MASUKAN KATA DI KOTAK BAWAH INI UNTUK MENCARI.. LALU KLIK TOMBOL "SEARCH"

June 13, 2018

Bagaimana Teladan Nabi & Keluarga Di Hari idul Fitri?

Baca Artikel Lainnya

Ada sebuah kisah mengharukan tentang keteladanan keluarga Rasulullah SAW, yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kisah ini bisa menjadi pelajaran penting, terlebih umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Fitri.  


photo by djournalist

Hal ini berbanding terbalik dengan sebagian Umat Islam saat ini yang kurang mengerti kerterkaitan antara Ramdhan & Idul Fitri, yang entah bermula darimana menjadikan akhir Ramadhan disibukan dengan hal duniawi &  Idul Fitri sebagai ajang pamer baju, harta, istri, anak, dan status sosial.

Keteladanan Ali bin Abi Thalib ini disaksikan dua karibnya; Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali. Keduanya pernah ikut perang Jamal bersama beliau dan termasuk pembesar kelompok pendukung Ali sampai akhir hayatnya.

Kisah ini juga termaktub pada dua Kitab Sirrah Ashabu an-Nabi, karya Syekh Mahmud al-Misri dan Syiar A’lam An-Nubala’, karya Imam Adz-Dzahabi. Dikisahkan, usai salat Asar, setelah seharian merasa sedih, karena bulan Ramadhan akan segera berakhir, Ali kemudian pulang dari masjid. 

Sesampainya di rumah, ia disambut sang istri tercinta Fathimah Az-Zahra dengan pertanyaan penuh perhatian. "Kenapa engkau terlihat pucat, kekasihku,” demikianlah sapa Sayyidah Fatimah. "Tak ada tanda-tanda keceriaan sedikitpun di wajahmu, padahal sebentar lagi kita akan menyambut hari kemenangan?”

Ali hanya terdiam lesu, tak berapa lama kemudian ia minta pertimbangan sang istri untuk mensedekahkan semua simpanan pangannya kepada fakir miskin. "Hampir sebulan kita mendapat pendidikan dari Ramadhan, bahwa lapar dan haus itu teramat pedih. Segala puji bagi Allah, yang sering memberi hari-hari kita dengan perut sering terisi." 

Sore itu juga, beberapa jam sebelum takbir berkumandang, Ali ibn Abi Thalib terlihat sibuk mendorong pedatinya, yang terdiri dari tiga karung gandum dan dua karung kurma hasil dari panen kebunnya.

Seorang Muslim harus menjaga kehormatan/harga diri saudaranya dengan tak mengumpulkan orang yang tak mampu disatutitik apalagi berdesak-desakan/antri, namun Orang yang membagikan sedekahlah yang harus mendatangi orangnya atau rumahnya.

Ia berkeliling dari pojok kota dan perkempungan untuk membagi-bagikan gandum dan kurma itu kepada fakir miskin dan yatim/piatu. 

Sementara istrinya, Sayyidah Fathimah az-Zahra, sambil menuntun dua putranya Hasan dan Husein (cucu Nabi), nampak di tangannya memegang kantong plastik yang besar. Mereka sekeluarga, kompak mendatangi kaum fakir miskin untuk disantuni.

Begitu mereka berjalan sampai larut malam, tangannya membagikan santunan, bibirnya bertakbir kepada Allah.

Esok harinya tiba salat Idul Fitri, Sayyidina Ali naik mimbar dan berkutbah di Masjid Qiblatain, potongan isi khutbah itu di antaranya tentang beberapa tanda-tanda orang yang mendapatkan "taqwa" dari puasanya yang sebulan penuh, "Yaitu mereka yang peka hati nuraninya, sehingga menggerakkan tangannya untuk peduli kepada sesama, berbagi rezeki, berbagi kebahagiaan, berbagi senyuman yang hangat, sebab kita semua sudah merasakan, bahwa lapar dan dahaga itu sesuatu yang berat" 

Begitulah Sayyidina Ali, beliau tak akan pernah mengucapkan, sebelum ia sendiri sudah melakukan dan memberi keteladanan. Setelah Salat 'Id selesai dan hari masih sangat pagi, sahabat beliau, Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali berkunjung dan bermaksud mengucapkan selamat ‘Idul Fitri kepada keluarga Rasulullah SAW tersebut.  

Saat pintu terbuka, alangkah kagetnya mereka berdua, kedua hidung dua karib ini mencium aroma tak sedap, dari nampan yang berisi gandum dan roti kering yang sudah basi dan disantapnya makanan yang tak layak konsumsi itu dengan lahapnya. Seketika itu Ibnu Rafi’i dan dan Al Aswad Ad-Du’ali berucap istighfar, sambil berpelukan dan menangis, karena kedua dada sahabat ini ada yang nyeri di sana.

Merasa tak kuat melihat pemandangan itu, mereka kemudian berpamitan sebelum berpelukan. Mereka pun pergi menjauh dari pemandangan menggetarkan itu. Di sepanjang jalan mata Ibnu Rafi’i berlinang air mata, perlahan butiran itu menetes di pipinya dan jatuh ke tanah seperti mengukir sebuah jejak kesedihan sampai ke kediamannya. 

Idul Fitri yang seharusnya penuh suka cita, tapi pagi itu mereka bersedih. Sementara Abu Al Aswad Ad Du’ali, terus bertakbir di sepanjang jalan, kecamuk dalam dadanya sangat kuat, setengah lari ia pun bergegas menghadap Rasulullah SAW. Tiba di depan Rasulullah, ia pun mengadu, “Ya Rasulullah. Putra baginda, putri baginda dan cucu baginda,” ujar Ad Du’ali terbata-bata. “Tenangkan dirimu, ada apa wahai sahabatku?” kata Rasulullah menenangkan.

“Segeralah ke rumah menantu dan putri baginda, Ya Rasulullah. Saya khawatir cucu baginda Hasan dan Husein akan sakit.” “Ada apa dengan cucuku dan keluargaku?” “Saya tak kuat menceritakan itu sekarang, lebih baik menengoknya...”



Tak berpikir lama, Rasulullah pun segera menuju rumah putrinya. Tiba sampai di halaman rumah, tak ada apa-apa yang dikhawatirkan oleh Ad Du’ali. Justru tawa bahagia mengisi percakapan antara Sayyidina Ali, Sayyidatuna Fathimah dan kedua anaknya. 

Bahkan, yang sedikit aneh, mata Ad-Du’ali sendiri menyaksikan, ternyata keluarga itu masih menyimpan sedikit kurma yang layak dikonsumsi untuk menyambut tamu yang datang. Mata Rasulullah pun sembab, beliau terharu, sebab ia sendiri melihat bekas-bekas makanan basi yang sudah disantap keluarga itu dan bau basinya masih menyengat. Tak terbendung juga butiran mutiara bening menghiasi wajah Rasulullah SAW nan bersih.

“Ya Allah, Allahumma Isyhad. Ya Allah saksikanlah, saksikanlah," demikian bibir Rasulullah berbisik lembut. 

Sayyidatuna Fathimah tersadar kalau di luar pintu rumah, ayahnya sedang berdiri tegak. Gandum basi yang dipegangnya terjatuh ke lantai. “Abah, kenapa engkau biarkan dirimu berdiri di situ, tanpa memberi tahu kami, oh, relakah abah menjadikan kami anak yang tak berbakti?" Berondong Fathimah spontan, lalu mencium tangan Abahnya dan abahnya ke ruang tamu. 

"Kenapa Abah menangis? Kenapa pula sahabat ad-Duali mengikuti di belakang Abah,” Rasulullah tak tahan mendengar pertanyaan itu. Setengah berlari ia memeluk putri kesayangannya sambil berujar, “Semoga kelak surga tempatmu Nak. Surga untukmu.” Mereka yang ada di situ lalu menjawab bersama-sama, "Allahuma Aaamin".

Air mata Rasulullah tiba-tiba mengucur deras, saat melihat sendiri dengan matanya akan kesederhanaan dan kebersahajaan puteri beliau bersama keluarganya. 

Di hari Idul Fitri, di saat semua orang berkumpul, berbahagia dengan hidangan aneka macam kuliner/masakan, keluarga Rasulullah cukup tersenyum bahagia dengan gandum dan sepotong roti basi yang baunya tercium tak sedap. Demikianlah kesaksikan ad-Duali dan Ibnu Rafi’i atas keluarga Rasulullah SAW pada hari ‘Idul Fitri.

Ibnu Rafi’i berkata, “Itulah salah satu dampak pendidikan Ramadhan bagi keluarga Nabi, dan aku diperintahkan oleh Rasulullah SAW agar tidak menceritakan tradisi keluarganya setiap ‘Idul Fitri. Aku pun simpan kisah itu dalam hatiku. Namun, setelah Rasulullah wafat, aku takut dituduh menyembunyikan hadis, maka terpaksa aku ceritakan agar jadi pelajaran bagi segenap kaum Muslimin untuk benar-benar bisa mengambil hikmah dari madrasah Ramadhan.” 
(Musnad Imam Ahmad, jilid 2)

Para ulama telah menjelaskan tentang sunah-sunah Rasulullah yang berkaitan dengan hari raya, diantaranya:

1. Mandi pada hari raya.

Sa’id bin Al Musayyib berkata: “Sunah hari raya ‘idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar dan mandi.”

2. Berhias sebelum berangkat sholat ‘Iedul Fitri.

Disunahkan bagi laki-laki untuk membersihkan diri dan memakai pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak. Sedangkan bagi wanita tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah dan menggunakan minyak wangi.

3. Makan sebelum sholat ‘Idul Fitri.

“Dari Anas RodhiyAllahu’anhu, ia berkata: Nabi sholAllahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar rumah pada hari raya ‘Iedul fitri hingga makan beberapa kurma.” (HR. Bukhari). Menurut Ibnu Muhallab berkata bahwa hikmah makan sebelum sholat adalah agar jangan ada yang mengira bahwa harus tetap puasa hingga sholat ‘Ied.

4. Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang dari sholat ‘Ied.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, beliau mengambil jalan yang berbeda saat pulang dan perginya (HR. Bukhari), diantara hikmahnya adalah agar orang-orang yang lewat di jalan itu bisa memberikan salam kepada orang-orang yang tinggal disekitar jalan yang dilalui tersebut, dan memperlihatkan syi’ar islam.

5. Bertakbir.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat menunaikan sholat pada hari raya ‘ied, lalu beliau bertakbir sampai tiba tempat pelaksanaan sholat, bahkan sampai sholat akan dilaksanakan. Dalam hadits ini terkandung dalil disyari’atkannya takbir dengan suara lantang selama perjalanan menuju ke tempat pelaksanaan sholat. Tidak disyari’atkan takbir dengan suara keras yang dilakukan bersama-sama. Untuk waktu bertakbir saat Idul Fitri menurut pendapat yang paling kuat adalah setelah meninggalkan rumah pada pagi harinya.

6. Sholat ‘Ied.

Hukum sholat ‘ied adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang, karena Rosulululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan sholat ‘Ied. Sholat ‘Ied menggugurkan sholat jum’at, jika ‘Ied jatuh pada hari jum’at. Sesuatu yang wajib hanya bisa digugurkan oleh kewajiban yang lain (At Ta’liqat Ar Radhiyah, syaikh Al Albani, 1/380). Nabi menyuruh manusia untuk menghadirinya hingga para wanita yang haidh pun disuruh untuk datang ke tempat sholat, tetapi disyaratkan tidak mendekati tempat sholat. Selain itu Nabi juga menyuruh wanita yang tidak punya jilbab untuk dipinjami jilbab sehingga dia bisa mendatangi tempat sholat tersebut, hal ini menunjukkan bahwa hukum sholat ‘Ied adalah fardhu ‘ain.

Waktu Sholat ‘Ied adalah setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari (waktu Dhuha). Disunahkan untuk mengakhirkan sholat ‘Iedul Fitri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan untuk menunaikan zakat fitrah.

Disunahkan untuk mengerjakan di tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali ada udzur (misalnya hujan, angin kencang) maka boleh dikerjakan di masjid.

Dari Jabir bin Samurah berkata: “Aku sering sholat dua hari raya bersama nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa adzan dan iqamat.” (HR. Muslim) dan tidak disunahkan sholat sunah sebelum dan sesudah sholat ‘ied, hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat hari raya dua raka’at. Tidak ada sholat sebelumnya dan setelahnya (HR. Bukhari: 9890)

Untuk Khutbah sholat ‘ied, maka tidak wajib untuk mendengarkannya, dibolehkan untuk meningggalkan tanah lapang seusai sholat. Khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dibuka dengan takbir, tapi dengan hamdalah, dan juga tanpa diselingi dengan takbir-takbir. Beliau berkutbah di tempat yang agak tinggi dan tidak menggunakan mimbar. Rasulullah berkutbah dua kali, satu untuk pria dan satu untuk wanita, ketika beliau mengira wanita tidak mendengar khutbahnya.

7. Ucapan selamat Hari Raya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari raya dan beliau menjawab: “Adapun ucapan selamat pada hari raya ‘ied, sebagaimana ucapan sebagian mereka terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah sholat ‘ied yaitu:

Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian) atau ahaalAllahu ‘alaika (Mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu) dan semisalnya.”

Telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi bahwa mereka biasa melakukan hal tersebut. Imam Ahmad dan lainnya juga membolehkan hal ini. Imam Ahmad berkata, “Saya tidak akan memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘ied, Namun jika seseorang itu memulai maka saya akan menjawabnya.” Yang demikian itu karena menjawab salam adalah sesuatu yang wajib dan memberikan ucapan bukan termasuk sunah yang diperintahkan dan juga tidak ada larangannya. Barangsiapa yang melakukannya maka ada contohnya dan bagi yang tidak mengerjakannya juga ada contohnya (Majmu’ al-Fatawaa, 24/253). Ucapan hari raya ini diucapkan hanya pada tanggal 1 Syawal.

8. Kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada hari raya.

Saat hari raya, kadang kita terlena dan tanpa kita sadari kita telah melakukan kemungkaran-kemungkaran diantaranya:


  • Berhias dengan mencukur jenggot (untuk laki-laki).
  • Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
  • Menyerupai atau tasyabuh terhadap orang-orang kafir dalam hal pakaian dan mendengarkan musik serta berbagai kemungkaran lainnya.
  • Masuk rumah menemui wanita yang bukan mahrom.
  • Wanita bertabarruj atau memamerkan kecantikannya kepada orang lain dan wanita keluar ke pasar dan tempat-tempat lain.
  • Mengkhususkan ziarah kubur hanya pada hari raya ‘ied saja, serta membagi-bagikan permen, dan makanan-makanan lainnya, duduk di kuburan, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, melakukan sufur (wanitanya tidak berhijab), serta meratapi orang-orang yang sudah meninggal dunia.
  • Berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam hal yang tidak bermanfaat dan tidak mengandung mashlahat dan faedah.
  • Banyak orang yang meninggalkan sholat di masjid tanpa adanya alasan yang dibenarkan syari’at agama, dan sebagian orang hanya mencukupkan sholat ‘ied saja dan tidak pada sholat lainnya. Demi Allah ini adalah bencana yang besar.
  • Menghidupkan malam hari raya ‘ied, mereka beralasan dengan hadits dari Rasulullah: “Barangsiapa menghidupkan malam hari raya ‘iedul fitri dan ‘iedul adha, maka hatinya tidak akan mati di hari banyak hati yang mati.” (Hadits ini maudhu’/palsu sehingga tidak dapat dijadikan dalil).


references by sindonews, muslimah.or.id

 
Like us on Facebook