام ومن مس الحصى فقد لغا
“ Barang siapa yang berwudhu, lalu
melakukannya dengan sebaik-baiknya, lalu datang untuk melakukan sholat
jum’at, kemudian dia mendengar dan memperhatikan khutbah, niscaya akan
diampuni dosa-dosa ( kecil ) yang dilakukannya antara jum’at itu dan
jum’at berikutnya ditambah dengan tiga hari. Dan barang siapa yang
bermain-main dengan kerikil, maka sia-sialah jum’atnya. “ ( HR Muslim )
Hal ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah r.a lainnya, bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
الصلوات الخمس ، و الجمعة إلى الجمعة ورمضان إلى رمضان مكفرات ما بينهن إذا اجتنب الكبائر
“ Sholat lima waktu, dan Jum’at yang
satu ke Jum’at yang berikutnya serta satu Romadhan ke Romadhan yang
berikutnya dapat menghapus dosa-dosa kecil, selama dosa-dosa besar
dijauhi. “ ( HR Muslim )
Kepada siapa saja sholat Jum’at diwajibkan ?
Jawaban :
Sholat Jum’at wajib bagi setiap muslim,
baligh, berakal, laki-laki dan merdeka. Dalilnya adalah hadist Thariq
bin Syihab r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة إلا أربعة : عبد مملوك أو امرأة أو صبي أو مريض
“ Sholat Jum’at itu sesuatu yang wajib
bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan : hamba
sahaya, wanita, anak kecil dan orang sakit. “ ( Hadist Shohih Riwayat
Abu Daud )
Hukuman apa yang akan diterima bagi orang yang meninggalkan kewajiban sholat Jum’at ?
Jawaban :
Orang yang meninggalkan kewajiban sholat
Jum’at dengan sengaja tanpa udzur syar’I, maka akan ditutup hatinya,
sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah r.a bahwasanya Rosulullah saw
bersabda :
لينتهين أقوام عن ودعهم الجمعات أو ليختمن الله على قلوبهم ثم ليكونن من الغافلين
“ Hendaklah orang-orang yang sering
meninggalkan sholat Jum’at segera menghentikan kebiasaan mereka itu,
atau Allah akan mengunci mati hati mereka sehingga mereka termasuk
golongan orang-orang yang lemah “ ( HR Muslim )
Hal ini dikuatkan dengan hadits Abu Ja’ad ad-Damuri bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
من ترك الجمعة ثلاث مرات تهاونا بها طبع الله على قلبه
“ Barang siapa meninggalkan Jum’at tiga
kali karena meremehkannya, maka Allah akan mengunci mati hatinya . “ (
Hadist Shohih Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasai,
Kata teman saya, pada hari Jum’at ada waktu mustajab, kapan itu, mohon penjelasannya ?
Jawaban :
Memang benar pada hari jum’at terdapat
waktu mustajab, sebagaimana yang terdapat dalam hadist Abu Hurairah r.a,
bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
إن في الجمعة لساعة لا يوافقها عبد مسلم قائم يصلي يسأل الله فيها خيرا إلا أعطاه إياه
“ Sesungguhnya pada hari jum’at terdapat
satu waktu, yang tidaklah seorang hamba muslim berdiri berdo’a meminta
kebaikan kepada Allah, kecuali Allah akan memberinya. “ ( HR Bukhari dan
Muslim )
Kapan waktu itu ? Para ulama berbeda
pendapat, sebagian dari mereka mengatakan bahwa waktu mustajab adalah
sejak duduknya imam di atas mimbar sampai berakhirnya sholat. Hal ini
berdasarkan sabda Rosulullah saw :
هي ما بين أن يجلس الإمام إلى أن تقضي الصلاة
“ Waktu ( mustajab itu ) berlangsung antara duduknya imam di atas mimbar sampai selesainya sholat . “ ( HR Muslim )
Sebagian yang lain mengatakan bahwa
waktu mustajab pada hari jum’at adalah pada akhir hari jum’at tersebut,
tepatnya ba’da Ashar hingga Maghrib. Hal ini berdasarkan beberapa hadist
di bawah ini, diantaranya adalah :
- Hadist Jabir r.a , bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
يوم الجمعة اثنتا عشرة ساعة فيها ساعة لا يوجد عبد مسلم يسأل الله شيئا إلا آتاه إياه فالتمسوها آخر ساعة بعد العصر
“ Hari Jum’at terdiri dari dua belas jam
yang di alamnya ada satu waktu yang tidaklah seorang mukmin berdo’a di
dalamnya, kecuali Allah akan mengabulkan do’anya. Oleh karena itu,
carilah waktu tersebut di akhir waktu setelah sholat ‘Ashar. “ ( Hadist
Shohih Riwayat Nasai, Abu Daud, Hakim )
- Sabda Rosulullah saw :
التمسوا الساعة التي ترجى في يوم الجمعة بعد العصر إلى غيبوبة الشمس
“ Carilah waktu yang diharapkan ( waktu
mustajab ) pada hari Jum’at, yaitu ba’da Ashar sampai terbenamnya
matahari . “ ( Hadist Shohih Riwayat Tirmidzi )
Apa hukum mandi besar sebelum menghadiri sholat Jum’at ?
Jawaban :
Para ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini, tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa mandi besar sebelum
menghadiri sholat Jum’at hukumnya sunnah muakkadah. Dalilnya adalah
hadist Abu Hurairah ra, bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
من توضأ فأحسن الوضوء ثم أتى الجمعة فاستمع وأنصت غفر له ما بينه وبين الجمعة وزيادة ثلاثة أيام ومن مس الحصى فقد لغا
“ Barang siapa yang berwudhu, lalu
melakukannya dengan sebaik-baiknya, lalu datang untuk melakukan sholat
jum’at, kemudian dia mendengar dan memperhatikan khutbah, niscaya akan
diampuni dosa-dosa ( kecil ) yang dilakukannya antara jum’at itu dan
jum’at berikutnya ditambah dengan tiga hari. Dan barang siapa yang
bermain-main dengan kerikil, maka sia-sialah jum’atnya. “ ( HR Muslim )
Hadist di atas menunjukkan bahwa
seseorang boleh berwudhu saja untuk menghadiri sholat Jum’at, artinya
bahwa mandi tidaklah wajib.
Hal ini dikuatkan dengan hadits Samurah bin Jundub ra, bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
من توضأ يوم الجمعة فبها ونعمت ومن اغتسل فالغسل أفضل
“ Barang siapa yang berwudhu pada hari
Jum’at maka dia telah mengikuti sunnah dan itu adalah sesuatu yang baik.
Dan barang siapa yang mandi, maka mandi itu lebih utama. “ ( Hadits
Hasan Riwayat Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan Nasai )
Apa hukum adzan kedua pada hari Jum’at ?
Jawaban :
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat :
1/ Pendapat pertama mengatakan bahwa
adzan kedua pada hari Jum’at adalah sunnah, karena ditetapkan oleh
khalifah Utsman bin Affan dan disetujui oleh para sahabat lainnya, maka
menjadi ijma’. Hal itu dikuatkan dengan hadist Irbadh bin Sariyah
bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ
“ Maka hendaknya kalian mengikuti
sunnahku dan sunnah Khulafa’ Rasyidin yang sudah mendapatkan petunjuk.
Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah kuat-kuat dengan gigi geraham
kalian. “ ( Hadist Shohih Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah )
Hadist di atas memerintahkan kepada kita
untuk mengikuti sunah Rosulullah saw dan sunah Khulafa Rasyidin. Utsman
bin Affan termasuk salah satu Khulafa’ Rasyidin dan telah menetapkan
sunah adzan dua kali pada hari Jum’at, berarti mengadakan adzan dua kali
pada hari Jum’at termasuk mengikuti sunah salah satu Khulafa’ Rasyidin.
2/ Pendapat kedua mengatakan bahwa yang
sunah adalah adzan pada hari Jum’at tetap satu. Dalilnya adalah hadist
Saib bin Yazid bahwasanya ia berkata :
كان النداء يوم الجمعة أوله إذا
جلس الإمام على المنبر على عهد النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر
رضي الله عنهما فلما كان عثمان رضي الله عنه وكثر الناس زاد النداء الثالث
على الزوراء
“ Adzan pertama pada hari Jum’at adalah
jika imam duduk di atas mimbar pada masa Nabi saw, Abu Bakar, Umar .
Pada masa Ustman, orang-orang sudah semakin banyak, maka ditambahkan
adzan ketiga di Zaura. “ ( HR Bukhari )
Hadist di atas menunjukkan bahwa adzan
Jum’at pada masa Rosulullah saw adalah satu kali, yaitu ketika imam
duduk di atas mimbar. Kemudian pada zaman khalifah Utsman bin Affan,
karena penduduk semakin banyak, maka adzan Jum’at ditambah satu, yaitu
sebelum imam duduk di atas mimbar, dan ini dilakukan di Zaura’ yaitu
suatu tempat di pasar Madinah dengan tujuan agar masyarakat siap-siap
untuk mengerjakan sholat Jum’at. Akan tetapi pada hari ini, masyarakat
sudah berubah, mereka telah memiliki jam dan mengetahui waktu, sehingga
alasan yang digunakan oleh khalifah Utsman tidak berlaku lagi pada zaman
sekarang, makanya adzan Jum’at kembali lagi pada asalnya yaitu satu
kali saja, sebagaimana yang berlaku pada zaman nabi Muhammad saw, Abu
Bakar dan Umar bin Khattab.
Apa saja syarat-syarat sahnya sholat Jum’at itu ? Mohon penjelasannya !
Jawaban :
Syarat-syarat sahnya sholat Jum’at itu sebagai berikut :
1- Waktu, maksudnya bahwa sholat Jum’at
itu harus dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Awal waktunya adalah
setelah matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah sama dengan akhir
waktu sholat dhuhur, yaitu ketika tinggi bayangan sesuatu sama tinggi
dengan benda tersebut.
2- Berjama’ah, maksudnya bahwa sholat Jum’at tidak boleh dilaksanakan kecuali secara berjama’ah.
Batasan jumlah jama’ahnya berapa ? Apakah harus berjumlah 40 orang?
Jawaban :
Tidak harus berjumlah 40 orang, yang
penting terpenuhi definisi sholat berjama’ah, yaitu 3 orang. Dalilnya
adalah keumuman firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ
اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ
تَعْلَمُونَ
“ Hai orang-orang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui.’ ( Qs al-Jum’ah : 9 )
Dalam ayat tersebut tidak ditentukan
jumlah orang yang harus berjama’ah dalam sholat Jum’ah, sehingga bisa
dilakukan dengan jumlah tiga orang, karena tiga merupakan batasan
minimal dari jama’ah. Hal ini dikuatkan dengan hadist Abu Sa’id Al
Khudri r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
إذا كانوا ثلاثة فليؤمهم أحدهم وأحقهم بالإمامة أقرؤهم
“ Jika mereka terdiri dari tiga orang,
maka hendaknya salah satu dari mereka, dan yang paling berhak menjadi
imam adalah yang paling baik bacaannya. “ ( HR Muslim )
Adapun hadist yang dijadikan sandaran
bagi yang mewajibkan jumlah 40 orang adalah hadist As’ad bin Zurarah
yang merupakan orang pertama kali yang melakukan sholat Jum’ah di
Madinah sebelum kedatangan nabi Muhammad saw di sebuah desa yang disebut
Hazamri an- Nabit di wilayah Bani Bayadhah yang berjarak satu mil dari
kota Madinah yang waktu itu jumlah jama’ahnya adalah 40 orang. Tetapi
dalam hadist tersebut tidak ada yang menunjukkan persyaratan bahwa
sholat Jum’at harus dihadiri 40 orang, karena jumlah itu memang hanya
kebetulan saja sampai 40 orang. Jadi tidak bisa dijadikan sandaran untuk
menentukan syarat sahnya sholat Jum’at.
3- Harus didahului dengan dua khutbah.
Adapun dalil yang menunjukkan tentang kewajiban mendahului dengan dua
khutbah sebelum melaksanakan sholat jum’at adalah :
Pertama : Firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ
اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ
تَعْلَمُونَ
“ Hai orang-orang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui.’ ( Qs al-Jum’ah : 9 )
Allah swt dalam ayat di atas
memerintahkan orang-orang beriman untuk segera mengingat Allah (
dzikrullah ), dan yang dimaksud dengan dzikirullah dalam ayat di atas
menurut sebagian ulama adalah khutbah. Perintah dalam ayat tersebut
bersifat wajib, dan tidak boleh ditinggalkan.
Kedua : Nabi Muhammad saw melarang untuk
berbicara ketika khutbah, hal ini menunjukkan kewajiban mendengar
khutbah, yang berarti juga bahwa khutbah adalah wajib.
Apa saja rukun dan syarat
khutbah Jum’at, karena kebanyakan umat Islam sudah tidak mengetahui hal
tersebut, mohon penjelasannya !
Jawaban :
Rukun khutbah Jum’at adalah sebagai berikut :
1- Memanjatkan pujian terhadap Allah swt
2- Bersholawat kepada Rosulullah saw
3- Membaca Al Qur’an
4- Mewasiatkan kepada para Jama’ah untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah swt.
Apa saja sunnah-sunnah dalam khutbah ?
Jawaban :
Sunnah –sunnah dalam khutbah adalah sebagai berikut :
1- Mengucapkan salam kepada para jama’ah
ketika khotib naik mimbar sebelum duduk. Dalilnya adalah hadist Jabir
r.a bahwasanya ia berkata :
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا صعد المنبر سلم
“ Bahwasanya nabi Muhammad saw jika naik
mimbar, mengucapkan salam . “ ( Hadits Dho’if Riwayat Ibnu Majah,
karena di dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah )
Walaupun hadist di atas lemah, namun
para Khulafa’ Rasyidin, yaitu : Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab,
Umar bin Affan, serta Umar bin Abdul Aziz mengamalkan hal itu, yaitu
mengucapkan salam ketika naik mimbar dan menghadap jama’ah sebelum
duduk. Sehingga amalan ini bisa dibenarkan dan bisa dikatagorikan dalam
sunah-sunah khutbah.
2- Berkhutbah di atas mimbar yang tinggi.
Berapa ketinggian mimbar yang disunnahkan ?
Jawaban :
Para ulama mengatakan bahwa mimbar yang
dipakai zaman Rosulullah saw adalah tiga tingkat, sebagaimana yang
terdapat di dalam hadist Anas bin Malik r.a yang bunyinya sebagai
berikut :
فصنع له منبرا له درجتان و يقعد على الثالثة
“ Maka, dibuatkan untuk Rosulullah saw
mimbar dua tingkat dan beliau duduk pada tingkat yang ketiga “ ( HR
ad-Darimi dan Abu Ya’la )
Mimbar sebaiknya diletakkan sebelah mana ?
Jawaban : Para ulama menyebutkan bahwa mimbar pada zaman Rosulullah saw diletakkan sebelah kanan kiblat.
3- Duduk setelah mengucapkan salam
kepada para jama’ah sampai selesai adzan. Dalilnya adalah hadist
Abdullah bin Umar r.a bahwasanya ia berkata :
كان صلى الله عليه وسلم يجلس إذا صعد المنبر حتى يفرغ أراه المؤذن
“ Bahwasanya Rosulullah saw duduk jika
naik mimbar sampai muadzin selesai mengumandangkan adzan . “ ( Hadist
Shohih Riwayat Abu Daud )
4- Berdiri ketika berkhutbah. Dalilnya adalah hadist Jabir bin Samurah ra, bahwasanya ia berkata :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يخطب قائما ثم يجلس ثم يقوم فيخطب قائما
“ Bahwasanya Rosulullah saw berkhutbah
dalam keadaan berdiri, kemudian duduk lalu menyampaikan khutbah dengan
berdiri. “ ( HR Muslim )
5- Duduk sebentar antara dua khutbah. Dalilnya adalah hadist Jabir bin Samurah ra di atas.
6- Bersandar pada tongkat atau busur. Dalilnya adalah hadist al-Hakam bin Hazn al-Kulafi bahwasanya ia berkata :
شهدنا فيها الجمعة مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام متوكئا على عصى أو قوس .
“ Kami pernah mengerjakan sholat Jum’at
bersama Rosulullah saw, beliau berdiri dengan bersandar pada tongkat
atau busur . “ ( Hadist Hasan Riwayat Abu Daud )
Hadist di atas menunjukkan bahwa
berkhutbah dengan bersandar pada tongkat atau busur pernah dilakukan
oleh Rosulullah saw, dan bisa dikatakan perbuatan sunnah. Apa hikmah
dibalik perbuatan tersebut ? Sebagian ulama mengatakan bahwa hal itu
untuk menghindari agar khotib tidak melakukan aktivitas-aktivitas yang
tidak berguna selama dia berkhutbah.
Jika ada pertanyaan : Bagaimana jika ketika berkhutbah khatib tidak bersandar pada tongkat ? Apa khutbahnya sah?
Jawabannya bahwa khutbahnya sah, karena hal itu tidaklah wajib.
Jawabannya bahwa khutbahnya sah, karena hal itu tidaklah wajib.
7- Memperpendek khutbah dan memanjangkan
sholat.Dalilnya adalah hadist Ammar bin Yasir bahwasanya ia mendengar
Rosulullah saw bersabda :
إن طول صلاة الرجل وقصر خطبته مئنة من فقهه فأطيلوا الصلاة واقصروا الخطبة وإن من البيان سحرا
“ Sesungguhnya panjangnya sholat
seseorang dan pendek khutbahnya menunjukkan kedalaman pemahamannya. Maka
panjangkanlah sholat dan perpendeklah khutbah. Sesungguhnya diantara
penjelasan itu terdapat sesuatu yang bisa menyihir. “ ( HR Muslim )
8- Mengeraskan suara jika mampu dan kondisi memungkinkan. Dalilnya adalah hadist Jabir bin Abdullah ra, bahwasanya ia berkata :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خطب احمرت عيناه وعلا صوته واشتد غضبه حتى كأنه منذر جيش
“ Bahwasanya Rosulullah saw jika sedang
berkhutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya meninggi, dan marahnya
memuncak, sehingga seakan-akan beliau adalah panglima perang yang sedang
memberi peringatan kepada bala tentaranya . “ ( HR Muslim )
9- Mengisyaratkan dengan jari telunjuk
ketika berdo’a di atas mimbar, serta tidak mengangkat kedua tangannya.
Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan Umarah bin Ru’aibah bahwasanya dia
bercerita pernah melihat Bisr bin Marwan di atas mimbar mengangkat
kedua tangannya, maka beliaupun berkata :
قبح الله هاتين اليدين لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ما يزيد على أن يقول بيده هكذا وأشار بإصبعه المسبحة
“ Mudah-mudahan Allah memperburuk kedua
tangan itu, sesungguhnya aku pernah menyaksikan Rosulullah saw hanya
mengisyarat dengan tangannya seperti ini, dia sambil mengisyaratkan jari
telunjuknya. “ ( HR Muslim )
Di daerah saya setiap khatib
doa, para makmum mengangkat tangan dan mengaminkan. Ketika saya kuliah,
di masjid dekat kos saya tidak ada yang mengangkat tangan dan
mengaminkan. Saya bingung, mengapa mereka diam?
Jawaban :
Sebagaimana yang sudah diterangkan di
atas, bahwa sunnah yang terekam dari Rosulullah saw adalah ketika do’a
pada hari jum’at tidaklah mengangkat kedua tangannya begitu juga makmum,
dalilnya sebagaimana yang tersebut dalam hadist Umarah bin Ru’aibah di
atas.
Namun kita dapatkan sebagian ulama
membolehkan seorang khatib dan makmum untuk mengangkat tangan ketika
berdo’a pada sholat Jum’at. Mereka berdalil bahwa hadist-hadist yang
menerangkan tentang mengangkat tangan ketika berdo’a sangat banyak,
sehingga boleh diamalkan di dalam do’a ketika berkhutbah. Adapun hadist
yang menyatakan bahwa Rosulullah saw mengangkat tangan ketika berdo’a di
atas mimbar hanya pada waktu sholat Istisqa’ ( meminta turun hujan ),
maka maksudnya adalah mengangkat tangan tinggi-tinggi sehingga putih
ketiak beliau terlihat, sedang di tempat lain beliau mengangkat tangan
tidak terlalu tinggi. Atau bisa dimungkinkan bahwa para sahabat yang
meriwayatkan Rosulullah saw mengangkat tangan pada waktu berdo’a
termasuk di dalam khutbah Jum’at, jumlahnya lebih banyak dari sahabat
lain yang tidak melihat Rosulullah saw mengangkat tangan saat berdo’a.
Ustaz, bagaimana jika kita datang ke masjid sementara khatib sedang berkhutbah, apa yang harus kita kerjakan ?
Jawaban :
Jika masuk masjid sedang khatib sedang
berkhutbah, maka hendaknya tidak duduk sampai mengerjakan sholat
tahiyatul masjid dua reka’at secara ringan. Dalilnya adalah hadist Jabir
bin Abdullah ra, bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
إذا جاء أحدكم يوم الجمعة والإمام يخطب فليركع ركعتين وليتجوز فيهما
“ Jika salah satu dari kalian datang
pada hari Jum’at sedang imam sedang berkhutbah, hendaknya dia
mengerjakan sholat dua reka’at dan hendaknya dia meringankan ( meringkas
) dalam mengerjakannya. “ ( HR Muslim )
Bolehkah kita memperingatkan
orang yang sedang bicara atau bermain-main ketika imam sedang berkhutbah
? Apakah sah jum’at orang yang bermain-main tersebut, tolong jelaskan
dengan dalil-dalilnya !
Jawaban :
Tidak dibenarkan seseorang untuk
memperingatkan dengan kata-kata kepada orang yang sedang bermain-main
pada saat imam berkhutbah, karena hal itu termasuk perbuatan sia-sia.
Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah ra, bahwasanya Rosulullah saw
bersabda :
إذا قلت لصاحبك أنصت يوم الجمعة والإمام يخطب فقد لغوت
“ Jika engkau berkata kepada temanmu : “
Dengarkanlah “ ! pada hari Jum’at, sedang imam sedang berkhutbah, maka
engkau telah berbuat sia-sia . “ ( HR Bukhari dan Muslim )
Para ulama menyebutkan bahwa maksud
telah berbuat sia-sia, artinya bahwa pahala Jum’atnya tidak sempurna,
seakan-akan dia hanya mengerjakan sholat Dhuhur saja, tetapi walaupun
demikian sholat Jum’atnya tetap sah.
Ustadz, saya sering mengantuk
ketika imam sedang berkhutbah pada hari Jum’at, bagaimana supaya
kebiasaan ini bisa berubah dan adakah pesan dari Rosulullah saw untuk
orang yang sedang mengantuk pada saat imam berkhutbah ?
Jawaban :
Untuk merubah kebiasaan itu, maka
seharusnya seseorang yang hendak mendatangi sholat Jum’at untuk
mempersiapkan dirinya sebaik mungkin. Diantaranya adalah :
1- Istirahatnya harus cukup, artinya
jika pada malam harinya kurang tidur, maka sebelum Jum’at jika memang
ada waktu, maka hendaknya dia istirahat atau tidur walaupun sejenak
dengan tujuan agar bisa mendengar khutbah yang disampaikan oleh imam
semaksimal mungkin.
2- Islam sangat menganjurkan seseorang
sebelum mendatangi sholat Jum’at untuk mandi besar. Hal ini dimaksudkan
agar badan seseorang menjadi bersih ketika datang ke masjid sehingga
baunya tidak mengganggu jama’ah yang lain. Selain itu, juga dimaksudkan
agar badannya menjadi segar dan pikirannya menjadi lebih jernih sehingga
terhindar dari rasa kantuk dan bisa berkonsentrasi penuh untuk
mendengar khutbah.
3- Untuk mengindari ngantuk, Rosulullah
saw sendiri pernah memberikan pesan kepada kita sebagaimana dalam hadist
Ibnu Umar ra, bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
إذا نعس أحدكم وهو في المسجد فليتحول من مجلسه ذلك إلى غيره
“ Jika salah satu diantara kalian
mengantuk sedang dia sedang berada di masjid, hendaknya dia pindah dari
tempat duduknya ke tempat lain. “ ( Hadist Shohih Riwayat Abu Daud dan
Tirmidzi )
Ustadz, sebenarnya ada nggak
sholat sunnah qabliyah Jum’at itu, tolong jelaskan, karena di masjid
kami, sebagian melakukan sholat qabliyah jum’at setelah adzan pertama,
dan sebagian yang lain tidak melakukannya, mana yang benar ?
Jawaban :
Para ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini, sebagian mengatakan bahwa sholat sunnah qabliyah Jum’at
adalah amalan yang disunnahkan, sedangkan sebagian yang lain mengatakan
bahwa sholat qabliyah jum’at tidak ada dan tidak disunnahkan sama
sekali. Pendapat yang kedua ini lebih kuat dan lebih benar. Hal itu
dikarenakan beberapa hal, diantaranya adalah :
Pertama : Sholat Jum’at hukumnya berbeda dengan Sholat Dhuhur, sehingga tidak boleh disamakan.
Kedua : Hadits-hadist yang menunjukan
adanya sholat qabliyah jum’at adalah hadist-hadist dho’if yang tidak
bisa dijadikan sandaran. Diantara hadist-hadist dhoif tersebut adalah :
1/ Hadist Abu Hurairah ra. yang berbunyi
: “Dan beliau saw biasa mengerjakan shalat dua rakaat sebelum Jum’at
dan empat rakaat setelahnya.” ( HR Al Bazzar, di dalam sanadnya terdapat
kelemahan )
2/ Hadist Ali bin Abi Thalib ra, yang
menyebutkan bahwa : “ Beliau saw biasa mengerjakan shalat empat rakaat
sebelum Jum’at dan empat rakaat setelahnya.”
( HR al-Atsram dan Thabrani, di dalam sanadnya terdapat rawi yang lemah, yaitu Muhammad bin ‘Abdurrahman as-Sahmi )
Ketiga : Di sana ada hadist yang
dijadikan dalil bagi yang mengatakan adanya sunnah qabliyah jum'at,
hadist tersebut menyebutkan bahwa :
“Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalat
sebelum shalat Jum’at dan mengerjakan shalat dua rakaat setelahnya di
rumahnya. Dan dia menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa melakukan hal tersebut.” ( HR Abu Daud dan Ibnu Hibban )
Hadist di atas tidaklah menunjukkan
adanya sunnah qabliyah jum’at, karena maksud dari kalimat : “Ibnu ‘Umar
biasa memanjangkan shalat sebelum shalat Jum’at” adalah sholat sunnah
mutlaq atau sholat tahiyatul masjid.
Jadi, disunnahkan pada hari jum’at,
ketika masuk masjid untuk mengerjakan sholat sunnah tahiyatul masjid dan
apabila ada waktu longgar disunnahkan juga untuk sholat sunnah mutlak,
sampai imam naik mimbar. Sholat sunnah tersebut bukanlah sholat sunnah
qabliyah jum’at, walaupun dikerjakan sebelum adzan Jum’at.
Ustadz, shalat sunnah ba'diyyah jum'at, sebenarnya berapa sih, empat raka'at atau dua raka'at?
Jawaban :
Sholat sunnah ba’diyah jum’at minimal jumlahnya dua reka’at. Hal ini berdasarkan hadist Abdullah bin Umar r.a :
عن عبد الله أنه كان إذا صلى الجمعة انصرف فسجد سجدتين في بيته ثم قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصنع ذلك .
“ Bahwasanya Abdullah bin Umar r.a jika
selesai sholat Jum’at, segera melakukan sholat dua reka’at di rumahnya.
Kemudian dia berkata : “ Bahwasanya Rosulullah saw melaksanakan seperti
itu . “ ( HR Muslim )
Hal ini diperkuat dengan hadist Abdullah
bin Umar r.a yang lainnya ketika menerangkan tentang sifat sholat
sunnah Rosulullah saw , beliau berkata :
فكان لا يصلي بعد الجمعة حتى ينصرف فيصلي ركعتين في بيته
“ Bahwasanya Rosulullah saw tidaklah
sholat sehabis Jum’at sampai beliau pergi dan sholat di rumahnya dua
reka’at . “ ( HR Muslim )
Boleh juga melakukan sholat sunnah
ba’diyah jum’at dengan empat reka’at, dan inilah yang dianjurkan oleh
Rosulullah saw sendiri dalam beberapa hadistnya, diantaranya adalah
hadist Abu Hurairah r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
إذا صلى أحدكم الجمعة فليصل بعدها أربعا
“ Jika salah satu diantara kalaian sholat Jum’at, hendaknya dia mengerjakan sholat empat reka’at sesudahnya. “ ( HR Muslim )
Dalam lafadh lain beliau bersabda :
إذا صليتم بعد الجمعة فصلوا أربعا
“ Jika kalian sholat habis jum’at, maka sholatlah empat reka’at. “ ( HR Muslim )
Dalam lafadh lain disebutkan :
من كان منكم مصليا بعد الجمعة فليصل أربعا
“ Barang siapa diantara kalian sholat habis jum’at, maka hendaklah dia sholat empat reka’at “ ( HR Muslim )
Dari hadist-hadist di atas, para ulama
menyimpulkan bahwa kalau melakukan sholat ba’diyah jum’at sebaiknya
melakukannya dengan empat reka’at, hal ini berlaku di rumah ataupun di
masjid, karena hadistnya masih bersifat umum. Dan juga karena ini
merupakan anjuran Rosulullah saw secara langsung melalui sunnah
qauliyah. Adapun yang dilakukan oleh Rosulullah saw di rumah ( sunnah
fi’liyah ) dengan melakukan sholat dua reka’at, itu menunjukkan
kebolehan.
Sementara itu, sebagian ulama mengatakan
bahwa jika sholat dilakukan di masjid, maka hendaknya dilakukan dengan
empat reka’at, tetapi jika dilakukan di rumah, hendaknya dilakukan
dengan dua reka’at. Tetapi yang lebih kuat adalah pendapat pertama.
Wallahu A’lam.
Kerugian Bagi yang Datang Shalat Jum'at Sesudah Khutbah Dimulai
Dalam sebuah hadits yang dihasankan oleh Syaikh al Albani, dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Para Malaikat duduk pada hari Jum'at di depan pintu masjid dengan membawa buku catatan untuk mencatat (orang-orang yang masuk masjid).
Jika imam keluar (dari rumahnya untuk shalat Jum'at), maka buku catatan itu dilipat.”
“Para Malaikat duduk pada hari Jum'at di depan pintu masjid dengan membawa buku catatan untuk mencatat (orang-orang yang masuk masjid).
Jika imam keluar (dari rumahnya untuk shalat Jum'at), maka buku catatan itu dilipat.”
Kemudian Abu Ghalib bertanya, “wahai Abu Umamah, bukankah orang yang datang sesudah imam keluar mendapat Jum'at?” Ia menjawab, “Tentu, tetapi ia tidak termasuk golongan yang dicatat dalam buku catatan.”
Datang Lebih Awal Syarat Dapat Pahala Sempurna
Diriwayatkan dari Aus bin Aus radliyallah 'anhu, berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
“Barangsiapa mandi pada hari Jum'at, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khutbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun.”
(HR. Abu Dawud no. 1077, al-Nasai no. 1364 Ahmad no. 15585. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 6405)
Hadits ini menjelaskan bahwa berangkat lebih awal ke masjid menjadi syarat untuk mendapatkan keutamaan pahala shalat Jum'at dengan sempurna. Dan berangkatnya ke masjid disunnahkan dengan berjalan kaki. Karena itu Imam al Nasai dan al Baihaqi membuat bab khusus dalam kitab mereka, “Keutamaan berjalan kaki untuk shalat Jum'at.”
Abu Syamah berkata, “Pada abad pertama, setelah terbit fajar jalan-jalan kelihatan penuh dengan manusia. Mereka berjalan menuju masjid jami' seperti halnya hari raya, hingga akhirnya kebiasaan itu hilang.” Lalu dikatakan, “Bid'ah pertama yang dilakukan dalam Islam adalah tidak berangkat pagi-pagi menuju masjid.” (Dinukil dari Akhtha' al Mushalliin -edisi Indonesia: Kesalahan-kesalahan dalam shalat-, Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan, hal. 236)
Karenanya, kami himbau kepada suadara seiman untuk datang ke shalat Jum’at lebih awal. Diusahakan sudah berada di masjid sebelum imam naik ke mimbar. Ini sebagai bukti kecintaan kepada Allah dan merasakan kenikmatan dalam beribadah.
Masih banyak keistimewaan hari Jumat yang para pembaca bisa cari. jangan sia-siakan dan melewatkan hari Jum'at dengan bergitu saja.. berdoalah dengan khusyuk serta bersungguh-sungguh mintalah doa kepada ALLAH SWT. agar dimudahkan segala urusan baik di dunia maupun akherat baik setelah shalat jum'at atau setelah shalat lainnya..
Janganlah membaca potongan hadist dan Al-Quran diatas dan ayat-ayat lainnya dengan mata..
tapi bacalah dan maknai dengan hati.., banyak kata-kata kiasan yg hanya bisa dibaca oleh mata hati..
karena jika kalian dapat membaca dan memaknai ayat-ayat Al-Quran dengan hati, semoga kalian termasuk orang-orang yang diberikan petunjuk oleh Allah Azza Wa Jalla
Jangan lupa siapkan uang untuk berinfaq di masjid saat shalat jum'at, bersedekah
jangan berpikir uang kita berkurang, berpikirlah amal kita yg bertambah, dihindarkan dari keelakaan dijalan/marabahaya lainnya..
Matikan HP/smartphone kalian ketika memasuki masjid
Jangan sampai kita mendapat dosa ketika HP kita berbunyi saat ceramah/solat jum'at berlangsung yang menggangu kekhusyukan solat orang lain..
dan Semoga kita memperoleh keistimewaan hari Jumat tersebut..
Amin.
Hukum Berbicara/Ngobrol Ketika Khotbah Jumat
Dalam hadis riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى
الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ
الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ
لَغَا
“Barangsiapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia
mendatangi (shalat) Jumat, kemudian (di saat khotbah) ia betul-betul
mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jumat saat ini dan Jumat
sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barangsiapa yang
bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang
batil (lagi tercela) ” (HR. Muslim no. 857)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ
فَهُوَ كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً وَالَّذِى يَقُولُ لَهُ
أَنْصِتْ لَيْسَ لَهُ جُمُعَةٌ
“Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khotbah Jumat, maka ia
seperti keledai yang memikul lembaran-lembaran (artinya: ibadahnya
sia-sia, tidak ada manfaat, pen.). Siapa yang
diperintahkan untuk diam (lalu tidak diam), maka tidak ada Jumat baginya
(artinya: ibadah Jumatnya tidak sempurna, pen.).” (HR. Ahmad 1: 230. Hadis ini dha’if kata Syaikh Al-Albani)
Dari Salman Al Farisi radhiallahu‘anhu, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ
مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ
مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ،
ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ
الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ
الأُخْرَى
“Apabila seseorang mandi pada hari Jumat, dan bersuci semampunya,
lalu memakai minyak dan harum-haruman dari rumahnya kemudian ia keluar
rumah, lantas ia tidak memisahkan di antara dua orang (melangkahi pundak
orang), kemudian ia mengerjakan shalat yang diwajibkan, dan ketika imam
berkhotbah, ia pun diam, maka ia akan mendapatkan ampunan antara Jumat
yang satu dan Jumat lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)
Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jumat, ‘Diamlah, khotib sedang berkhotbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.”(HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851).
Kalam Ulama
An Nadhr bin Syumail berkata, “Laghowta bermakna luput dari
pahala.” Ada pula ulama yang berpendapat, maksudnya adalah tidak
mendapatkan keutamaan ibadah Jumat. Ulama lain berpendapat bahwa yang
dimaksud adalah ibadah Jumatnya menjadi shalat Zhuhur biasa (Fathul Bari, 2: 414).
Ibnu Battol berkata, “Para ulama yang biasa memberi fatwa menyatakan wajibnya diam kala khotbah Jumat.” (Syarh Al-Bukhari, 4: 138, Asy-Syamilah)
Yang dimaksudkan “tidak ada Jumat baginya” adalah tidak ada pahala
sempurna seperti yang didapatkan oleh orang yang diam. Karena para
fuqoha bersepakat bahwa shalat Jumat orang yang berbicara itu sah, dan
tidak perlu diganti dengan Zhuhur empat raka’at. (Penjelasan Ibnu Battol
dalam Syarh Al Bukhari, 4: 138, Asy Syamilah)
Memperingatkan Orang Lain Saat Khotbah Cukup dengan Isyarat
Sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah di atas, “Jika
kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan
berisyarat yang membuat orang lain paham. Jika tidak bisa dipahami,
cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.”
Pernyataan di atas didukung dengan hadis Anas bin Malik. Ia berkata, “Tatkala Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah di atas mimbar, berdirilah seseorang dan bertanya, “Kapan hari kiamat terjadi, wahai Nabi Allah?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
diam, tidak mau menjawab. Para sahabat lalu berisyarat pada orang tadi
untuk duduk, namun ia enggan.” (HR. Bukhari no. 6167, Ibnul Mundzir no.
1807, dan Ibnu Khuzaimah no. 1796). Hadis ini menunjukkan bahwa para
sahabat melakukan amar ma’ruf ketika imam berkhotbah hanya dengan
isyarat.
Menjawab Salam Orang Lain Saat Khotbah
Termasuk dalam larangan adalah menjawab salam orang lain ketika imam berkhotbah. Balasannya cukup dengan isyarat (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 589)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
berkata, “Menjawab salam saat khotbah tidaklah diperintahkan. Bahkan
kita hendaknya shalat tahiyyatul masjid, duduk dan tidak mengucapkan
salam pada yang lain hingga selesai khotbah. Jika ada yang memberi salam
padamu, maka cukuplah balas dengan isyarat sebagaimana halnya jika
engkau diberi salam ketika shalat, yaitu membalasnya cukup dengan
isyarat. … Jika ada di antara saudaranya yang memberi salam sedangkan
saat itu imam sedang berkhotbah, maka balaslah salamnya dengan isyarat, bisa dengan tangan atau kepala. Itu sudah cukup, alhamdulillah.” (Jawaban pertanyaan di website resmi Syaikh Ibnu Baz di sini)
Menjawab Salam Khotib
Jika imam mengucapkan salam ketika ia naik mimbar, hukum menjawabnya adalah fardhu kifayah (artinya: jika sebagian sudah mengucapkan, yang lain gugur kewajibannya).
Dalam kitab Al-Inshof (4: 56, Asy-Syamilah), salah satu kitab fikih Madzhab Hambali disebutkan,
رَدُّ هَذَا السَّلَامِ وَكُلِّ سَلَامٍ مَشْرُوعٍ فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْجَمَاعَةِ الْمُسَلَّمِ عَلَيْهِمْ
“Menjawab salam imam (ketika ia masuk dan menghadap jamaah) dan juga
menjawab setiap salam adalah sesuatu yang diperintahkan dan hukumnya
fardhu kifayah bagi para jamaah kaum muslimin.”
Jika menjawab salam kala itu diperintahkan, maka jawabannya pun dengan suara jahr, dengan suara yang didengar oleh imam. Mula ‘Ali Al Qori berkata,
أن رد السلام من غير إسماع لا يقوم مقام الفرض
“Menjawab salam dan tidak terdengar (di telinga orang yang memberi salam), itu belum menggugurkan kewajiban.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobil, 13: 6, Asy-Syamilah)
Menjawab Kumandang Adzan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ
“Jika kalian mendengar kumandang adzan dari muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” (HR. Muslim no. 384).
Dalam Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin berkata, “Jika imam telah memberi salam kepada jamaah, ia
disunnahkan duduk hingga selesai kumandang adzan. Ketika itu, hendaklah
menjawab seruan muadzin (dengan mengucapkan yang semisal) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar seruan muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” Hadis ini adalah umum. Jika imam berada di mimbar, hendaklah ia menjawab adzan, begitu pula makmum. Hendaklah mereka mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin kecuali pada lafazh ‘hayya ‘alash sholaah’ dan ‘hayya ‘alal falaah’, hendaklah mereka ucapkan ‘laa hawla wa laa quwwata illa billah’.”
Adapun menjawab adzan kala itu, cukup dengan suara lirih sebagaimana asal doa dan dzikir adalah demikian. Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.” (QS. Al A’raf: 205)
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Rabmu dengan berendah diri dan suara yang
lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.” (QS. Al A’raf: 55)
Menjawab Shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiallahu’anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad 1: 201. Syaikh Al-Albani mengatakan hadis ini shahih).
Dalam Asnal Matholib salah satu fikih syafi’iyah disebutkan, “Bagi yang mendengar khotib bershalawat, hendaklah ia mengeraskan suaranya ketika membalas shalawat tersebut.” ulama syafi’iyah lainnya menyatakan sunnah untuk diam dan tidak wajib menjawab shalawat.
Ulama hambali menyatakan bolehnya menjawab shalawat ketika diucapkan, namun jawabnya dengan suara sirr (lirih) sebagaimana doa.
Intinya, ada dua dalil dalam masalah ini yaitu dalil yang
memerintahkan untuk menjawab shalawat dan dalil yang memerintahkan untuk
diam saat imam berkhotbah. Jika kita kompromikan dua dalil tersebut,
yang lebih afdhol adalah menjawab shalawat dengan suara sirr (lirih). (Lihat bahasan islamweb.net)
Menjawab Orang yang Bersin
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin ditanya, “Apa hukum menjawab
salam dan menjawab bersin saat khotbah Jumat? Apa juga hukum menyodorkan
tangan pada orang yang ingin bersalaman ketika imam berkhotbah?”
Jawaban beliau rahimahullah, “Menjawab salam orang lain dan menjawab bersin saat imam berkhotbah tidak diperbolehkan,
karena hal itu termasuk berbicara yang terlarang dan hukumnya haram.
Karena seorang muslim (yaitu jamaah) tidaklah diperintahkan untuk
mengucapkan salam kala itu. Dikarenakan salamnya tidak diperintahkan,
maka demikian pula dengan balasannya.
Orang yang bersin pun tidak diperintahkan mengeraskan bacaan ‘alhamdulillah’ tatkala imam berkhotbah. Oleh karenanya, ucapannya tidak perlu dibalas dengan ucapan ‘yarhamukallah’.
Sedangkan menyamput jabatan tangan orang yang ingin bersalaman,
sebaiknya tidak dilakukan karena termasuk membuat lalai. Kecuali jika
dikhawatirkan terdapat mafsadat, maka ketika itu tidaklah mengapa
menyambut sodoran tangannya, akan tetapi tidak boleh ditambah dengan
obrolan. Dan jelaskan padanya setelah shalat bahwa pembicaraan saat
khotbah itu haram. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 16: 94, Asy-Syamilah)
Berbicara dengan Khotib
Berbicara dengan khotib saat khotbah diperbolehkan jika ada hajat,
baik ketika khotib memulai pembicaraan atau memulai bertanya, atau
ketika menjawab pembicaraannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Anas
bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata,
أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ ، هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ
“Ada seorang Arab badui mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan saat itu beliau sedang berkhotbah Jumat. Ia berkata,
“Wahai Rasulullah, hewan ternak pada binasa …” (HR. Bukhari no. 1029). Arab badui mengucapkan demikian karena hujan tidak kunjung berhenti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta hujan lewat shalat istisqo’ sehingga hewan-hewan ternak pun mati. Ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berdoa agar hujan dihentikan.
Begitu pula dalam kisah Sulaik. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata,
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِىُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُ فَجَلَسَ فَقَالَ لَهُ «
يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ
قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ
فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ».
“Sulaik Al-Ghothofani datang pada hari Jumat
dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhotbah. Ia masuk
dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik, “Wahai Sulaik,
berdirilah dan kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul masjid),
persingkat shalatmu (agar bisa mendengar khotbah, pen).” Lantas beliau
bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jumat
dan imam berkhotbah, tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan
persingkatlah.” (HR. Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875) (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 589).
Demikian bahasan dari rumaysho.com tentang berbagai masalah seputar obrolan atau pembicaraan saat imam berkhotbah Jumat. Intinya, asal obrolan saat khotbah adalah haram kecuali jika ada hajat atau maslahat.
“Ngobrol” saat Imam sedang Berkhotbah, Haram ataukah Makruh?
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadis di atas menunjukkan
larangan berbicara dengan berbagai macam bentuknya ketika imam
berkhotbah. Begitu juga dengan perkataan untuk menyuruh orang diam,
padahal asalnya ingin melakukan amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), itu pun tetap disebut ‘laghwu’ (perkataan yang sia-sia). Jika seperti itu saja demikian, maka perkataan yang lainnya tentu jelas terlarang. Jika kita ingin beramar ma’ruf
kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang membuat
orang lain paham.
Jika tidak bisa dipahami, cukup dengan sedikit
perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.
Mengenai hukum berbicara di sini apakah haram ataukah makruh, para ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i rahimahullah memiliki dua pendapat dalam hal ini. Al-Qadhi berkata bahwa Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i rahimahumullah serta kebanyakan berpendapat wajibnya diam saat khotbah.
Dalam hadis disebutkan, “Ketika imam berkhotbah”.
Ini menunjukkan bahwa wajibnya diam dan larangan berbicara adalah
ketika imam berkhotbah saja. Inilah pendapat madzhab Syafi’i, Imam Malik
dan mayoritas ulama. Berbeda dengan Abu Hanifah yang menyatakan wajib
diam sampai imam keluar.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 138-139)
Sunah Jumat untuk Perempuan
1. Memperbanyak bacaan shalawat
Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِى كُلِّ
يَوْمِ جُمُعَةٍ فَإِنَّ صَلاَةَ أُمَّتِى تُعْرَضُ عَلَىَّ فِى كُلِّ
يَوْمِ جُمُعَةٍ ، فَمَنْ كَانَ أَكْثَرَهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً كَانَ
أَقْرَبَهُمْ مِنِّى مَنْزِلَةً
“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena
shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at.
Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat
denganku pada hari kiamat nanti.”
2. Membaca surah Al Kahfi
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من قرأ سورة الكهف كما أنزلت ، كانت له نورا
يوم القيامة من مقامه إلى مكة ، ومن قرأ عشر آيات من آخرها ثم خرج الدجال
لم يسلط عليه ، ومن توضأ ثم قال : سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت
أستغفرك وأتوب إليك كتب في رق ، ثم طبع بطابع فلم يكسر إلى يوم القيامة
“Barangsiapa membaca surat Al Kahfi sebagaimana diturunkan, maka ia
akan mendapatkan cahaya dari tempat ia berdiri hingga Mekkah.
Barangsiapa membaca 10 akhir ayatnya, kemudian keluar Dajjal, maka ia
tidak akan dikuasai. Barangsiapa yang berwudhu, lalu ia ucapkan:
Subhanakallahumma wa bi hamdika laa ilaha illa anta, astagh-firuka wa
atuubu ilaik (Maha suci Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, tidak
ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, aku senantiasa
memohon ampun dan bertaubat pada-Mu), maka akan dicatat baginya di
kertas dan dicetak sehingga tidak akan luntur hingga hari kiamat.”
3. Memperbanyak do’a di hari Jum’at
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan mengenai hari Jum’at lalu ia bersabda,
فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ
مُسْلِمٌ ، وَهْوَ قَائِمٌ يُصَلِّى ، يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا
إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ
“Di dalamnya terdapat waktu. Jika seorang muslim berdoa ketika
itu, pasti diberikan apa yang ia minta” Lalu beliau mengisyaratkan
dengan tangannya tentang sebentarnya waktu tersebut.(HR Bukhari Muslim)
4. Memperbanyak berdzikir di hari Jumat
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian diseru untuk shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah mengingat Allah…” (QS. AlJumu’ah: 9)
5. Memotong Kuku dan mencukur bulu ketiak
Syekh Muhammad bin Ismail Al-Muqaddam mengatakan, “Terdapat beberapa
riwayat tentang tata cara memotong kuku. Memotong kuku ini bisa
dilakukan di hari Kamis, Jumat, atau hari lainnya. Tidak terdapat dalil
sahih yang memberikan batasan waktu memotong kuku dengan hari tertentu.
Namun, umumnya ulama menganjurkan untuk melakukannya di hari Jumat.
Mengingat, hari Jumat adalah hari raya mingguan. Demikian pula untuk
memotong bagian tubuh yang kotor lainnya. Akan tetapi, tidak ada dalil
yang mengkhususkan hal ini dengan waktu tertentu atau batasan tertentu.
Karena itu, selama kuku ini layak untuk dipotong maka hendaknya
seseorang memotongnya.” (Sunan Al-Fitrah, 3:3)
Dari sahabat Anas Ra : “Kami memberi batas waktu dalam mencukur
kumis, memotong, membersihkan bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan
agar tidak ditinggalkan lebih dari batas waktu 40 malam” (HR. Muslim).
Artinya para sahabat dalam praktik membersihkan diri tadi tidak
sampai mengakhirkan hingga batas akhir 40 hari, andaikan mereka
mengakhirkan tidak pernah lewat hingga sampai masa 40 hari, bukan
maksudnya membersihkannya diizinkan 40 hari sekali (tetapi setiap saat
terlihat panjang meskipun belum sampai 40 hari sunah untuk di
potong/dicukur). [ AlMajmu’ Alaa Syarh Almuhadzzab I/287 ].
wanita juga wajib menjaga anak-anaknya agar tidak membuat gaduh/kebisingan disekitar masjid, jangan membuat masakan yg aromanya bisa tercium ke masjid, matikan kendaraan jika melewati masjid...
“Dan) disunnahkan (agar berhias) saat menghadiri shalat Jum’at (dengan pakaian yang baik dan memakai minyak wangi) berdasarkan hadits{Barang siapa yang mandi pada hari jum’at,memakai siwak, memakai pakaian yang terbaik, memakai minyak wangi jika dia memilikinya, kemudian mendatangi masjid sementara dia tidak melangkah ipundak-pundak orang lain sehingga dia ruku’(shalat), kemudian mendengarkan pada saat Khatib berkhutbah dan hingga mengikutinya sampai selesai shalatnya, maka hal itu sebagai penghapus dosa-dosa yang terjadi antara jum’at ini dengan hari jum’at sebelumnya}. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya danal-Hakim dalam kitab mustadraknya. Ia al-Hakim berkata bahwa hadits tersebut shahih menurut syarat imam Muslim. Dan yang paling afdlal adalah pakaian putih,berdasarkan hadits {Pakailah oleh kalian pakaian putih. Sesungguhnya ia adalah pakaian terbaik kalian, dan kafanilah dengannya orang yang meninggal diantara kalian.”},diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya dan merekamenshahihkannya.”( Syekh Syamsyuddin Muhammad al-Khatibasy-Syarbini asy-Syafi’i, Mughn al-Muhtaj, juz 4, hal 31 )
Semoga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَقَفَتْ الْمَلَائِكَةُ عَلَى أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ فَيَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ فَمَثَلُ الْمُهَجِّرِ إِلَى الْجُمُعَةِ كَمَثَلِ الَّذِي يُهْدِي بَدَنَةً ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي بَقَرَةً ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي كَبْشًا ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي دَجَاجَةً ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ وَقَعَدَ عَلَى الْمِنْبَرِ طَوَوْا صُحُفَهُمْ وَجَلَسُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
"Jika tiba hari Jum'at, maka para Malaikat berdiri di pintu-pintu masjid, lalu mereka mencatat orang yang datang lebih awal sebagai yang awal. Perumpamaan orang yang datang paling awal untuk melaksanakan shalat Jum'at adalah seperti orang yang berkurban unta, kemudian yang berikutnya seperti orang yang berkurban sapi, dan yang berikutnya seperti orang yang berkurban kambing, yang berikutnya lagi seperti orang yang berkurban ayam, kemudian yang berikutnya seperti orang yang berkurban telur. Maka apabila imam sudah muncul dan duduk di atas mimbar, mereka menutup buku catatan mereka dan duduk mendengarkan dzikir (khutbah)."
(HR. Ahmad dalam Musnadnya no. 10164)